"Sekarang kamu jadi bisu juga?"
"Nenek kenapa, sih?" Juan bertanya sedikit kesal.
"Kamu yang kenapa, sialan?! Seenaknya pergi dan nggak pulang! Gara-gara kamu anak saya sampai stress, sialan!" Kamila berteriak lantang di depan wajah Juan.
Kamila benar-benar murka saat sang anak menghubunginya seraya menangis dan mengatakan bahwa Juan belum pulang dari kemarin. Saat sampai di rumah sang anak, ia dikagetkan dengan kondisi sang anak yang berantakan dan semua itu karena anak haramnya.
"Ju—"
Plak
Kamila tak membiarkan Juan berucap, tangannya lagi-lagi melayang ke wajah Juan membuat kepala Juan kembali tertoleh ke samping.
Juan meringis, sekarang telinganya juga ikut berdengung sakit. Tapi satu yang membuatnya benar-benar penasaran, apakah sang ibu benar-benar mencarinya? Tapi, bukankah sang ibu sendiri yang memintanya pergi?
Juan merasa jadi serba salah.
"Ibu di mana?"
"Di kamarnya. Segera temui anak saya!"
Sebenarnya Kamila tidak ingin berkata demikian, tapi ini semua demi kebaikan sang anak. Aruna terus saja meracaukan Juan yang tak kunjung pulang.
Juan segera menuju kamar sang ibu, tanpa menunggu lama ia segera masuk, meski sedikit ragu. Dilihatnya sang ibu sedang duduk termenung di pinggir ranjang.
Juan menghela nafas sebelum mendekat. Ia sudah menyiapkan jiwa raga untuk menghadapi sang ibu. Ia sudah siap jika nantinya ibunya itu akan sangat marah.
"Ibu," panggil Juan pelan.
Aruna yang mendengar suara sang anak segera menoleh. Wajahnya terlihat sembab membuat Juan benar-benar merasa bersalah. "Juan..."
"Iya, Bu, ini Juan." Juan berlutut di depan sang ibu, menatap tepat pada netra yang sama dengan miliknya.
"Juan ke mana aja, hm?"
Tanpa Juan duga, sang ibu langsung memeluknya. Untuk sesaat tubuhnya mematung, seolah tak percaya bahwa ibunya saat ini sedang memeluknya. Ini terlalu tiba-tiba. Tapi, setelahnya Juan membalas pelukan sang ibu, ini yang Juan tunggu-tunggu sedari dulu.
Juan tentu saja bahagia, semoga ini awal kebahagiaannya. Semoga ibu benar-benar mulai menerimanya.
"Juan cuma ke rumah Dito kok, Bu," katanya bohong.
"Kenapa nggak pulang?"
"Itu..."
"Juan tau, dari kemarin Ibu nunggu Juan pulang, tapi Juan nggak pulang-pulang."
Juan rasanya ingin jingkrak-jingkrak sekarang saking bahagianya. Ibunya benar-benar berubah, ibunya bahkan sekarang memeluknya. Apa sekarang Tuhan membiarkan bahagia?
Juan sungguh bahagia, tapi ia mendadak overthinking. Biasanya di novel-novel yang ia baca, jika tokoh yang awal cerita hidupnya menderita, kemudian akhirnya bahagia, biasanya akan berakhir tragis. Apa dirinya juga akan berakhir seperti itu? Duh, amit-amit.
"Maaf, Bu. Juan nggak tau kalau Ibu ternyata nunggu Juan."
"Jangan pergi lagi, ya? Jangan tinggalin Ibu."
"Hu'um. Sekarang Ibu tidur, ya? Juan temenin."
.
.
.Aruna baru saja tertidur dan sekarang Juan baru bisa membersihkan diri. Karena sedari tadi ibunya tak membiarkannya pergi.
Juan masih tak menyangka jika hari yang ia tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari dimana sang ibu menerimanya, memeluknya.
"Tidak usah senang karena anak saya mengkhawatirkan kamu. Ini hanya sementara, anak sialan! Setelah ini saya pastikan Aruna tidak akan sudi melihat kamu lagi."
Juan baru ingat, bahwa masih ada banyak rintangan yang harus ia hadapi untuk bisa ia gapai bahagianya. Masih ada keluarga sang ibu yang tidak akan menerimanya. Masih ada nenek yang tidak akan rela jika ia bahagia.
Hah.
Semangat, Juan!
"Nenek kenapa nggak suka banget kalau Juan seneng, sih?"
Kamila berdecih. "Karena kamu tidak pantas mendapatkannya. Anak sialan yang merusak kebahagiaan anak saya tidak pantas untuk bahagia! Kamu hanyalah aib yang harusnya tidak pernah ada," cibirnya.
Juan sudah terbiasa mendengar hinaan sang nenek, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.
"Jangan harap besok kamu bisa berbahagia," ujar Kamila dan setelahnya masuk ke dalam kamar Aruna.
Setelah kepergian sang nenek, Juan kembali melangkah menuju kamarnya. Ia sudah sangat mengantuk, sangat-sangat mengantuk.
Sesampainya di kamar, Juan justru termenung. Kalimat sang nenek terus terngiang. Neneknya itu benar-benar tidak akan membuatnya hidup tenang.
Tidak apa-apa, Juan. Kamu anak kuat, jangan menyerah. Jika mereka terus menghalangi bahagiamu, berjuanglah lebih keras agar kamu dapat menghancurkan dinding itu. Banyak hal bahagia yang menantimu setelah perjuanganmu. Jangan menyerah, karena menyerah terlalu cepat untukmu.
Bersambung...

KAMU SEDANG MEMBACA
Juan [SELESAI]
Teen FictionIni bukan kisah romansa dimana si pangeran sekolah jatuh cinta dengan primadona sekolah, bukan pula kisah si badboy yang jatuh cinta dengan seorang gadis polos, apalagi kisah si tukang bully yang jatuh cinta dengan korbannya. Sekali lagi ku ingatkan...
12. Bahagianya Ibu
Mulai dari awal