Bibir tipis Raka melengkung, membentuk sebuah senyuman manis penuh euphoria mendapati gadis yang sejak tadi menari di pikirannya saat ini berdiri kurang dari sepuluh meter dari tempatnya duduk. Tak ingin mangsanya kabur, cepat-cepat ia bangkit dan berlari keluar, mencekal pergelangan tangan Dira yang sudah mencoba berlari meninggalkannya.
"Semakin lo berontak, semakin sakit tangan elo!" ancam Raka semakin merapatkan keempat jarinya dengan jempolnya, membuat Dira sedikit mengerang kesakitan karena cengkraman tangan yang bahkan mampu menenggelamkan kepalan tangannya sendiri.
"Sin, tolong tinggalin kita! Dia aman sama gue!" komando Raka pada Sinta yang sudah terpaku di tempatnya tak tahu harus berbuat apa.
"Tapi lepasin Dira kak," mohon Sinta tak tega melihat sahabatnya kesakitan.
"Pergi gue bilang!" bentak Raka tegas, tandas. Membuat nyali Sinta seutuhnya mengkerut dan dengan tatapan penuh permohonan maaf ia meninggalkan Dira.
Keduanya diam, Dira masih mengatur nafasnya yang memburu sedangakan Raka membiarkan gadisnya itu menjadi lebih tenang agar apa yang akan ia katakan mampu diterima Dira dengan akal sehatnya.
"Maaf, gak ada cara lain buat ngajak lo ngomong," Ucap Raka setelah Dira terlihat lebih tenang.
"Banci banget lo, main kasar sama cewek!" Cibir Dira sambil menyandarkan punggung kecilnya pada tembok dibelakangnya. Ia sadar, segala bentuk pemberontakannya akan sia-sia saja karena dengan mudah Raka dapat mematahkannya. Sedikit banyak ia hanya berpegang pada ungkapan pertahanan yang baik adalah penyerangan yang sempurna.
Raka bersiul keras, kemudian tertawa lepas.
"Mau cobain gue? Kapan? Dimana?" ucapnya menggoda, garis tebal di atas mata kirinya bergerak naik turun.Kedua tangan Dira mengepal kuat, wajahnya merah padam menahan emosi karena perkataan Raka yang menurutnya sudah kurang ajar.
"Santai aja kali cantik! Gue becanda, gue nggak akan menggoreskan apapun di atas keindahan permata yang ada di depan gue ini," Jawab Raka kalem, citra diri yang melekat padanya beberapa detik lalu luruh begitu saja.
"Yah kecuali kejadian di bukit itu, itu kan lo nggak nolak, lo bales pula, gue yakin sampai saat ini juga baru gue kan yang lo ijinin?" Raka menyeringai tipis melihat wajah Dira yang semakin merah padam.
Setelah memastikan Dira tak akan pergi, Raka menyenderkan punggungnya pada tiang pembatas, hingga jaraknya dan Dira kini menjadi selebar lorong pembatas ruang musik dengan taman sekolah.
"Gue kangen banget sama elo, lo nggak?" Tanyanya, walaupun ia tahu pasti Dira tak akan menjawab.
"Demi apapun, malem itu gue bener-bener nggak niat mengikhari janji gue buat elo, semuanya terlalu rumit buat gue cerna dalam waktu sesingkat itu."
"Lo pikir gue percaya?" Potong Dira lengkap dengan senyum sarkas di bibirnya.
"Harus! Nggak ada options lain selain apa yang gue bilang," Sahut Raka cepat.
"Lo pikir gue sebego itu apa lepasin bidadari macem elo gitu aja?"
"Elo nggak cuma bego kali Ka! Pake banget malah," sahut sebuah suara yang membuat Raka dan Dira serentak menoleh ke sumbernya, mendapati Davian yang melangkah gagah dengan kedua tangan yang tersimpan di sakunya, lengkap dengan senyum penuh cibiran yang terarah lurus pada Raka yang sudah menatap geram padanya.
"Lo pikir gue nggak tau kalo malem itu elo mabuk-mabukan nggak jelas?"
Raka dan terlebih Dira terperangah dengan fakta yang baru saja diungkapkan Davian. Dan lagi, kalenjar air mata Dira harus bekerja lebih saat tukak di hatinya yang belum juga mengering harus tersiram asam. Ia biarkan butiran-butiran kristal cair itu mengalir membasahi pipinya, tak ada gunanya lagi menahannya, biarlah kehancurannya terbongkar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Trilogi[1] Pelangi di Malam Hari
Teen FictionCover by: @Pinterest [Mereka terlalu percaya dengan kalimat setelah hujan akan datang pelangi. Sampai mereka lupa jika hujan bisa datang di malam hari. Karena sesering apapun hujan turun di malam hari ia tidak akan pernah berjanji untuk mendatangkan...
28^ Tokoh Antagonis?
Mulai dari awal