Happy Reading
*
*
Kedatangan Bian bersambut tatapan tajam orang tuanya. Membuatnya sadar dan memilih duduk di kursi sofa. Sedikit bersyukur karena tak menenggak habis minuman haram di pub. Menjadikan kesadaran masih sepenuhnya menguasai.
"Apa lagi?" tanya Bian pada akhirnya.
"Kamu tau Bian? Menantu Mama hampir minum racun—" jedanya membekap mulut. Sewaktu Aryo menceritakan kejadian di garasi, sontak saja Gendis menangis dipelukan suaminya. Tak bisa menahan rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap.
"Oh, bagus dong. Biar mati sekalian." Teramat santai Bian menimpali. Menyandarkan kepala di punggung sofa.
"Anak kurang ajar. Kamu mau jadi pembunuh!" bentak Aryo.
"Mama mohon Bian, berubah demi istri dan calon anak kamu," lirih Gendis.
"Dia bukan anak Bian. Si berengsek itu bo—"
"Cukup Bian. Kalo kamu masih tidak mau berubah, mending kamu keluar dari rumah ini," tutur Aryo memandang sengit anak semata wayangnya. Mengintimidasi serupa Bian bawahan yang melakukan kesalahan fatal.
"PA!" bentak Bian terlampau kaget.
Gila saja jika seorang Biantara Arjuna harus hidup melarat karena ulah perempuan itu. Harga diri Bian seperti di rendahkan melihat kedua orang tuanya membela Si cupu dibanding anak kandung mereka sendiri.
"Pilihannya cuma dua. Jadi suami yang bertanggungjawab atau keluar dari rumah ini," tukas Aryo membawa istrinya menuju kamar. "Pikirkan, sebelum kamu menyesal," sahutnya masih terdengar jelas.
Bian buka pintu kamar dengan tendangan kasar. Menghadirkan bunyi bedemum dari getaran daun pintu beradu dengan dinding kamar. Melupakan jika tidur perempuan di ranjangnya kembali terusik.
"Heh! Bangun lo."
Remaja tanggung itu menendang ranjang sisi pembaringan Seraphina. Jemarinya saling terkepal berusaha meredakan emosi kala melihat mata sayu itu menatapnya berkedip. Menyesuaikan dengan penerangan dari ulah pemilik kamar.
"Ini 'kan yang lo mau. Buat gue menderita, terus lo bisa ketawa-ketawa nikmatin kekayaan bonyok gue," sahutnya melenceng jauh.
Melihat keterdiaman Seraphina-masih mencerna perkataan Bian-membuat lelaki itu mendorong pundak Seraphina agar kembali tertidur. "Oke. Gue bakal jadi suami yang bertanggungjawab, versi Biantara Arjuna." Bian menekan tiga kata terakhirnya.
Percakapan mereka berakhir sampai bunyi berdebum dari pintu kamar mandi membuat nyali Seraphina menciut. Rasa kantuknya merosot jatuh tanpa sisa. Degupan jantungnya menggila seirama dengan gemercik air dari kamar mandi.
Seraphina duduk gelisah di pinggiran ranjang. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya. Ingin keluar kamar tapi wajengan dari Gendis— ibu mertuanya— masih terpatri indah pada memori otaknya. Terpaksa kebiasaan buruknya menggigit kuku jika dilanda khawatir kembali dilakukan.
Pintu terbuka menampilkan sosok menjulang Bian. Jantung Seraphina serupa berhenti berdetak ketika melihat tubuh polos bagian atas lelaki itu. Handuk Bian hanya mampu menutupi bawah pinggang sampai lututnya.
Wanita hamil itu meneguk salivanya sembari menggeleng pelan. Jujur saja ketertarikannya terhadap Bian memang tidak ada. Tapi melihat postur tubuh lelaki itu hampir membuat Seraphina mati kepanasan.
Seumur hidup baru Chandra— kekasihnya— lelaki yang memperlihatkan bentuk tubuhnya kepada Seraphina. Kembali lagi ingatannya dipenuhi tentang peristiwa berdosa itu. Sampai akhirnya berhenti ketika pengakuan Bian di halaman belakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
P E N D A R (On Going)
Teen FictionKesalahan masa lalu membawa Seraphina pada kisah yang tak pernah disangkanya. Terjebak bersama lelaki itu menjadi kemustahilan untuk dibayangkan. Tapi garis takdir selalu punya cara sendiri, mengajak Seraphina bermain-main. Semua terjadi karena mulu...