Ponsel Mark bergetar, menandakan ada pesan masuk di ponselnya. Ia melirik ke samping, memastikan Jaemin telah nyaman tertidur sebelum ia meraih ponselnya untuk melihat siapa yang mengiriminya pesan di tengah malam seperti ini.
From : Appa
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[Mark, appa sangat merindukannya...]
Air mata Mark jatuh. Apa yang harus ia katakan pada ayahnya sekarang? Bahkan Mark tidak tahu ia harus apa.
To : Appa [Berdoa, appa.] [Aku tahu, eomma sangat mencintai appa.] [Eomma akan berada di sisi appa, menjaga appa, menemani appa...]
.
"Mark, kehilangan orangtua dan kehilangan seorang istri itu berbeda rasanya. Kehilangan istri itu... seperti kau kehilangan sebagian dari dirimu. Saat istrimu pergi meninggalkanmu, kau akan memiliki begitu banyak penyesalan, seperti berapapun lamanya waktu yang kau habiskan untuk menjaganya, itu terasa tidak ada apa-apanya..."
Mark ingat apa yang di katakan Jaehyun beberapa hari yang lalu saat dirinya menemani sang ayah untuk mengunjungi makam ibunya.
Dari sana, Mark tahu... jika ayahnya benar-benar merasa kahilangan, sakit, terluka, lebih dari siapapun. Lebih dari dirinya, juga lebih dari Jeno.
"Hyung..."
Mark mendongak, dan tersenyum saat ia melihat Jaemin yang melangkah mendekatinya. "Hei."
"...tidak tidur?" Jaemin bertanya seraya mendudukan dirinya di samping Mark. Ia menguap satu kali, kemudian mengusap perutnya dengan satu tangan. "Ada apa? Memikirkan sesuatu?"
Jaemin sudah terlalu tahu, jika Mark terbangun di tengah malam, maka sedang ada sesuatu atau beberapa hal yang di pikirkannya. Seperti kali ini...
"Hanya sedang memikirkan appa." Mark menjawab. Ia membawa tubuh Jaemin untuk ia peluk sebentar. "Sekarang, appa hanya berdua dengan Jeno di rumah. Appa pasti kesepian." Lanjutnya dengan suara pelan.
Jaemin mengangguk paham. Tangannya bergerak untuk mengusap punggung Mark, sesekali menepuknya perlahan, mencoba memberikan lelaki itu kekuatan. "Appa bilang appa baik-baik saja, kan? Jeno juga selalu pulang tepat waktu."
Mark mengangguk.
"Dan kita berjanji untuk selalu berkunjung ke rumah appa setiap akhir pekan. Hyung tidak perlu khawatir."
Sekali lagi, Mark mengangguk.
"Hyung merindukan eomma, ya?" Jaemin melepaskan dirinya dari pelukan Mark. Menatap suaminya itu dengan senyum lembut. Bisa ia lihat kepala Mark yang mengangguk pertanda mengiyakan. "Besok kita pergi ke makam eomma, bagaimana? Ajak appa, Jeno, dan Renjun... eomma pasti senang."
Sang calon ayah itu mengangguk, mengulas senyum dan memberikan sebuah ciuman singkat di bibir Jaemin. "Iya, sayang..." Lalu beralih mencium perut Jaemin yang sudah lebih besar dari sebeleumnya. "...besok kita akan mengunjungi halmeoni, Jagoannya appa mau, kan?"
Tidak ada respon.
"Hyung, dia sudah tidur."
Kemudian mereka tertawa.
Jaemin jadi teringat, ibu mertuanya itu selalu mengatakan ingin sekali melihat bayinya lahir. Tapi... dia sudah tidak disini lagi sekarang.
"Eomma, aku akan menjaga dan merawat Mark hyung seperti caramu. Dari surga, tolong jaga kami... Cucu eomma sebentar lagi akan lahir, Jeno juga akan menikah, eomma akan melihatnya dari sana, kan? Jangan khawatir eomma, kami akan menjaga appa seperti eomma menjaga appa..."
.
.
.
Jeno pernah bertanya, "Kenapa eomma pergi secepat ini? Padahal kemarin eomma baik-baik saja, eomma tidak sakit. Eomma mengendarai mobil sendiri ke rumah Mark hyung, eomma juga masih berbincang dengan Renjun di pagi hari. Kenapa?!"
Dengan senyum Jaehyun menjawab, "Karena tua dan sakit bukanlah syarat untuk mati."
Jeno belajar lagi satu hal...
Ibunya bukan milik dirinya, bukan milik ayahnya, bukan milik siappun. Tetapi milik Tuhan yang bisa di ambil kapan saja. Jeno bersyukur, karena ibunya tidak merasakan sakit sebelum pergi.
Jeno hanya harus berdoa dan terus berusaha untuk menjadi anak yang baik... agar ibunya bahagia di surga sana.