抖阴社区

Chapter 16

32 3 0
                                    

NADIRA mengikuti emosinya dengan terus berlari tak tentu arah. Jejak mobil yang membawa Arthur dan Nicole pun tak bisa ia temukan. Tentu saja, hampir mustahil terkejar.

Di tengah keramaian dan hiruk-pikuk yang makin hidup bahkan mendekati dini hari, Nadira menepi sejenak. Sambil menarik napas panjang, ia berusaha mengais energi dan mengumpulkannya hingga utuh.

Ia tahu usahanya menyusul Arthur akan sia-sia. Tapi dengan berlari, ia bisa melepas sesak dan luka yang membuatnya sulit bernapas. Dengan berlari, ia bisa menangis keras tanpa ada satu orang pun yang menyadari. Dengan berlari, ia bisa merasakan kebebasan sekaligus kepuasan karena berhasil menghadapi Leo, walaupun pria itu tidak akan begitu saja pergi dari hidupnya dengan sekali gertakan. Dan semua itu tak lepas dari dukungan para sahabat dan tentu saja pria yang membuatnya jatuh cinta ... Arthur Maximiliano.

Di dalam mobil, Arthur menatap heran ponselnya lalu memasukkan barang berharga itu kembali ke saku.

"Siapa yang telfon? Kenapa nggak dijawab?" tanya Nicole penasaran.

Arthur mengedikkan bahu sekilas. "Christ. Tapi dia nggak bilang apa-apa."

"Oh." Reaksi Nicole singkat. Meski begitu, intuisi perempuannya mengatakan tidak hanya itu.

Nicole tahu Arthur sedang mengkhawatirkan Nadira. Terlihat dari cara Arthur memandang gadis itu sebelum pergi. Dan sekarang Arthur sama sekali tidak mengajaknya bicara. Sementara mobil yang membawa mereka belum sampai keluar gerbang utama kampus. Detik ini mereka masih berkeliling kompleks fakultas.

Ada apa dengan kecepatan mobil ini? Jalannya lambat sekali, gerutu Nicole dalam pikirannya. Entah mengapa, perasaannya tak tenang. Takut kalau Arthur berubah pikiran dan turun dari mobil secara tiba-tiba.

Meski ia sangat ingin bertanya soal Nadira, Nicole menahan diri. Ini bukan saat yang tepat, batinnya lagi. Ia tidak ingin kebersamaan mereka terusik hanya karena Nadira hadir di tengah percakapan keduanya.

Malam yang semula terang, tiba-tiba diguyur hujan. Nicole dan Arthur masih setia menatap serdadu langit itu dari dalam mobil. Sebaliknya dengan keadaan di lapangan kampus yang mulai ramai oleh orang-orang. Mereka berbondong-bondong mencari tempat berteduh.

Dalam hitungan detik, belasan food truck yang berjajar, telah dipenuhi para pengunjung, termasuk food truck Tante Irene. Namun, tak sedikit juga orang-orang yang masih bertahan di lapangan dengan kondisi basah kuyup. Nadira termasuk di antaranya.

Sementara itu di dalam mobil, Nicole terenyak. Satu gerakan dari Arthur menyentak batinnya yang sejak tadi gelisah. Dan, firasatnya benar. Arthur tiba-tiba meminta sopir menghentikan mobil mereka.

"Kamu mau ke mana?" tanya Nicole emosi setelah mobil mereka menepi. "Kalau nggak berangkat sekarang, kita bisa ketinggalan pesawat!"

Meski sudah diperingkatkan, Arthur tetap keluar. "Kamu duluan saja. Nanti aku menyusul."

Blup. Pintu tertutup dengan cepat. Nicole sempat ikut keluar, tapi hujan deras memaksanya masuk kembali dan melanjutkan perjalanan ke bandara.

Beberapa saat berlalu, hujan mulai turun rintik-rintik. Nadira berjalan pelan menyusuri trotoar yang dikelilingi pepohonan tinggi menjulang. Berkat dedaunan yang rindang, tubuhnya tak sampai basah kuyup saat serdadu langit menyerbu tadi.

Sepasang matanya masih menatap ujung sepatu. Lampu jalan menyinari langkah. Dingin mulai menusuk hingga ke tulang.

Ketika menengadahkan dagu, langkah Nadira sontak terhenti. Ia membeku cukup lama. Manik hitamnya menatap lurus ke arah sosok pria yang mirip Arthur. Apakah ia Arthur? Nadira belum mempercayai panca indranya sendiri.

Mereka masih membeku. Tidak ada percakapan. Hanya saling bertukar pandang. Walaupun sosok itu ternyata hanya ilusinya saja, Nadira merasa bersyukur.

Menyadari keraguan gadis itu terhadap dirinya, Arthur pun menyapa lebih dulu. Dengan kata yang mudah dicerna. Dengan intonasi yang rendah dan perlahan.

"Nadira. I'm sorry if i startled you. Barusan saya turun dari mobil dan minta Nicole untuk pergi ke bandara lebih dulu. Setelah bicara sama kamu dan memastikan semuanya, saya baru akan pergi."

Seperti terhipnotis sesaat, Nadira membuang pandangannya sejenak dari mahkluk tampan di depannya ini untuk mencerna yang baru saja ia dengar.

"Nadira, saya hanya ingin bertanya."

Arthur mengambil satu langkah maju. Namun tidak dengan Nadira yang justru surut ke belakang. Perasaan bahagia dan gugup berkecamuk, hingga bergerak sedikit saja, bagi Nadira terasa serba salah.

"Apa kamu mengidam androphobia?"

***

Para pembaca yang budiman, terima kasih sudah mampir ke cerita ini ya. Karena Peridot Vow sudah pernah dibukukan (versi lama 2018), maka untuk yang versi terbaru tidak free ya teman-teman. Jadi mohon dukung karyaku ini di Karyakarsa.com search Peridot Vow Chapter 16

Peridot VowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang