4 hari berlalu sejak tragedi mengerikan terjadi dalam hidup Caramel. Pada malam itu, entah ia harus bersyukur pada Tuhan karena hanya sampai di situ saja musibah yang menimpanya, atau membenci
Tuhan yang telah menciptakan takdir seburuk itu dalam hidupnya.Hari ini tepat sebulan sudah Caramel berdiri tunggal dan mengais rezeki di rumah ini. Tadi malam, dengan sopan Caramel mengutarakan niatnya di hadapan majikannya bahwa ia akan berhenti bekerja, segala macam pertanyaan menyerangnya guna mencari tahu apa alasan Caramel berhenti bekerja sedangkan masa kerjanya baru seumur jagung.
Dengan gemetar pula Caramel memberitahu garis besar alasan utamanya, Iyan. Membuat pasutri di hadapannya memberikan uang gaji dua kali lipat, Caramel tentu menolak, siapa yang senang di beri uang setelah tubuhnya di jamah? Namun majikannya terus memaksa, ia katakan bahwa uang itu bukan uang untuk tutup mulut, tapi uang pesangon dan rasa terimakasih sebab Caramel sudah bersedia mengurus rumah ini selama tiga puluh hari kemarin.
Hari terakhir Caramel diawali dengan beribadah kepada penciptanya, subuh itu ia tumpahkan segala rasa melalui tangis tanpa isak suara. Inilah ibadah terakhirnya di rumah orang asing. Untuk segala rasa sakit dan kenangan pahit, sebisa mungkin Caramel usahakan untuk ikhlas menerima agar hidupnya lebih ringan melangkah maju.
Hari ini ia harus bergerak lebih cepat, ini hari terakhirnya bekerja. Ia harus mengusahakan yang terbaik untuk seisi rumah.
Ia tak lagi mendengus sebal saat membujuk kedua bocah set-Janne dan Ries mandi dan makan. Dengan segala kelapangan dada, pemikiran yang lebih luas lagi, Caramel mengerti mereka hanyalah anak balita yang ingin dibujuk dan dipahami.
"Janne, Ries, makan yuk? Nanti makannya sambil main pesawat-pesawatan." Caramel bujuk keduanya dengan lembut, selembut hari pertama ia menginjakkan kaki di rumah ini.
Entah ada apa pula dengan kedua bocah itu sebab dengan patuh keduanya langsung mengangguk.
Memberi makan kedua balita tersebut selesai tanpa drama. Keduanya terlihat tampak murung. Entahlah... Pun saat memandikan keduanya, tanpa ada drama dan siraman airohani yang mengguyur tubuh Caramel.
"Bedakan dulu dong biar cakep." Caramel menyodorkan kedua telapak tangannya yang berisi bedak pada kedua bocah itu.
Janne menggeleng. "Mbak Amel, apa iya kata Ibu, Mbak mau pulang?" celetuk Janne.
"Iya... Makanya sini dong bedakan, besok kita nggak ketemu lagi loh."
Akhirnya kedua balita itu maju, menyerahkan wajah gembul mereka untuk di polesi bedak bayi. Keduanya kembali duduk manis di atas sofa cokelat yang ada di ruang tengah.
"Mbak Amel pulangnya lama nggak?" tanya Ries sembari mengayunkan kakinya pelan.
Caramel mengangguk dengan binar mata antusias, tak sabar ingin bertemu keluarganya.
"Jangan lama-lama Mbak, nanti kami main sama siapa?" Janne mengeluh dengan mimik sedih. Ah, rupanya mereka berubah menjadi anak baik karena ini. Caramel ingin tertawa jahat, tapi tak tega juga.
Caramel mencoba memahami perasaan Janne dan Ries. Nakalnya mereka semata-mata karena ingin diperhatikan, kedua balita ini tumbuh bersama, karena mereka tumbuh bersama, maka orang dewasa di rumah ini menerjemahkan bahwa mereka tak lagi butuh teman. Berdua saja cukup hingga membuat keduanya selalu terkurung dalam rumah mewah yang sepi ini. Yang tidak dimengerti oleh orang dewasa di sini adalah bahwa Janne dan Ries butuh teman, bukan wifi, ponsel juga tonton. Mereka butuh kebebasan dengan pengawasan untuk berkembang, mereka butuh alam untuk bereksplor.
Caramel meresume pelajaran sejarah pada jam istirahat sembari mengunyah sebungkus roti yang lima hari lagi expired dan siap dibuang oleh Siska semalam. Rotinya banyak, sekitar 9 bungkus. Dari pada dibuang lebih baik Caramel ambil kembali dari kotak sampah, sayang sekali makanan yang sebenarnya masih layak dimakan tapi justru dibuang.
"Lembut banget, sih." Caramel menikmati sensasi roti lembut yang menari di lidahnya. "Roti orang kaya emang beda."
"Mau, Vi?" tawar Caramel pada teman sebangkunya yang sejak tadi terlihat murung.
Vivi menggeleng lemah seperti manusia tiada daya dan tak ingin mengerahkan upaya. "Gue tuh kesel, Mel..." Vivi melirih dengan suara bergetar.
"Kenapa, eh?" Mata Caramel membola, tak sadar bila temannya itu sejak tadi sudah berlinang air mata.
"Pacar gue..." Hiks!
Ah, bersyukur lah Caramel sebab ia terhindar dari virus bucin hingga tak perlu buang-buang waktu dan air mata untuk urusan yang tak berguna macam urusan Vivi.
"Pacar gue selingkuh!" Pecah sudah tangis Vivi.
Caramel meletakkan rotinya bingung, terus kalau selingkuh kenapa? Maksudnya begini... Hidup terlalu singkat untuk menangisi lelaki yang memang tak mau dengan kita, kan? Jika memang tidak mau yasudah, putus, selesai.
"Kan udah gue bilang, nggak usah pacaran. Makan hati kan ujung-ujungnya. Putusin aja biar lo bisa fokus sekolah dan nggak tambah bloon." Bagus, Mel. Tajam sekali.
"Ish, Amel!" Vivi yang tadi menunjukkan wajah berurai air matanya kini berpaling.
"Lagian bukannya lo juga punya pacar lain selain dia, kan? Berarti kalian impas dong."
"Ya beda! Kalo Fajar mah cuman pacar iseng-iseng, kalo Lio pacar beneran gue!"
"Kalo gitu jadiin Fajar pacar beneran biar simpel."
"Caramel!!!" Vivi menggebrak meja, kesal bukannya membela dirinya malah memberikan solusi tak masuk akal. "Lio itu cinta sejati gue, mana bisa diganti sama Fajar," sambungnya mendengus. Beginilah orang ketika dalam keadaan dimabuk cinta, memusingkan saja.
"Kanan, Mang, kanan." Caramel menepuk bahu kanan pengendara yang menyediakan jasa antar jemput itu.
"Jangan lupa kasih bintang lima ya, Neng!" seru si bapak dengan cengiran lebar sebab mendapat uang tip dari Caramel.
Caramel tersenyum bahagia menatap rumahnya. Dengan jantung berdegup, tangan dingin, Caramel melangkah memasuki pekarangan rumahnya.
Melangkahlah sepasang kaki jenjang itu dengan mantap diringi senyum lebar tak kunjung pudar, meski dirinya sedikit kesusahan menenteng tas penuh berukuran besar.
"Assalamualaikum! Ayah, Bunda, Ona. Aku pulang!"
Cklek!
Liona beserta wajah bantalnya menatap Caramel silau. Mengerjap pelan, menelisik lebih dalam, menatap tak percaya pada objek di hadapannya.
"Ini kak Amel, ya?" Liona menunjuk Caramel. Setelah ia telisik sekali lagi, sepertinya memang benar iya.
Seperti anak koala yang telah lama kehilangan induknya, Liona merentangkan tangan dengan jari-jari yang ia genggam urai genggam urai, minta di gendong.
"Kak Amel tambah kurus."
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm okay (END)
Teen FictionOrang tuanya selalu bertengkar, tak ada yang bisa ia lakukan selain berusaha meyakinkan diri bahwa keluarganya akan baik-baik saja. Pertengkaran adalah hal wajar dalam rumah tangga. Tumbuh gadis itu berdampingan dengan rasa sakit. Hingga tiba pada...