抖阴社区

three

118 8 0
                                        

Ini Flashback waktu pertengkaran mereka hingga hyunjin memutuskan keluar dari rumah mereka

Udara di rumah terasa dingin, lebih dingin dari biasanya.  Hyunjin masuk, membawa aroma hujan dan kantung plastik berisi jajanan kesukaan Niki dan Jeongin.

Ia berharap bisa sedikit mencairkan suasana tegang yang selalu menyelimuti mereka.  Tapi seperti biasa, ia disambut oleh keheningan yang mencekam.  Niki duduk di sofa, punggung tegak, tatapannya kosong menatap televisi yang mati.  Jeongin di kamarnya, pintu tertutup rapat.

Hyunjin meletakkan jajanan di meja.  "Niki, Jeongin," panggilnya pelan.  Tidak ada jawaban.  Ia menghela napas.  "Aku beli jajanan kesukaan kalian."  Hening.  Hanya suara detak jam dinding yang terdengar nyaring.

"Niki," Hyunjin mencoba lagi, suaranya sedikit lebih keras. 
Niki menoleh, sekilas, lalu kembali menatap ke depan dengan ekspresi datar.

"Apa sih yang salah?" tanya Hyunjin, suaranya mulai meninggi.  Kecewa dan kesepian menghimpit dadanya.

"Tidak ada yang salah," jawab Niki dingin, suaranya seperti es.  "Jangan sok peduli."

Kalimat itu menusuk Hyunjin.  Ia merasa dadanya sesak.  Ia berusaha menahan amarah yang mulai menggelegak, tapi air matanya mulai menggenang.  "Kenapa kalian selalu bersikap seperti ini?  Aku ini kakak kalian!" suaranya bergetar.

Jeongin keluar dari kamar, wajahnya pucat.  Ia hanya diam, menatap Hyunjin dengan mata berkaca-kaca.  Keheningan kembali menyelimuti ruangan, lebih berat dari sebelumnya.

"Kalian membenciku, ya?  Katakan saja!" seru Hyunjin, suaranya pecah.  Air matanya mengalir deras.  Ia merasa lelah, sangat lelah menghadapi sikap dingin dan diam mereka.

Niki berdiri, mendekati Hyunjin.  "Kami… kami mencintaimu," bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar.  Jeongin mengangguk pelan, air mata mengalir di pipinya.

Pengakuan itu membuat Hyunjin tercengang.  Ia tidak percaya.  "Apa… apa yang kalian katakan?"

"Kami mencintaimu, Hyunjin," ulang Niki, suaranya lebih keras kali ini, tapi tetap terbata-bata.  "Tapi… kami tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya.  Kami takut… takut kamu menolak kami."

Hyunjin terdiam, otaknya masih berusaha mencerna kata-kata mereka.  Perasaan campur aduk menyerangnya.  Kejutan, kebingungan, dan sedikit… harapan.

Tapi sebelum ia bisa merespon, Niki kembali berkata, suaranya dingin dan menyakitkan, "Tapi…  lebih baik kamu pergi.  Jauhi kami."

Kalimat itu seperti tamparan keras.  Hyunjin merasakan hatinya hancur berkeping-keping.  Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan pergi meninggalkan rumah, meninggalkan kedua adiknya yang terisak di ruang tamu yang sunyi dan dingin.

Begitu pintu rumah terbanting menutup, keheningan kembali menyelimuti ruang tamu, namun kali ini terasa berbeda.  Keheningan yang dipenuhi penyesalan.  Air mata Niki masih mengalir, namun kini disertai isakan sesenggukan.

  Jeongin, yang biasanya diam, kini memeluk lututnya, tubuhnya bergetar hebat.

"Aku… aku bodoh," lirih Niki, suaranya teredam oleh isakannya. 

Ia menatap kosong ke arah pintu yang tadi dilewati Hyunjin.  "Seharusnya aku tidak mengatakan itu."

Jeongin mengangguk pelan, air matanya membasahi lantai.  "Kita seharusnya… kita seharusnya mendekatinya dengan cara yang lebih baik," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. 

"Kita terlalu takut ditolak sampai melupakan bagaimana caranya untuk mengungkapkan perasaan kita."

Niki menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menatap Jeongin.

hyunjin haremTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang