Tepat dipertengahan liburan musim panas ini, Jimin membawaku ke restoran yang lumayan terkenal karena pemandangannya. Dia berjanji akan berusaha keras supaya dirinya bisa sembuh dari sakitnya. Maaf, gay dan sadomasokis itu sebenarnya bukan penyakit. Hanya saja itu gangguan mental. Jadi, mungkin saja dulu Jimin pernah mengalami suatu trauma seperti pelecehan atau kekerasan sampai dia menjadi seperti ini.
Aku prihatin.
Tapi aku tidak akan memberinya pertanyaan tentang masalalunya sebelum ia sendiri yang menceritakannya terlebih dahulu. Aku takut jika nantinya akan membuat kesalahan dengan memberinya pertanyaan sejenis itu.
Tapi aku senang. Jimin kembali bersikap baik padaku seperti sebelumnya. Tetap sering tersenyum dan selalu manja.
Ternyata, pemandangan di restoran ini lebih bagus daripada yang terpasang di laman sebuah web yang Jimin tunjukkan padaku kemarin. Memang, restoran ini terletak di dataran paling tinggi di Korea. Sehingga, hampir seluruh permukaan negeri ginseng ini terlihat dari restoran ini.
Tidak hanya itu, restoran ini juga didesain khusus di setiap sisinya. Mulai dari nuansa romantis, retro, vintage, sampai modern. Ini juga yang menjadi salah satu alasan pengunjung menjadikan restoran ini sebagai restoran terfavorit."Bagaimana? Kau suka?"
Jimin tiba-tiba mengejutkanku dengan kemunculannya dari belakangku. Sedangkan aku sedang asik menikmati pemandangan dan sibuk berswafoto.
"Ya! Kau benar-benar. Apa kau sendiri tidak membaca dari raut wajahku?" aku mengelus dadaku dan menyimpan ponselku ke dalam tas. Tapi aku tak bisa menahan senyumku saat Jimin tersenyum lebar didepanku. Jujur saja, aku sangat menyukai bagaimana dirinya tersenyum seperti itu.
Dia terkekeh. Lalu mendekat beberapa langkah kearahku. Merundukkan badannya sedangkan wajahnya ia dekatkan padaku. Seperti sedang menelisik sesuatu.
"Tidak ada yang bisa kubaca selain tatapan 'aku mencintaimu' di bola mata indahmu."
Oh, jadi rupanya lelaki ini sudah mulai bisa menggombal lagi? Cih, kukira dia sudah lupa.
"Jangan berbicara sesuatu yang mustahil, Jim." Aku bersumpah jika saat ini aku sedang berusaha mati-matian menahan senyumku.
"Apa aku terlihat seperti bercanda?"
Aku akhirnya tertawa. Melepaskan apapun yang terasa pantas untuk kulepaskan. Maksudku, rasa senangku. Sesekali aku memukul lengannya karena dia telah membuatku tersipu hanya dengan gombalan recehnya. Ya, Jimin sangat menyebalkan.
"Baiklah, kita akan kemana setelah ini? Apa kita langsung saja kesana?"
Gelak tawaku terhenti dan senyumku memudar. Aku tahu betul maksud dari arah pertanyaan Jimin. Maksud dari kalimat terakhirnya itu adalah tujuan utama kami.
Menggantikan posisi Jungkook.
Ya, aku yakin kalian tahu maksudku. Aku dan Jimin itu sudah membuat persetujuan. Yaitu, Jimin akan mencoba tubuh perempuan untuk pertama kalinya. Dan itu aku. Aku sudah memikirkan ini berkali-kali. Tapi tetap ini jalan yang kupilih. Lagi pula, ibu tidak akan marah jika nanti aku akan ketahuan telah melakukan sex dengan Jimin. Itu dulu. Semoga saja pola pikir ibu tidak pernah berubah.
Mendadak aku menjadi gugup.
"E-em, aku ingin makan cemilan dulu. Jadi, aku ingin kita mampir ke minimarket dulu. Bagaiamana?" ini gila. Dan aku di sini yang lebih gila.
Wow wow wow. Kau sangat berbeda Kang Sira.
Aku berusaha sebisa mungkin mengulur waktu. Mengajaknya kesana kemari dengan alasan yang tidak masuk akal. Hanya saja aku merasa sangat gugup. Bahkan detak jantungku melebihi batas normal, seperti sekujur tubuhku ikut terguncang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ardour
FanfictionBukan aku yang membuatnya berubah, aku hanya menuntunnya saat dia ingin berubah.