Atau mungkin, dinding itu memang selalu ada, tetapi baru kali ini ia melihatnya dengan jelas.
***
Lily menaiki lift dengan wajah ditekuk. Ia tadi sedang mengerjakan liputan di Balai Kota Jakarta, lalu pesan dari Evan yang semena-mena masuk, menyuruhnya untuk datang ke restoran di Mandarin Oriental saat jam makan siang.
Jaraknya memang tidak jauh dari lokasi liputannya dan untungnya dia sudah menyelesaikan semua berita yang ditugaskan oleh Nunu. Setelah istirahat siang ini, dia masih harus pergi ke Monas untuk meliput unjuk rasa buruh.
Bertemu dengan Evan adalah hal terakhir yang diharapkannya. Lily sudah membalas chat itu dengan kalimat penolakan tegas. Namun, saat ia keluar dari pelataran Balai Kota, sebuah BMW hitam sudah terparkir di depannya dan Ganes turun dari seat depan, tersenyum padanya lalu membukakan pintu belakang.
Begitulah ceritanya sampai Lily akhirnya tiba di hotel Mandarin Oriental.
Di dalam restoran, Ganes mengantarnya sampai ke depan meja yang menghadap ke pemandangan di luar. Rautnya makin kusut melihat Evan dengan setelan jas serba hitamnya sudah duduk di sana.
Seperti biasa, Evan tampak elegan, bahkan hanya dari postur duduknya yang tegap dan aura yang memancar, semua orang tahu betapa bermartabatnya pria satu itu. Rambut yang semalam diacak-acak oleh Lily sampai poninya terjatuh di depan alis—semua jejak percintaan mereka, hilang tidak berbekas.
Jasnya ia sampirkan di pundak lebarnya. Vest dan kemeja yang dikenakannya sama-sama berwarna hitam, senada dengan dasi gelapnya.
Orang ini benar-benar suka dengan warna hitam, pikir Lily. Ia tidak mau tahu, tetapi kesimpulan itu terlalu jelas hanya dalam sekali lihat. Lagian, emangnya gak panas siang-siang pake baju tiga lapis kayak gitu? Ia menarik sebelah alisnya, tidak paham dengan selera fesyen pria itu.
Evan mengangkat wajah dari ipad-nya, menyunggingkan senyum tipis, seakan tidak ada yang pernah terjadi semalam. Percintaan itu masih membekas di kepala Lily, bahkan membuat jantungnya berdegup kencang saat matanya tidak sengaja bertemu dengan pria itu. Bagaimana bisa pria ini bersikap sangat tenang?
Tadi pagi, saat mereka berkumpul bertiga di meja makan, Evan mengecup pipi Aurel sebelum duduk. Ia menyapa istrinya dengan senyum yang hangat dan menanyakan grand opening restorannya. Mereka mengobrol seperti pasangan suami istri biasa.
Sementara, Lily kesulitan berpura-pura di depan kakaknya. Ia pura-pura terkejut saat melihat kakaknya tiba di rumah lebih awal dari yang direncanakan, pelukan perempuan itu terasa dingin di kulitnya. Perutnya mual. Ia jijik karena menyembunyikan perbuatan terlarang itu bersama Evan. Dan rasa bersalahnya pada Aurel mengacak-acak hatinya sepanjang pagi.
Baru setelah ia berangkat kerja dan tenggelam dalam kesibukan meliput berita, Lily bisa benar-benar melupakan kejadian tersebut. Setidaknya, sampai chat sialan dari Evan masuk. Kini ia terjebak bersama pria itu lagi dan kenangan adegan panas mereka berputar lagi di kepala.
"Tuan Evan, Nona Lily... ." Ganes menunduk kepada dua orang tersebut, bergantian. "Saya permisi dulu."
Asisten pria itu pergi meninggalkan mereka. Lily, yang masih tidak rela, terpaksa bergabung di meja itu, duduk berhadapan dengan Evan.
"Harus banget makan siang bareng?" ucap Lily ketus, kepalanya menoleh ke kanan kiri. 'Gimana kalau ada yang ngeliat?"
Evan melempar senyumnya, santai seperti biasa. "Saya hanya kakak ipar yang baik sedang mentraktir adik iparnya makan siang. Apa ada yang aneh dengan itu?"
"Kalau orang-orang tau bosku adalah kakak iparku, bisa runyam urusan kantor."
"Kenapa gitu?" Evan menarik sebelah alisnya, tidak mengerti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Parts of You
RomanceIt's a dark erotica romance. ?? WARNING! MENGANDUNG KONTEN DEWASA ?! ?? ? Novel hanya diperuntukkan pembaca 21 tahun ke atas, memuat adegan spicy dan kata kasar!? Rumah tangga Evan berada di ambang perceraian. Istrinya yang biasanya selalu patuh...
Bab Empat Puluh
Mulai dari awal