Hujan turun pelan malam itu. Seperti air mata langit yang enggan jatuh terlalu deras, tapi juga tak sanggup ditahan. Di sebuah gang kecil di pinggiran kota, lampu-lampu rumah bersinar redup, beberapa bahkan mati total karena korsleting dari atap bocor.
Sementara di dalam sebuah rumah petak semi permanen berdinding tripleks dan cat yang mulai mengelupas, Dion sedang memutar sendok kecil dalam cangkir teh manis hangat. Ia menatap kosong ke arah jendela yang buram karena embun dan cipratan hujan. Di balik punggungnya terdengar suara lembut dari seorang remaja perempuan.
“Mas Dion, kamu belum tidur?”
“Belum, Fi. Lagi jaga shift malam nanti.”
“Oh iya… si Siska sakit, ya?”
“Iya. Bos telpon barusan. Cuma aku yang bisa gantiin.”
Syifa, adiknya yang masih SMA kelas dua, hanya mengangguk. Dia duduk di bangku kayu sebelah kakaknya, mengeratkan jaket karena udara dingin mulai merasuk.
Dion menoleh, melihat wajah adiknya yang kini jauh lebih dewasa daripada usianya. Mata yang dulunya polos itu kini punya bayangan kekhawatiran, tapi masih ada ketegaran di sana.
“Tidur, Fi. Besok kamu sekolah.”
Syifa ragu sejenak, lalu memeluk Dion sebentar. “Jangan terlalu capek, Mas. Kamu juga butuh istirahat.”
Dion mengangguk tanpa suara.
Setelah Syifa masuk ke kamar, Dion tetap duduk di dapur kecil itu. Tehnya sudah dingin. Ia tak minum satu teguk pun.
---
Di dalam pikirannya, dunia masih menyimpan luka-luka lama.
Ibunya, Sulastri, meninggal lima tahun lalu karena kanker payudara stadium akhir. Dion masih ingat bagaimana tubuh ibunya makin mengecil dari hari ke hari, sementara mereka berdua menahan lapar dan keputusasaan karena tak mampu membayar biaya rumah sakit.
Ayahnya? Jangan tanya. Pak Somad adalah lelaki yang memilih kabur ke luar kota, katanya "mencari kerja", lalu tak pernah kembali sejak Dion SMP. Nomor HP-nya tak aktif, dan setiap Lebaran hanya meninggalkan pesan "semoga sehat selalu" lewat WA grup keluarga.
Dion bertahan demi adiknya.
Tapi kemudian datanglah Yola. Gadis pintar, sederhana, dengan rambut dikuncir dua dan suara tawa yang menular. Mereka bertemu saat Yola jadi relawan pengajar di komunitas literasi kecil dekat rumah Dion.
Dulu, Dion masih "liar". Anak SMA yang hobi berantem, nongkrong di jalanan, ikut balap liar dan pernah hampir masuk bui karena tawuran antarsekolah. Tapi sejak kenal Yola, hidupnya berubah drastis. Ia berhenti ikut geng, mulai kerja serabutan, dan pelan-pelan memperbaiki hubungannya dengan Syifa.
Yola adalah kompas hidupnya. Namun kompas itu… hancur malam itu.
Malam ulang tahun Yola yang ke-20.
Mereka baru saja selesai makan bakso berdua. Di depan gang rumah Yola, geng motor dari masa lalu Dion—yang dulu sering nongkrong barengnya—datang menghampiri. Dion menolak ajakan mereka balapan, dan salah satu dari mereka, Rio, tak terima. Ia bilang Dion "sok alim" sejak kenal cewek.
“Lo bukan siapa-siapa, Dion. Cuma preman yang sok jadi suci!”
Dion tak membalas. Ia hanya menggandeng Yola pulang.
Tapi Rio dan anak-anak gengnya tak diam. Mereka mengitari gang, dan—dalam ledakan emosi—menabrak Yola saat dia hendak menyebrang jalan. Cepat, mendadak, dan brutal. Hanya dalam sekejap, tubuh Yola terlempar dan kepalanya membentur trotoar.
Dion histeris malam itu.
Tapi Rio kabur. Tak ada saksi. Tak ada bukti. Dan dunia berjalan seolah tak ada yang terjadi.
Sejak itu, Dion berhenti percaya pada keadilan. Tapi… ia tetap hidup.
Untuk Syifa.
---
Malam itu, pukul 23.45, ponsel Dion bergetar. Notifikasi dari atasannya: "Siska nggak bisa masuk, Mas. Kamu bisa isi shift mulai jam 00.01, ya? Tolong banget."
Dion menarik napas panjang. “Siap, Pak.”
Ia bangkit, mengganti kaus lusuhnya dengan seragam Indomaret yang agak basah karena belum sempat disetrika. Lalu ia masuk kamar Syifa sebentar.
Gadis itu sudah tertidur, dengan lampu belajar masih menyala. Buku pelajaran menumpuk di atas meja, dan suara kipas angin berbunyi lirih.
Dion berdiri di ambang pintu. Ia menatap wajah adiknya yang lelap, mengingat masa-masa mereka saling menggantungkan hidup satu sama lain.
Ia tersenyum kecil. Lalu mengambil helm bogo kesayangannya, meraih jaket hitam lusuh, dan keluar rumah.
---
Di luar, hujan belum juga berhenti.
Dion menstarter motor Megapro tuanya. Mesin meraung sedikit batuk, tapi akhirnya menyala juga.
Ia melaju pelan di jalan kecil menuju minimarket tempatnya bekerja. Lampu jalan sesekali berkedip, seperti menggambarkan pikirannya yang mulai kabur karena kantuk dan lelah.
Pukul 00.01.
Sebuah truk besar melintas dari jalan utama. Dion yang mengantuk, sedikit basah karena air hujan, tak sempat melihat truk itu mendekat dari tikungan yang lampunya mati total.
Dan kemudian—
DUAAAR!
Semua berubah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Time Loop
Teen FictionHidupnya tak lebih dari sisa-sisa luka yang tak kunjung sembuh. Di usia 25 tahun, ia hanya seorang pegawai minimarket biasa-tampak sederhana, namun menyimpan masa lalu yang kelam. Dulunya seorang berandalan tanpa arah, tumbuh di keluarga yang porak...