Matahari perlahan bergerak menuju peraduannya, memancarkan sinar keemasan yang memantul masuk melalui jendela gedung berlantai tujuh ini. Cahaya itu menyelinap, memberikan sentuhan hangat pada ruangan yang dingin dan sepi. Di sudut ruangan, suara tuts keyboard terdengar keras, seperti menjadi penanda ketegangan seseorang yang sedang meluapkan emosinya melalui setiap ketukan.
Semenjak perlakuan atasannya siang tadi, mood Agnes benar-benar kacau. Pikirannya terus berputar, mengulang kejadian yang membuatnya merasa terhina dan marah. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menyelesaikan pekerjaannya, tetapi setiap kali jarinya menyentuh keyboard, bayangan kejadian itu kembali menghantui. Dadanya sesak, antara menahan amarah, malu, dan kekecewaan pada dirinya sendiri karena tidak mampu melawan.
Seharusnya ia melakukan perlawanan tadi, tapi bodohnya ia, ia justru terbawa hanyut pada permainan yang dimainkan oleh Edwin.
"Aaaa" jeritnya tertahan. Ia menjambak rambutnya yang sudah terlihat acak-acakan."Bagiamana ini? Bagaimana dengan nasibku selanjutnya? Apakah aku akan dipecat dan dimasukkan penjara? Atau aku akan menjadi salah satu wanita yang harus memuaskan hasratnya?" Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul menghantui pikirannya.
Semua pertanyaan itu terhenti ketika ia mendengar suara pintu terbuka. Pintu itu terbuka perlahan, mengeluarkan suara gesekan lembut yang terdengar jelas di tengah keheningan ruangan. Agnes, yang masih tenggelam dalam badai pikirannya, langsung tersentak. Dengan cepat ia berusaha menyembunyikan kekalutan yang tampak jelas di wajahnya. Sepuluh jemarinya segera melayang di atas keyboard, menari tanpa pola, sekadar menciptakan ilusi kesibukan. Tatapannya terpaku pada layar komputer, meski pandangannya kabur oleh pikiran yang terus melayang-layang.
Langkah kaki terdengar mendekat, mantap dan perlahan, membuat jantung Agnes berdegup semakin kencang. Napasnya tertahan. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi jika yang masuk itu Edwin, atasannya yang tadi siang melecehkannya.
“Kerja keras sekali kamu sore-sore begini,” suara berat itu memecah keheningan. Agnes mengenali suara itu dengan jelas.
Punggungnya menegang seketika, tapi ia tetap mencoba terlihat tenang. “Hanya menyelesaikan laporan dan menyusun jadwal Anda kedepannya, Sir.” jawabnya dengan berusaha menjaga nada suaranya tetap datar. Ia tidak ingin menunjukkan perasaan apapun, terutama rasa takut atau marah. Namun, tangannya yang menggenggam mouse gemetar, dan ia tahu Edwin pasti menyadarinya.
Edwin berjalan memutar ke sisi meja Agnes, memperhatikan layar komputernya sejenak. Senyum geli terbit di wajah rupawannya saat melihat apa yang Agnes ketik. Bagaimana tidak, tanpa sadar Agnes hanya mengetikkan huruf secara acak nan panjang.
Tubuh Edwin menunduk, mendekat ke arah sisi kanan Agnes. Bau parfumnya menusuk hidung Agnes, membuat ia semakin tidak nyaman. "Kamu kelihatan gelisah. Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya dengan nada yang terdengar seperti mengejek.
Agnes mengepalkan tangan di bawah meja. Ia ingin berteriak, ingin melawan, tapi sesuatu di dalam dirinya menahannya. "Tidak ada," jawabnya singkat tanpa menoleh. Namun, ia tahu kebohongan itu tidak akan membodohi Edwin. Mata Edwin selalu tajam, mampu membaca kegelisahan orang lain seperti buku yang terbuka.
Edwin tersenyum kecil, seolah puas melihat Agnes yang tetap bertahan dalam kegelisahannya. "Baiklah," ucapnya akhirnya. "Ikut denganku. Urusan kita belum selesai"
Agnes menatap layar komputer di depannya, berusaha menenangkan detak jantung yang tiba-tiba berpacu lebih cepat. Kata-kata Edwin barusan seperti perintah yang tak mungkin ditolak, meski seluruh tubuhnya menolak untuk bergerak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Kirim
RomanceWARNING ?????? Cerita ini mengandung unsur dewasa dan diperuntukkan untuk usia 21+++. Anak di bawah umur dilarang mendekat dan membaca cerita ini. Dosa ditanggung pembaca. Jangan lupa follow akun penulis;) ** Agnes Seraphina merupakan wanita be...