Bab 4: "Kencan Romantis yang 'Salah Sasaran' dan Catatan Harian Tersembunyi"
Hari Sabtu akhirnya tiba. Setelah seminggu berkutat dengan buku pelajaran yang bikin kepala berasap, saatnya refreshing. Gue udah punya rencana spesial buat Leoni: kencan romantis di Pantai Lovina pas matahari terbenam. Gue udah browsing tempat-tempat yang bagus, nyiapin tikar piknik, beberapa camilan kesukaan Leoni, sama speaker kecil buat muterin lagu-lagu romantis. Pokoknya, perfect.
Gue jemput Leoni di rumahnya sore itu. Dia keluar dengan dress warna kuning cerah, rambutnya digerai indah, dan senyumnya... ah, udah kayak matahari kedua buat gue. Sempurna.
"Kamu cantik banget, Sayang," kata gue tanpa sadar, begitu dia udah duduk manis di boncengan motor gue.
"Makasih, kamu juga ganteng," jawab Leoni sambil nyubit pipi gue pelan.
Di perjalanan, Leoni cerita ini itu dengan cerianya. Tentang kucing tetangga yang baru lahiran, tentang film kartun yang baru dia tonton, pokoknya hal-hal kecil yang buat dia seneng. Gue dengerin sambil sesekali nyaut, tapi pikiran gue udah fokus ke rencana romantis yang udah gue susun rapi di Lovina nanti.
Pas nyampe Lovina, suasana udah mulai syahdu. Matahari udah mulai turun, langitnyaGradient warna oranye, pink, sama ungu. Beberapa turis juga lagi asik foto-foto. Gue langsung nyari spot yang agak sepi, jauh dari keramaian.
"Wah, tempatnya bagus banget, Jen!" seru Leoni begitu gue gelar tikar piknik di atas pasir putih. Matanya berbinar-binar ngeliatin pemandangan sekitar.
"Iya dong, spesial buat kamu," jawab gue sambil senyum bangga.
Gue keluarin camilan dari tas, nata rapi di atas tikar. Leoni langsung nyomot beberapa potong buah sambil terus ngeliatin ombak yang tenang. Gue nyalain speaker kecil, muterin lagu-lagu romantis yang udah gue playlist khusus buat momen ini.
Tapi... kayaknya ekspektasi gue nggak sesuai sama realita. Bukannya ikut menikmati suasana romantis, Leoni malah keliatan lebih tertarik sama pasir di bawahnya. Dia jongkok, mulai mainan pasir, bikin istana-istanaan kecil.
"Jen, lihat deh! Istana aku bagus kan?" katanya sambil nunjukin hasil karyanya yang... ya, lumayan lah buat anak SD.
Gue menghela napas dalam hati. Oke, mungkin romantis versi Leoni emang beda. Gue ikut jongkok di sampingnya, pura-pura tertarik sama istana pasirnya.
"Bagus kok, kreatif banget kamu," jawab gue sambil ngelus rambutnya pelan.
Tapi pikiran gue nggak bisa tenang sepenuhnya. Gue ngerasa ada sepasang mata yang sesekali ngelirik ke arah Leoni dari kejauhan. Seorang cowok bule yang lagi duduk di atas handuk nggak jauh dari tempat kami. Setiap kali dia ngelirik, rahang gue langsung mengeras tanpa alasan yang jelas. Dia ngapain ngeliatin pacar gue kayak gitu?
Diam-diam, gue ngambil buku catatan kecil dari saku jaket gue. Buku catatan yang selalu gue bawa kemana-mana. Di sana, gue catet semua hal penting tentang Leoni, termasuk... ya, termasuk orang-orang yang menurut gue berpotensi jadi ancaman. Gue mulai mencatat ciri-ciri cowok bule itu: rambut pirang agak gondrong, tato di lengan kiri, tatapan mata yang... terlalu intens menurut gue.
Sementara gue sibuk mencatat, Leoni udah asik sendiri ngejar-ngejar ombak kecil yang datang. Dia ketawa-ketawa girang kayak anak kecil dapet mainan baru. Gue cuma bisa ngeliatin dia dari jauh, sambil sesekali melirik ke arah cowok bule itu. Kewaspadaan gue nggak menurun sedikit pun.
"Jen, ayo sini! Ailnya enak banget!" seru Leoni dari bibir pantai.
Gue naruh kembali buku catatan ke saku. Oke, fokus. Ini kencan gue sama Leoni. Gue nggak boleh biarin kecurigaan gue ngerusak momen ini. Gue bangkit, ninggalin tikar piknik, dan nyamperin Leoni di tepi pantai.
Gue ikut main air bareng Leoni. Dia nyipratin air ke muka gue sambil ketawa-ketawa. Gue bales nyipratin dia juga. Suasana romantis yang gue harapkan mungkin nggak sepenuhnya terwujud, tapi kebahagiaan Leoni ini... ya, ini juga kebahagiaan gue. Melihat dia seneng, gue juga ikut seneng. Meskipun di sudut hati gue, rasa nggak nyaman sama cowok bule tadi masih mengganjal.
Sepanjang sore itu, gue berusaha sekuat tenaga buat fokus sama Leoni. Gue ikut bikin istana pasir yang lebih gede, gue temenin dia nyari kerang-kerang cantik, bahkan gue sempet nyanyi-nyanyi kecil lagu anak-anak yang dia suka (dengan suara gue yang agak fals tentunya). Tapi setiap kali gue nggak sengaja ngelirik ke arah cowok bule itu, gue pastiin dia nggak lagi ngeliatin Leoni. Gue menciptakan jarak aman di sekitar kami, aura dingin gue kayaknya cukup buat bikin orang lain nggak berani deket-deket.
Matahari mulai benar-benar turun, langitnya berubah jadi lukisan warna-warni yang indah. Leoni duduk di samping gue di atas pasir, kepalanya nyender di bahu gue. Gue meluk dia erat. Momen ini... seharusnya romantis. Tapi pikiran gue masih nggak tenang. Buku catatan kecil di saku gue terasa berat. Gue harus cari tau siapa cowok bule itu. Gue nggak suka ada orang asing yang ngeliatin Leoni gue dengan tatapan seperti itu. Ini 'L's of Obsession' gue. Dan gue akan melakukan apapun buat ngelindungin 'L' gue. Apapun.

KAMU SEDANG MEMBACA
'L's of Obsession
Teen FictionDi bawah bias senja Pulau Dewata, dua hati dengan ritme tak biasa saling menemukan. Leoni, dengan 'L' yang meluncur polos dari bibirnya, menawan Jensen, sang bad boy yang dunianya terpusat pada satu nama. Baginya, Leoni adalah pengecualian, kehangat...