[Pemenang Wattys 2020 Kategori Young Adult]
Semenjak terjadi insiden di mana puisi cintanya tiba-tiba saja terpampang pada halaman majalah dinding sekolah, Pelangi tidak lagi dapat menjalankan kehidupan remajanya dengan tenang. Semuanya berantakan d...
Ada kala di mana langit merasa bosan untuk menampakkan warna cerahnya. Waktu di mana biru, kuning, dan jingga tak lagi kasat, meski mata menuntut surya untuk menampilkannya.
Matahari melayang pergi, disembunyikan oleh gumpalan awan yang membumbung tinggi menutupi. Kadang kala, sebuah mendung hanyalah mendung. Pulas sapuan kelabu yang menyelimuti dunia dari gelapnya bayangan, hingga hujan mengubah semuanya jadi serba menyebalkan.
Gadis itu berdiri di sana. Menenteng tasnya di kedua pundak sedang tangannya memeluk diri dengan erat. Tak ada yang menarik bagi lensa matanya, kecuali pada butiran hujan yang bercucuran deras bagai ribuan anak panah.
"Kapan, sih, hujannya berhenti?" tanyanya tak sabar dalam hati. Ingin melihat penggambaran diri dari garis-garis cahaya berwarna-warni yang disebut sebagai pelangi.
"Enggak pulang?"
Pertanyaan seorang laki-laki yang sedang bersandar pada pilar dinding tak jauh di sebelahnya membuyarkan lamunan gadis tersebut.
Atensinya teralih. "Nanti. Kamu sendiri?"
Khusus pada saat seperti ini, obrolan singkat tersebut dapat hadir menemani di kala hujan jatuh membendung lingkup halaman sekolah. Hanya ada dirinya dengan laki-laki itu. Terjebak sama-sama melindungi diri sampai tangisan langit benar-benar berhenti.
Melingak ke arah samping sejenak, laki-laki yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku tersebut mendengus kecil. "Tinggal kita berdua lagi, selalu begitu."
"Iya," ucap gadis itu singkat. Jemarinya mengusap-usap permukaan kulit sendiri untuk menciptakan panas yang dapat mengusir hawa gelugut.
"Dingin?" Laki-laki itu bertanya.
Sayangnya, tak ada balasan. Suara derai air hujan yang terburai membasahi paving halaman sekolah merupakan satu-satunya hal yang bisa didengar.
Merasa diabaikan, laki-laki itu lalu berjalan mendekati. Hendak membuka jaket hitam yang dimiliki sebelum pada akhirnya yang ditanya pun merespons.
"Enggak usah. Makasih."
Mengangkat kedua tangannya ke atas—menyerah—laki-laki tersebut kemudian kembali menyenderkan punggungnya pada pilar dinding bercat putih. Mendongakkan kepalanya ke atas sambil memejamkan mata.
"Ngomong-ngomong...."
"Hm?" gumam laki-laki itu membuka sebelah matanya sedikit melirik ke sebelah.
"Lucu enggak, sih? Kelihatannya cuma kita berdua doang yang enggak suka sama hujan di sini."
"Siapa bilang? Aku nggak pernah benci dengan hujan."
Gadis itu melingak ke tempat cowok itu berada. Matanya memicing. "Maksud kamu?"
Mengeluarkan satu tangannya yang sempat tersimpan di dalam saku, cowok tersebut lalu berjalan beberapa langkah ke arah depan. Ia menengadahkan telapak tangannya, membiarkan butiran air hujan jatuh untuk membasahi permukaan kulit. "Jadi, alasan Pelangi nggak mau pulang itu karena nggak suka dengan hujan?"
Gadis yang disebut sebagai 'Pelangi' tersebut terkekeh sedikit. "Lucu banget dengar kamu manggil aku 'Pelangi'."
"Memang itu, 'kan? Nama kamu?" tanya laki-laki itu dengan kedua alis yang berjengit ke atas.
"Iya, Angkasa sendiri? Kenapa enggak mau pulang dan tinggal di sini bareng Pelangi kalau bukan karena benci sama hujan juga?"
Sambil membuang napasnya dengan gusar, laki-laki itu menatap langit lamat-lamat. Menurunkan telapak tangannya yang terjulur ke atas kemudian mengepalnya dengan erat. "Bukan hujan," ujarnya.
"Lalu?"
Berdiam diri menatap tumpukan awan yang mendominasi ruang langit, laki-laki itu akhirnya menjawab, "Aku benci kelabu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.