抖阴社区

Moving Forward

5 2 0
                                        

Hujan telah reda.

Raka mengangkat kepalanya, menatap ke arah langit yang kini menampakkan cahaya matahari setelah awan gelap berlalu. Aroma tanah basah masih tercium. Tubuhnya terasa begitu lelah setelah mampu bertahan dari badai yang selama ini mengamuk dalam dirinya.

Ia menghembuskan napas perlahan dan menyeka wajah dengan bagian belakang tangan. Raka sendiri tidak sadar, sudah berapa lama berlutut di pusara Ayla, mencengkeram tanah seolah hal itulah yang mampu membuatnya bertahan.

Kini, untuk pertama kalinya sejak Ayla pergi, ia merasa sedikit lebih ringan.

Luka itu belum benar-benar sembuh. Tapi setidaknya, ia tak lagi berdarah.

Ia merogoh sakunya, mengambil ponsel dan mengarahkan kamera ke arah pohon beringin besar dan pusara Ayla di bawahnya. Satu bidikan. Bukan untuk publikasi, bukan untuk portfolio. Hanya sebagai pengingat dan tanda perpisahan.

"Selamat tinggal, Ayla," bisiknya lirih. Sebuah senyum kecil, getir namun tulus, muncul di wajahnya. Lalu, Raka berdiri. Ia berjalan pergi tanpa menoleh.

###

Setelah hari itu, hidup perlahan kembali menyambutnya.

Raka tertawa lagi. Ia kembali menikmati percakapan keluarga, omelan ibunya yang cerewet, tawa ayahnya yang renyah walau selalu menertawakan lelucon sendiri. Ia kembali mengobrol hingga larut malam bersama Danu, membicarakan hidup, masa depan, atau hanya sekadar mengenang masa lalu.

Di sela-sela kesibukannya, Raka mulai kembali memotret. Bukan untuk pelarian. Melainkan sebagai bentuk apresiasi terhadap hidup yang tak sempurna, tapi nyata.

Diantara semua itu, kenangan Ayla hadir tak lagi sebagai luka, tapi cahaya.

Raka teringat bagaimana Ayla suka mencoret halaman bukunya dengan gambar-gambar kecil. Tentang impiannya mengunjungi kota tua di Eropa, atau tentang keinginannya untuk belajar melukis.

Ia bahkan teringat ketika Ayla mengambil kamera Raka diam-diam dan memotret mereka berdua secara asal-asalan.

"Habisnya kamu nggak pernah punya foto sendiri," katanya waktu itu, tertawa lepas.

Dulu, Raka menolak kenangan itu. Kini, ia menjadikannya bagian dari dirinya.

Sebulan kemudian, Raka kembali ke desa. Tidak lagi dengan hati penuh harap, melainkan dengan jiwa yang ingin mengenang.

Warung tua masih berdiri, menyajikan kopi hangat dan aroma gorengan yang membangkitkan selera. Anak-anak masih berlari di jalanan kecil. Desa itu seakan diam dalam waktu.

Tepat di depan sebuah rumah sederhana, Raka menghentikan kendaraannya. Ia mengetuk perlahan pintu kayu rumah tersebut.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu. Sebuah senyuman terlihat di wajahnya saat melihat Raka. Berbeda dengan kesedihan yang terlihat saat ia menemui Raka di tengah hujan sebelumnya.

"Kamu kelihatan lebih tenang sekarang, Nak," ucapnya sambil menepuk tangan Raka. "Ayla pasti senang."

Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana, ditemani teh manis dan sepiring kue buatan tangan. Raka mendengarkan kisah-kisah tentang Ayla. Bukan tentang kepergiannya, tapi kehidupannya. Saat Ayla belajar naik sepeda, ketika ia menang lomba puisi pertama kalinya, atau saat ia membuat seluruh keluarga tertawa karena meniru suara artis terkenal.

Untuk pertama kalinya, Raka ikut tertawa. Bukan karena kenangan itu tak lagi menyakitkan, tapi karena kini ia bisa melihatnya sebagai sesuatu yang indah.

Sore harinya, mereka berjalan menuju pemakaman. Di sana, Raka menabur bunga bersama keluarga Ayla. Doa dipanjatkan, tak ada lagi air mata.

Ayla kini tinggal dalam mereka. Bukan di bayang-bayang hujan atau dalam mimpi yang tak selesai. Melainkan dalam cerita, tawa, dan kehidupan yang terus berjalan.

Ayla tidak pernah benar-benar meninggalkan mereka.

Sejak saat itu, setiap bulan, Raka kembali ke desa. Ia tak pernah datang dengan tangan kosong. Kadang membawa buah tangan, kadang hanya cerita dan tawa. Ia membantu pekerjaan rumah, menemani Ibu Ayla ke pasar atau sekadar duduk diam di beranda dan mendengarkan suara sore.

Raka menjadi bagian dari keluarga itu. Setiap kali berkunjung, ia tak pernah lupa ke pusara Ayla. Menyapa, bercerita tentang apa yang sedang ia jalani. Tentang perjalanan, orang-orang baru yang ia temui serta hidup yang terus berlanjut.

Suatu hari, Raka meletakkan sebuah foto di dekat batu nisan. Sebuah gambar saat hujan turun pelan membasahi tanah dan dedaunan di depan rumah Ayla.

"Aku rasa kamu akan suka foto ini," gumamnya.

Lalu, Raka berdiri.

"Sampai jumpa lagi, Ayla."

Langkahnya mantap saat meninggalkan pemakaman. Cahaya mataharii menembus celah awan, memantul lembut di tanah yang basah.

Di dalam langkah-langkahnya ke depan, Raka menyadari satu hal, bahwa Ayla akan selalu bersamanya. Bukan sebagai luka, melainkan sebagai cahaya dalam kenangan yang hidup.

TAMAT

Fragments Of RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang