Happy Reading^^
***
Tiga bulan telah berlalu sejak pengasingan Elliot, dan bagi Aaron, hidupnya kini terasa lebih utuh dari sebelumnya. Tidak ada lagi bayangan masa lalu yang menghantuinya, tidak ada lagi pengkhianatan yang menggerogoti pikirannya. Hanya ketenangan, kebahagiaan, dan Celine, wanitanya, istri tercintanya.
Pagi itu, matahari menyelinap masuk melalui jendela balkon, menciptakan cahaya keemasan yang membelai wajah Celine. Ia duduk dengan tenang, jemarinya menyusuri perutnya yang kini semakin membesar, merasakan kehangatan kehidupan baru yang tumbuh di dalamnya. Senyum lembut terukir di wajahnya, dan bagi Aaron, itu adalah pemandangan paling indah yang pernah ada.
Aaron bersandar di sisi kursinya, menatapnya penuh perhatian. "Kau terlihat lebih bercahaya setiap harinya," katanya pelan, suaranya penuh kelembutan.
Celine terkekeh kecil, jemarinya masih membelai perutnya dengan penuh kasih. "Tentu saja, karena aku bahagia kau selalu bersamaku," balasnya, mata cokelatnya bertemu dengan tatapan Aaron.
Celine menggenggam tangan Aaron, menariknya ke atas perutnya. Aaron merasakan pergerakan kecil di bawah jemarinya, dan untuk sesaat, ia kehilangan kata-kata. Ini nyata. Kehidupan yang mereka ciptakan bersama sedang tumbuh, berkembang, dan sebentar lagi akan hadir di dunia.
"Kau merasakannya?" tanya Celine dengan senyum lembut.
Aaron mengangguk, matanya tetap fokus pada perutnya. "Ya. Kuat sekali."
Celine tertawa pelan. "Mereka tahu ayahnya sedang menyapa."
Aaron menatapnya, lalu mengangkat tangan Celine ke bibirnya, mengecupnya penuh makna. "Terimakasih atas kebahagiaan yang telah kamu berikan padaku, sweetheart. Aku sangat bersyukur kamu karena kamu adakah pasangan hidupku," ucapnya dengan suara rendah.
Celine tersenyum, matanya melembut saat mendengar ucapan Aaron. Ia membalas genggamannya, jemarinya bertaut erat dengan tangan suaminya. "Aku juga bersyukur," ucapnya pelan, suaranya penuh ketulusan. "Kita sudah melewati banyak hal, dan aku tidak pernah menyesal memilih tetap di sini bersamamu."
Aaron menatapnya dalam, seolah ingin menghafal setiap detail dari wajahnya, cara matanya berbinar saat berbicara, lekukan senyum kecilnya, bagaimana jemarinya perlahan mengelus perutnya.
"Kau membuatku merasa bahwa cinta tanpa paksaan akhirnya menjadi masuk akal," lanjutnya, suaranya sedikit lebih serak dari biasanya. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi aku tahu satu hal, aku akan melakukan apa pun untuk kalian."
Celine mengangguk kecil, lalu menarik tangan Aaron ke perutnya lagi. "Mereka akan beruntung memiliki ayah seperti kamu."
Aaron terkekeh pelan, lalu menghela napas, membiarkan kehangatan momen ini menyelimuti mereka. "Dan aku beruntung memiliki kalian."
Mereka duduk dalam diam, menikmati kehadiran satu sama lain, menikmati masa-masa yang dulu terasa begitu jauh dari jangkauan. Aaron tidak pernah berpikir dirinya akan benar-benar menemukan ketenangan seperti ini, tapi di sini, bersama Celine dan anak mereka yang akan lahir, ia tahu. Ia akhirnya memiliki sesuatu yang lebih berharga dari apa pun.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aaron tidak merasa perlu mengendalikan segalanya. Ia hanya ingin menjalani ini dengan Celine. Dengan keluarga kecil mereka.
Beberapa saat setelah itu, Celine mencoba berdiri dari kursi, tapi tubuhnya tampak kesulitan menyesuaikan keseimbangan. Perutnya sudah besar, dan setiap gerakan sekarang harus ia pikirkan dua kali. Ia meringis pelan sambil menahan sisi meja.
Aaron segera bergerak. "Hei, pelan-pelan, Sweetheart." Ia mencondongkan badan, meraih tangan Celine. "Kamu mau ke mana?"
"Mau ke rak buku. Ada buku yang ingin aku baca, hanya tinggal ambil sebentar," jawab Celine, meski wajahnya jelas menunjukkan rasa tidak nyaman.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry Mr. Husband (END)
Science FictionTak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang paling terpenting tokoh ini sedang hamil anak dari karakter favoritku. Karina si penggila novel harus ber...