抖阴社区

Emerald

27 2 0
                                        

Kalung itu indah, tapi tidak seindah kenyataan yang diam-diam ia sembunyikan.

—A Fractured Soul

****

Suasana sekolah menjelang jam pulang terasa lengang. Hening yang menggantung membuat setiap langkah Victoria terdengar nyaring. Ia berjalan pelan, seolah berat untuk kembali ke rumah–tempat yang lebih sering menyerupai neraka daripada tempat pulang.

Kakinya menapaki ubin dingin, suara sepatunya memantul samar di lorong yang kosong. Udara sore itu terasa menyesakkan tanpa alasan jelas.

Begitu melewati pintu gerbang, matanya langsung menangkap sosok Kaizan yang tengah bersandar santai di atas motor sport miliknya. Kendaraan hitam legam itu tampak mencolok, mencerminkan aura sang pemilik yang tak kalah memikat. Seragam sekolahnya masih rapi, hanya ditambah jaket hitam yang menggantung di tubuhnya.

"Kenapa baru keluar, sayang?" Suaranya lembut, teduh.

Perasaan Victoria yang sejak tadi porak-poranda akibat bayang-bayang kejadian semalam perlahan mereda. Hanya dengan melihat wajah tenang Kaizan, segalanya terasa sedikit lebih tertata.

"Kamu capek, ya, nungguin aku?" tanyanya pelan.

Kaizan menggeleng, senyum tipis terlukis di wajahnya. "Enggak, sayang. Aku nggak akan pernah capek nungguin kamu."

Tawa kecil lolos dari bibir Victoria. Kalimat itu bukan baru pertama kali ia dengar, tapi tetap saja berhasil menggetarkan hatinya. Kaizan tak pernah berubah, sejak awal mendekatinya dua tahun lalu hingga sekarang.

Tatapan Kaizan beralih pada kalung di leher Victoria–liontin emerald yang ia berikan semalam.

"Kalungnya kelihatan cantik karena dipakai kamu," ujarnya pelan.

Victoria menyentuh liontin itu, jari-jarinya membelai lembut permukaan batu hijau tersebut. "Kalungnya emang cantik, Kai. Kamu beli di mana? Kelihatan antik banget."

Pertanyaan itu membuat Kaizan tercekat. Ia langsung menyesal telah membuka pembicaraan tentang kalung itu.

"Aku..." Ia mengusap tengkuknya, mendecak pelan. Kata-kata seakan tercekat di kerongkongan.

Alis Victoria mengernyit. "Kenapa, sayang?"

Kaizan tersenyum kaku, mencoba mengalihkan. "Itu... Mami yang beliin buat kamu. Bukan aku," katanya cepat.

Victoria terkekeh, menepuk dada Kaizan pelan. "Titip salam dan terima kasih buat Mami, ya. Walaupun bukan kamu yang beli, kalung ini tetap berharga. Karena kamu yang ngasih."

Kata-kata sederhana itu selalu berhasil menampar Kaizan dalam cara yang paling lembut. Victoria tak pernah menuntut, tak pernah mempermasalahkan seberapa besar atau kecil yang ia beri. Sikap hangatnya adalah hal yang terus membuat Kaizan jatuh, lagi dan lagi. Bahkan mungkin, dia sudah jatuh terlalu dalam.

Kaizan tersenyum. "Ayo, kita pulang."

Victoria mengangguk dan naik ke atas motor, membiarkan dirinya dibonceng Kaizan.

Di tengah perjalanan, Victoria memeluk punggung Kaizan erat, menyandarkan kepala di bahunya.

"Sayang, kita ke rumahku dulu ya. Mami kangen banget sama kamu!" seru Kaizan, bersaing dengan suara angin.

Victoria langsung menjawab antusias, "Iya! Aku juga udah kangen banget sama Mami!"

Rumah itu besar dan tenang. Begitu mereka melangkah masuk, suara riang menyambut dari dalam.

"Putra Mami udah balik?" seru Ilone. Tatapannya segera beralih pada Victoria. "Loh, calon menantu Mami juga datang? Kenapa nggak bilang-bilang?"

Tanpa menunggu jawaban, ia mencubit telinga Kaizan.

"Mami, sakit..." rintih Kaizan pelan.

Victoria tersenyum, lalu menyapa sopan. "Halo, Mami!" katanya sembari menyalami wanita paruh baya itu. Cubitan di telinga Kaizan pun langsung terlepas.

Ilone langsung menarik Victoria ke pelukannya. "Sini, sayang," ucapnya lembut, lalu menggiring gadis itu masuk, meninggalkan Kaizan yang hanya bisa mematung.

"Perasaan gue anak kandungnya," gumamnya, kesal. Ia pun naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya.

Di sana, ia mengganti seragam dengan pakaian santai—kaus tipis dan celana pendek. Saat menatap pantulan dirinya di cermin, pikirannya kembali pada kalung di leher Victoria.

Kalung...

Kalung itu bukan pemberian biasa.

Pikirannya kembali ke beberapa hari lalu.

Dua malam setelah pemakaman Kyra.

Entah kenapa, Kaizan kembali melangkah ke kamar gadis itu. Kebiasaannya—yang selama ini ia lakukan tanpa hati—membuat langkahnya otomatis menuju ruangan itu, seolah Kyra masih di sana.

"Sial... Gue lupa tuh jalang udah mati," desisnya. Kepalanya berdenyut, mabuk membuat pikirannya tumpul.

Meski sadar, ia tetap masuk. Menjatuhkan tubuh ke atas ranjang tua yang dulu sering menjadi saksi kebiasaannya yang keji.

Pusing menyerang. Perlahan, matanya terpejam.

Keesokan paginya, ia terbangun dengan kepala berat dan pandangan buram.

"Gue ketiduran di sini?" gumamnya, mengedarkan pandangan. Saat itulah matanya tertuju pada benda kecil di laci meja belajar Kyra. Kilau batu emerald menarik perhatiannya.

Dengan langkah berat, ia mendekat dan membuka laci itu.

Sebuah liontin kecil. Warna hijau zamrudnya memantul di cahaya pagi.

'Punya siapa?' batinnya bertanya. 'Nggak mungkin punya dia...'

Ia menggeleng, menepis pikiran yang mulai menyusup. Tangannya mengambil liontin itu.

"Cantik," desisnya. Tanpa berpikir panjang, ia memasukkan kalung itu ke saku dan pergi dari sana.

Kaizan menghela napas panjang, lalu turun ke lantai bawah.

"Mami!" panggilnya, tapi ruang tamu kosong.

"Mami di mana?" tanyanya pada salah satu pelayan, suaranya dingin dan datar.

"Nyonya sedang berada di taman belakang, Tuan." Pelayan itu menunduk, tubuhnya sedikit bergetar.

Tanpa menjawab, Kaizan berbalik dan melangkah ke taman.

Di sana, ia menemukan Maminya dan Victoria duduk di bangku taman, bercanda dan tertawa lepas. Suasana yang kontras dengan kekacauan di kepalanya.

Ia mendekat.

"Sayang," panggilnya sambil memeluk Victoria dari belakang. Gadis itu terkejut, memelototinya.

"Sayang, ada Mami," bisik Victoria pelan, mencoba melepaskan diri.

Kaizan justru memeluk lebih erat. "Kamu lebih milih Mami daripada aku, ya?" lirihnya.

"Kai! Mantu Mami bisa sesak napas kalau kamu peluk kayak gitu!" tegur Ilone.

"Mami diem aja deh. Kayak nggak pernah muda aja," sahut Kaizan malas.

Victoria hanya bisa tersenyum kecil melihat interaksi mereka. Tapi jauh di dalam hati, ada sedikit rasa asing yang muncul.

Bolehkah... ia merasa iri?

Namun seperti biasa, ia buru-buru menepis perasaan itu.

****

A Fractured SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang