抖阴社区

32. It's hurt, but It's okay

Mulai dari awal
                                    

Tapi Lavinia bukan wanita lemah. Ia telah bertahan sejauh ini, dan ia yakin, jika ia merencanakan segalanya dengan hati-hati, ia bisa menemukan cara untuk melarikan diri.

...

Pagi harinya, Lavinia turun ke ruang makan dengan langkah ringan meski hatinya berat. Alistair sudah duduk di sana, membaca koran seperti biasa, dengan cangkir kopi di sebelahnya.

Cassandra juga ada di sana, duduk di kursi favorit Lavinia, menyeringai puas sambil mengaduk teh di cangkir porselennya.

“Selamat pagi, Duchess Lavinia,” sapa Cassandra dengan nada menyindir.

Lavinia hanya mengangguk kecil, menahan dorongan untuk membalas. Ia mengambil tempat di ujung meja, menjaga jarak dari keduanya.

“Kau tidak menyapa suamimu, sayang?” Alistair berkata tiba-tiba, suaranya dingin namun penuh sindiran.

Lavinia mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan pandangan datar. “Pagi, Alistair,” katanya singkat sebelum mulai mengambil sepotong roti.

Suasana meja makan menjadi canggung, meskipun Cassandra tampak sangat menikmati ketegangan itu. Wanita itu terus berbicara tentang masa lalunya dengan Alistair, menyebut kenangan-kenangan mereka dengan detail yang menyakitkan bagi Lavinia.

“Aku ingat saat kita di Paris, Alistair. Kau ingat, bukan? Betapa romantisnya malam itu,” ujar Cassandra sambil tersenyum manis.

Lavinia meletakkan pisaunya dengan lembut, menatap langsung ke arah Cassandra. “Paris mungkin indah, Cassandra, tetapi itu hanya tempat. Orang yang membuatnya berarti. Aku harap kau tidak mengandalkan kenangan masa lalu untuk membuat hidupmu terasa berharga,” katanya dengan tenang namun tajam.

Cassandra terlihat terkejut sejenak, tetapi dengan cepat ia tersenyum sinis. “Ah, Lavinia, kau selalu tahu cara memilih kata-kata. Tapi aku tak butuh pengingat tentang apa yang berharga. Aku hanya ingin memastikan kau tahu di mana posisimu.”

Lavinia tidak menjawab. Ia berdiri dengan anggun, menyeka mulutnya dengan serbet. “Pardon me, aku harus pergi. Ada hal yang lebih penting daripada membahas masa lalu,” katanya, lalu meninggalkan ruang makan dengan kepala tegak.

Malam itu, setelah beberapa jam berlalu, Lavinia hanya berdiri di balkon kamarnya. Angin malam yang dingin menyentuh kulitnya, tetapi ia hampir tidak merasakannya. Pikirannya terus melayang-layang, memikirkan masa lalu, pernikahannya yang penuh kepalsuan, dan masa depan yang tak jelas.

Tangannya dengan lembut menyentuh perutnya yang besar. Bayi itu bergerak sedikit, seolah mengingatkan Lavinia bahwa ia harus tetap kuat, tidak peduli seberapa sulit situasi yang ia hadapi.

Tiba-tiba, langkah berat terdengar di belakangnya. Sebelum Lavinia sempat berbalik, sepasang lengan kuat melingkari tubuhnya dari belakang. Ia membeku sesaat saat merasakan tubuh hangat Alistair, suaminya, menempel di punggungnya.

“Lavinia,” suara Alistair terdengar lembut di dekat telinganya, sesuatu yang jarang ia dengar darinya. Tangannya yang besar dan hangat mulai mengelus perut besar Lavinia dengan gerakan yang mengejutkan lembut.

Bayi di dalam perutnya merespons, menendang ringan. Lavinia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan aneh yang menghampirinya, seakan-akan tubuhnya merespons perhatian Alistair dengan cara yang tak bisa ia kendalikan.

Namun, kesadarannya segera membangunkan dirinya dari khayalan singkat itu. Ia tidak boleh terbawa oleh momen ini. Alistair bukan pria yang peduli. Semua yang ia lakukan hanya untuk menjaga kendali, memastikan Lavinia tetap berada di bawah kekuasaannya.

Dengan dingin, Lavinia melepaskan tangan Alistair dari perutnya dan berbalik menatap pria itu. Tatapannya dingin dan penuh kewaspadaan, meskipun dalam hatinya ada perasaan yang sulit ia artikan.

“Aku ingin sendiri,” katanya tegas, mencoba mengusir Alistair tanpa terlalu banyak konfrontasi.

Alistair tidak bergerak, matanya menatap Lavinia tajam. “Kau ingin sendiri? Saat seperti ini?” tanyanya dengan nada datar, tetapi ada nada tersirat yang membuat Lavinia merasa terpojok.

Lavinia menghela napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak kehilangan kendali. Tetapi perasaannya yang semakin tertekan membuatnya sulit untuk tetap tenang. “Ya, aku ingin sendiri,” katanya, suaranya mulai meninggi. “Apa kau tidak bisa memahami itu? Aku sedang hamil, Alistair. Aku lelah. Aku muak dengan semua ini.”

Alistair menyipitkan matanya. “Muak dengan apa, Lavinia? Dengan pernikahan kita? Atau dengan diriku?”

Lavinia tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam tawanya. “Muak dengan semuanya, Alistair. Dengan pernikahan yang tidak pernah benar-benar menjadi milikku. Dengan pria yang bahkan tidak tahu bagaimana memperlakukan istrinya. Dengan... dengan semua kebohongan dan manipulasi ini.”

Alistair melangkah maju, suaranya lebih dingin. “Kau pikir kau berhak berkata seperti itu? Kau adalah istriku, Lavinia. Istri seorang Duke. Kau punya segalanya.”

“Segalanya?” Lavinia membalas dengan nada tajam. “Segalanya kecuali cinta, kebahagiaan, dan kebebasan. Aku mungkin istrimu di atas kertas, Alistair, tetapi aku bukan milikmu. Aku tidak akan pernah menjadi milikmu.”

Alistair terdiam, tetapi ada kilatan di matanya yang membuat Lavinia merasa waspada. Pria itu tidak suka ditantang, dan Lavinia tahu ia sedang melangkah di atas garis yang berbahaya.

“Aku akan pergi,” ujar Lavinia, menegaskan keberaniannya. “Entah kau setuju atau tidak, aku akan mencari jalan untuk keluar dari neraka ini.”

Namun, Alistair hanya tertawa kecil, sinis. “Kau pikir kau bisa pergi? Kau pikir aku akan membiarkanmu? Jangan lupa, Lavinia, aku punya kekuasaan. Tidak ada tempat di dunia ini yang bisa menyembunyikanmu dariku.”

Kata-katanya seperti ancaman, tetapi Lavinia tidak menunjukkan rasa takut. Ia hanya menatap pria itu dengan penuh kebencian, tekad semakin menguat dalam dirinya.

“Kalau begitu, coba saja hentikan aku,” katanya dengan suara rendah tetapi penuh tantangan.

Alistair mendekat, menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak perlu menghentikanmu, Lavinia. Kau akan tetap di sini. Bukan karena aku memaksamu, tetapi karena kau tidak punya pilihan lain.”

Setelah mengatakan itu, Alistair berbalik dan pergi, meninggalkan Lavinia sendirian di balkon. Wanita itu berdiri diam, tubuhnya bergetar karena amarah yang tertahan.

Tetapi di balik kemarahannya, Lavinia merasa lebih yakin dari sebelumnya. Ia harus melarikan diri, apa pun risikonya. Untuk dirinya sendiri. Untuk bayinya. Tidak ada yang bisa menghentikannya kali ini, bahkan Alistair.

The Duchess's Deception (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang