Malam itu, hujan sudah reda, tapi udara masih terasa dingin.
Minimarket sepi, hanya ada suara detik jam dan gemerisik plastik belanja. Aku duduk di belakang kasir, memainkan tutup pulpen sambil melirik ke arah Febrian yang masih duduk di dekat jendela.
Aku mulai terbiasa dengan keberadaannya.
Tapi ketenangan itu langsung pecah ketika bel pintu berbunyi.
Aku mendongak—dan seketika tubuhku menegang.
Ayah.
Dengan langkah sempoyongan, dia masuk ke minimarket. Matanya merah, wajahnya kusut, dan aroma alkohol menyengat di udara.
Aku ingin berpaling, pura-pura tidak melihat, tapi dia langsung berjalan ke kasir.
Aku mengatur napas. “Ayah…”
Dia menatapku dengan ekspresi samar, lalu menyeringai kecil. “Lihat siapa yang sibuk kerja keras.”
Aku menggenggam ujung meja, mencoba tetap tenang.
Ayah meraih botol soju dari rak di samping kasir dan meletakkannya dengan kasar. “Ayo, totalin.”
Aku menarik napas dalam. “Ayah sudah cukup minum hari ini.”
Ayah tertawa pendek, tapi tidak terdengar seperti tawa yang sebenarnya. “Oh? Jadi sekarang kamu yang ngatur-ngatur?”
Dia menyandarkan satu tangan di meja, mendekatkan wajahnya padaku. Matanya menatapku tajam, tapi sorotannya kosong.
“Atau kamu mulai ngerasa lebih berkuasa sekarang, hah? Cuma gara-gara kerja di tempat kecil kayak gini?”
Aku menelan ludah, tidak menjawab.
Ayah menyeringai miring. “Kamu sama aja kayak ibumu. Nuntut ini-itu, selalu merasa lebih benar. Dan selalu…” Dia menatapku lebih dalam, suaranya merendah. “Mandang rendah ayah.”
Aku membeku.
Rasanya seperti sesuatu menghantam dadaku.
Karena di balik kemarahannya, aku melihat sesuatu yang lain.
Luka.
Kecewa.
Dan sesuatu yang tidak pernah dia ucapkan sebelumnya—ketakutan.
Aku mengepalkan tangan lebih erat. “Aku nggak sama seperti Ibu.”
Dia tertawa pendek, tapi terdengar getir. “Oh ya? Dia juga dulu bilang gitu.”
Aku ingin menjawab, ingin membantah.
Tapi sebelum aku sempat bicara, sebuah suara terdengar dari samping.
“Pak, sebaiknya Anda pergi.”
Aku menoleh.
Febrian sudah berdiri di sana, ekspresinya tetap tenang, tapi sorot matanya tajam.
Ayah menatapnya lama, lalu menyeringai samar. “Oh? Kamu siapa?”
Febrian tidak bereaksi. “Bukan siapa-siapa. Tapi kalau Anda terus bikin keributan di sini, saya harus panggil security.”
Ayah menatapnya lebih lama, lalu menoleh kembali ke arahku.
“Temanmu?” tanyanya sinis.
Aku menahan napas.
Dia mendengus, lalu tiba-tiba meraih botol soju itu dan melemparkannya ke lantai.
PRAK!
Suara kaca pecah menggema di minimarket.
Aku tersentak, tubuhku membeku di tempat.
Febrian langsung melangkah ke depan, berdiri lebih dekat ke arahku, posturnya tegang.
“Pergi!.” Suaranya rendah tapi tegas.
Ayah menatapnya, lalu menoleh sekali lagi padaku. Aku tidak bisa membaca ekspresinya.
Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berjalan keluar dengan langkah terseret.
Keheningan menggantung di udara.
Aku menatap pecahan kaca di lantai, perasaanku berantakan.
Sampai akhirnya, suara Febrian memecah keheningan.
“Kamu nggak apa-apa?”
Aku menoleh pelan.
Dia masih berdiri di sana, ekspresinya sulit dijelaskan.
Aku ingin bilang kalau aku baik-baik saja.
Tapi aku tahu, aku tidak perlu berbohong.
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Febrian berjalan ke belakang kasir, mengambil sapu dan pengki, lalu mulai membersihkan pecahan kaca.
Aku menggigit bibir, lalu perlahan ikut membantunya.
Kami membersihkan dalam diam.
Tapi meskipun dia tidak bertanya apa pun, aku bisa merasakan sesuatu dalam caranya bergerak.
Bukan kasihan.
Bukan rasa ingin tahu.
Tapi pemahaman.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… sedikit lebih ringan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Noda dalam Cinta
Romance"Ketika kenyataan terungkap, mampukah ia melepaskan sesuatu yang telah mengakar dalam hatinya, atau justru tenggelam dalam kisah yang seharusnya tak pernah ada?"