"Semoga kamu suka dengan ceritanya. Jangan lupa beri vote dan follow untuk menyemangati penulis, ya!"
Ruangan kos Putra yang sempit terasa semakin sesak oleh tumpukan berkas: salinan ijazah, transkrip nilai, dan berbagai surat pendukung lainnya yang telah ia cetak dan scan berkali-kali untuk memastikan semuanya sempurna. Di sudut meja, ada secangkir kopi yang kini sudah dingin, sisa upayanya untuk tetap terjaga malam ini. Ia tahu, tahap administrasi mungkin terlihat sepele, tapi ia percaya ini adalah gerbang pertama yang harus ia lewati dengan sempurna.
"Kalau gagal di sini, habis sudah semuanya," gumamnya, sambil membuka kembali CV-nya.
Dokumen itu ia susun dengan hati-hati, bahkan sampai menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk memastikan setiap detail terlihat profesional. Ia memilih font yang tepat, tata letak yang rapi, dan menambahkan sedikit sentuhan kreatif di bagian header sesuatu yang menurutnya bisa menarik perhatian HRD. Tapi apakah itu cukup untuk membedakan dirinya dari ribuan pelamar lainnya?
Sambil menunggu email balasan, Putra mencoba memecah kesunyian dengan membuka grup chat alumni kampusnya. Beberapa teman sudah berbagi kabar soal panggilan kerja mereka. Salah satunya baru saja diterima di perusahaan besar, lengkap dengan bonus awal yang menggiurkan.
"Gila, enak banget hidupnya" batin Putra sambil mengetik pesan singkat.
"Congrats ya, semoga sukses di sana." Ketik Putra.
Namun, di balik pesan itu, ada rasa iri yang membuncah. Ia bertanya-tanya, apa yang membuat teman-temannya berhasil sedangkan ia masih terjebak di tahap administrasi? CV nya sudah sempurna, surat lamaran sudah dibuat dengan penuh perhitungan, dan bahkan ia sudah mengikuti semua tips yang ia baca dari internet. Tapi sampai sekarang, balasan yang ia tunggu tak kunjung datang.
Dalam hatinya, Putra tahu bahwa proses ini hanyalah awal dari perjuangan panjang. Administrasi mungkin terlihat seperti tahap paling mudah, tetapi justru di sinilah banyak pelamar gagal tanpa pernah tahu alasannya. Apakah salah di format? Apakah kurang pengalaman? Atau apakah sekadar HRD tidak sempat membaca lamaran mereka?
Ia kembali ke layar laptopnya, membuka satu lagi situs lowongan kerja. Matanya menatap lama pada deskripsi pekerjaan yang tampak menarik, tetapi ada satu syarat yang membuatnya terdiam :
Pengalaman kerja minimal 2 tahun.
Putra mendesah keras. "Bagaimana bisa punya pengalaman kalau mereka nggak mau kasih kesempatan?" pikirnya.
Sebagai seorang fresh graduate, ia merasa seperti berada di lingkaran setan yang sulit ditembus.
Namun, menyerah bukanlah pilihan. Dengan tekad yang membara, Putra kembali membuka dokumen CV-nya dan mulai menyesuaikan isinya. Ia menambahkan pengalaman organisasi dan magang yang pernah ia jalani, meski hanya tiga bulan.
"Ini pasti cukup. Kalau mereka nggak lihat potensi ku dari sini, ya rugi mereka," ucapnya, mencoba menyemangati diri sendiri.
Sebelum mengirimkan lamaran berikutnya, Putra memastikan semuanya sempurna untuk terakhir kalinya. Ia memeriksa kembali lampiran email, memastikan tidak ada file yang tertinggal. Setelah semuanya terasa benar, ia akhirnya menekan tombol kirim. Dalam sekejap, email itu meluncur ke sistem rekrutmen perusahaan yang ia dambakan.
Putra menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandangi layar laptop dengan campuran perasaan lega dan cemas. Ia tahu bahwa perjuangannya baru saja dimulai. Administrasi hanyalah tahap pertama, dan setelah ini, masih ada tahapan lain yang lebih sulit menanti: tes psikologi, tes teknis, hingga wawancara. Tapi untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu.
Menunggu, sambil berharap satu email balasan bisa mengubah segalanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Sarjana, Sekarang Apa?
Teen FictionSetelah Sarjana, Sekarang Apa? mengisahkan perjalanan seorang pemuda bernama Putra, yang baru saja lulus kuliah dan harus menghadapi kenyataan hidup yang jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Dengan gelar sarjana di tangannya, Putra merasa se...