Pemuda bermanik silver dengan nametag 'Solar' itu mengangkat kerah seragam teman sekelasnya dengan tatapan tajam. Menjadikan mereka pusat atensi semua orang yang sudah memasuki kelas setelah jam istirahat.
"Beraninya kau..mau menantangku dengan adu otak? kau pikir dengan siapa kau sedang berhadapan?", tanyanya dengan suara yang ditekan.
Temannya yang sudah gemetar menghadapi tatapan kemarahan Solar hanya bisa menggeleng takut. "Aku tidak bermasud Lar. I-ini hanya kebetulan saja, aku tidak bermasud menantangmu.."
"Bohong.."
"A-aku tidak bohong. Aku tidak tau kenapa aku bisa mendapat nilai 90, sungguh aku hanya belajar seadanya sa--"
"Bohong!!". Anak laki-laki itu terkulai dilantai saat sebuah tinjuan keras melayang kewajahnya. Tak lain dan tak bukan, Solarlah pelakunya. Ia membenarkan letak kacamata oranye miliknya dan dengan percaya diri mendekati sang kawan.
"Orang bodoh sepertimu, tidak pantas mendapatkan nilai yang lebih tinggi dariku. Kecurangan apa yang sudah kau buat hah? mau menjatuhkanku? bilang saja yang jujur", ucapnya seraya mengangkat kerah baju kawannya dan sekali lagi membogem pipi yang sudah berdarah akibat ulahnya.
Tak cukup hanya wajah, perut dan dada pemuda malang itupun tak luput dari pukulan sang peringkat satu yang sedang murka akibat nilainya tersaingi dimata pelajaran seni rupa.
Tak ada yang berani menolong, karena pada dasarnya jika ada yang melerai, mereka harus siap menggantikan posisi korban Solar. Seorang siswa kelas dua SMA yang penuh ambisi gila untuk mendapat nilai tertinggi dalam hal apapun. Dan jika ada yang sengaja ataupun tak sengaja mendapat nilai lebih besar, sudah pasti mereka akan berhadapan dengan Solar.
Di jejeran bangku tengah, nampak enam orang siswa yang hanya memandang saudara mereka berbuat kekerasan pada teman mereka. Ya, mereka adalah saudara kembar Solar. Bukan maksud mereka tak memberitahu saudara mereka, namun mereka sudah kehabisan cara mengatur tempramen pemuda bervisor itu.
Hali, Taufan, dan Gempa. Saudara mereka yang tertua walaupun hanya beda hitungan menit, hanya memandang ulah Solar. Berpikir sudah pasti jika ketahuan, maka pada akhirnya pemuda yang babak belurlah yang harus mempertanggung jawabkan semuanya. Atas kelicikan yang Solar buat.
"Ampun Lar..ampuni aku..aku janji diulangan selanjutnya aku tidak akan mencoba lulus, aku janji akan gagalkan Lar..maafkan aku..". Sebuah tendangan mendarat dikepala sang siswa, sebagai serangan terakhir setelah tubuhnya sudah babak belur oleh Solar.
Ia berjongkok dihadapan temannya itu yang sudah menangis kesakitan. "Oke. Kupegang janjimu. Tapi kalau sampai kau tidak gagal diujian selanjutnya..". Solar menepuk lengan temannya. Bahkan sentuhan pelan itu saja sudah membuat korbannya hari ini meringis kesakitan. "...akan kupastikan kau kehilangan satu atau dua lenganmu. Paham?"
Siswa itu mengangguk, membuat Solar tersenyum tipis karenanya. "Anak baik.."
.
.
.
Dikediaman para kembar tujuh yang besar dan mewah, nampak Solar tengah belajar matematika dengan fokus. Besok adalah dimulainya ujian kenaikan kelas karena pembagian rapot akan diadakan tak lama lagi dan liburan akhir semester sudah menungu para siswa.
Suasana begitu tenang, damai, lebih dari cukup untuk Solar bisa memfokuskan diri pada kegiatan belajarnya. Tak seperti anak lain yang biasanya suka bermain disore hari, ia selalu menghabiskan waktu untuk belajar, bahkan sampai tak melakukan hal lain seperti makan ataupun berkumpul dengan para saudaranya. Solar selalu sendiri dan kegiatannya selalu belajar.
Sementara diruang makan, nampak keenam kembar yang biasa disebut 'elemental' tengah menikmati makan malam mereka yang damai dan penuh canda. Penyumbang keramaian paling berisik ya tak lain adalah Taufan, Blaze, dan juga kembar ketujuh alias Thorn.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kenapa Aku Berbeda?
FanfictionKenapa yang lain boleh dan aku tidak? "Hanya satu hal yang bisa dibanggakan darimu, tapi kau gagal melakukannya" "Maafkan aku" "Aku janji, kami akan menjadi kakak yang baik untukmu. Adikku..Solar."