抖阴社区

Update Author ^__!

425 2 0
                                    

Guys guys guysss!!
DI SINI AKU BAWAIN CERITAA BARUU yang vibe-nya tuh mirip-mirip sama TDD inii!! Tapi yang ini tuh lebih ke arah fantasy dark romance kerajaan gituu... ada sihir, magic, dan DUNIA GELAP yang bakal bikin kalian kejebak di antara cinta, pengkhianatan, dan balas dendam!

Cerita ini judulnya Velvet Shadows (iyah judulnya aja udah kerasa dark-nya kan?!)
Dan FYI yaaa ini alhamdulillah udahh end... dann udah masuk ke bagian puncak rasa sakit HAHAHA cry in blood
Aku akhirnya selesai nuliss part ending-nya, jadi doakan semoga banyak yangg bacaa yaa

Dan ini prolognya... brace yourself bestie, this one gonna break you in style
(tapi tenang, patah hati estetik itu aesthetic)

 brace yourself bestie, this one gonna break you in style(tapi tenang, patah hati estetik itu aesthetic)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prolog ;

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prolog ;

Malam itu menjadi malam paling gelap dalam hidup Aerys Seymour. Setelah serangkaian penghinaan, pengkhianatan, dan keruntuhan keluarganya, ia kembali ke istana Seymour hanya untuk menemukan kenyataan yang lebih kejam. Ayahnya, Lord Thaddeus Seymour, terbunuh di halaman rumah keluarga Seymour dengan luka tikaman di dada. Tubuhnya tergeletak di atas lantai marmer, darahnya menggenang seperti genangan neraka.

Tidak jauh dari sana, tubuh ibunya, Lady Amara Seymour, ditemukan di taman mawar yang menjadi tempat favoritnya. Wajahnya pucat dengan leher yang terluka. Mawar-mawar merah yang indah kini berubah menjadi latar belakang tragedi yang menyayat hati.

Aerys berdiri di tengah kegelapan itu, tubuhnya gemetar. Air matanya tidak bisa lagi keluar; ia terlalu hancur untuk menangis. Hanya suara detak jantungnya yang terdengar di telinganya, seakan menjadi saksi hidup terakhir dari kehancuran keluarganya.

Ketika ia melangkah ke aula besar istana, ia melihat Elias berdiri di sana, dikelilingi oleh beberapa prajurit keluarga Valefor. Wajahnya tidak menunjukkan penyesalan atau belas kasihan.

"Elias..." suara Aerys hampir tidak terdengar. "Apa yang kau lakukan? Mengapa kau melakukan ini?"

Elias menatapnya dengan dingin, tanpa emosi. "Kau masih tidak mengerti, Aerys? Semua ini adalah permainan. Keluargamu hanyalah rintangan dalam jalanku untuk mendapatkan kekuasaan. Dan kau..." la mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang menghantui. "Kau hanyalah bidak yang mudah dimanipulasi."

Aerys mundur, tidak percaya dengan kata-kata itu. "Aku mencintaimu... Aku menyerahkan segalanya untukmu... dan kau membunuh keluargaku?"

Elias tersenyum tipis, senyuman yang membuat Aerys merasa mual. "Cinta? Kau terlalu naif, Aerys. Cinta adalah kelemahan, dan aku tidak pernah memiliki kelemahan."

Malam yang tragis itu berubah menjadi mimpi buruk yang lebih besar. Elias, tanpa ragu, mengangkat pedangnya dan menusukkannya ke perut Aerys. la jatuh ke lantai, darah mengalir dari lukanya, matanya yang besar memandang Elias dengan campuran rasa sakit, kebingungar pengkhianatan.

Hujan turun dengan deras di atas Kastil Valefor, membasahi batu-batu tua yang telah menyaksikan begitu banyak darah tumpah. Petir menyambar langit kelam, menerangi bayangan dua sosok di tengah aula besar yang porak poranda.

Aerys terhuyung, tangannya yang berlumuran darah mencengkeram perutnya yang tertembus pedang. Napasnya tersengal, tubuhnya terasa semakin dingin, tetapi bukan hanya rasa sakit yang menghantamnya—melainkan kekecewaan yang begitu dalam. Matanya yang besar dan penuh kehidupan kini dipenuhi rasa pengkhianatan.

Di hadapannya, Elias berdiri dengan ekspresi yang tak bisa dibaca. Pedang di tangannya masih meneteskan darah segar. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatap lurus pada sosok yang perlahan jatuh berlutut di hadapannya.

"Demi Tuhan, Elias..." suara Aerys bergetar, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena ia tak pernah mengira pria itu benar-benar akan melakukannya. "Kamu iblis."

Elias menutup matanya sejenak, seolah mencoba mengabaikan suara itu. Namun saat ia membuka kembali matanya, hanya kegelapan yang tersisa di sana. "Maaf, Karena ini satu-satunya jalan," katanya lirih.

Aerys terbatuk, darah merembes dari sudut bibirnya. Ia tertawa kecil, getir. "Satu-satunya jalan? Untuk apa? Untuk siapa?"

Elias tidak langsung menjawab. Genggamannya di gagang pedang mengerat, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tak sanggup. Hanya suara hujan dan gemuruh petir yang menemani mereka.

"Kau tidak akan mengerti," akhirnya Elias berkata, suaranya nyaris tenggelam dalam suara hujan. "Jika aku tidak melakukan ini... maka semuanya akan berakhir lebih buruk."

Aerys menatapnya, seolah mencari sesuatu di dalam mata lelaki itu. "Kamu masih berbohong... bahkan sekarang," bisiknya, hampir menyedihkan.

Elias membuang napas panjang. Wajahnya tetap tanpa emosi, tetapi ada sesuatu yang rapuh di baliknya. "Aku tidak punya pilihan, Aerys."

"Tidak," Aerys membalas, suaranya kini hampir tidak terdengar. "Kau memilih ini. Kau memilih untuk mengkhianatiku."

Elias menutup matanya lagi, tetapi hanya untuk sesaat. Saat ia membukanya, sorotannya kembali kosong. "Ya," katanya akhirnya, suaranya datar. "Dan kau harus mati."

Aerys mengerang pelan, tubuhnya semakin melemah. Namun, sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya, ia menarik napas terakhirnya dan berbisik:

"Jika ada kehidupan setelah kematian... aku akan kembali. Aku akan memperbaiki semua kesalahan ini... dan aku akan menghancurkanmu, Elias. Demi keluargaku, demi diriku sendiri."

Matanya perlahan tertutup, tubuhnya ambruk di lantai batu yang dingin. Hujan yang masuk melalui jendela besar yang pecah menyapu darahnya, tetapi noda itu tidak akan pernah benar-benar hilang.

Malam itu, Aerys Seymour menghembuskan napas terakhirnya di tangan pria yang pernah ia cintai.

Tetapi kematian tidak akan menjadi akhir baginya.

Di suatu tempat di antara dunia orang hidup dan mati, sebuah kekuatan kuno menanti. Janji yang ia buat sebelum hembusan napas terakhirnya menggema dalam kegelapan, menuntut sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kematian.

Elias menghela napas panjang, menatap tubuh yang kini tak bernyawa di hadapannya. Tangannya yang berlumuran darah sedikit gemetar, tetapi ia segera menggenggamnya erat, menekan perasaan yang bergejolak di dadanya.

"Lupakan aku, Aerys," gumamnya pelan, suara yang nyaris tidak terdengar di tengah gemuruh petir. "Jangan kembali."

Namun, Elias tidak tahu bahwa permohonannya itu akan sia-sia.

Karena ketika waktunya tiba, Aerys akan kembali—bukan sebagai dirinya yang dulu, tetapi sebagai sesuatu yang lebih kuat, lebih berbahaya.

Malam yang tragis itu hanyalah kehidupan awal dari kisah yang jauh lebih kelam.

The Duchess's Deception (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang