"Selalu dikekang, malah membuat diri menjadi meradang."
***
Agatha memasuki kamarnya tak bersemangat, hatinya masih sedih ketika mengingat Raya. Sepertinya masalah Raya yang satu ini, Raya tak mengizinkan orang lain membantunya. Meskipun sahabatnya sendiri. Tapi tetap saja Agatha khawatir.
Ia mengeluarkan ponselnya di saku seragamnya.
Agatha
Gimana sekolah kamu hari ini?
Boo
Bisa gak sih lo gak usah ngechat gue terus?
Deg!
Hati Agatha seperti tertusuk pisau. Air matanya rasanya ingin tumpah, ini bukan yang pertama kalinya laki-laki itu berkata ketus. Bahkan hampir ratusan ia mengechatnya dengan kalimat yang membuatnya jantung serta hatinya hancur.
Agatha tau, perjodohan yang dilakukan mamanya itu sepihak alias yang satu setuju dan yang satu terpaksa menurutinya. Tapi apa tidak bisakah laki-laki itu bersikap sopan, walau hanya sedikit?
Agatha
Maaf
Boo
Kata yang sering dilontarkan, namun tetap mengulangi perbuatannya.
Agatha
Kamu kenapa selalu bersikap ketus sama aku?
Boo
Karena gue gak suka lo. Keluarga lo udah bikin gue terkekang.
Agatha
Aku tau, kamu terpaksa. Tapi bukan aku yang minta, aku udah coba bilang sama Mama buat berhentiin perjodohan ini. Tapi tetep Mama gak mau')
Boo
Don't believe.
Agatha
Aku berani sumpah kalau kamu gak percaya.
Boo
Terserah!
Sudah cukup! Agatha tidak kuat lagi. Ia tidak suka laki-laki yang dijodohkan oleh mamanya ini, ia tau laki-laki itu terpaksa menerima perjodohan ini. Agatha memang belum pernah bertemu dengan laki-laki itu, tapi ia bisa nilai seseorang hanya dari segi ketikannya saja.
Agatha berkali-kali mencoba membujuk mamanya agar tidak menjodohkan dirinya dengan laki-laki itu, namun mamanya tetap ingin menjodohkannya. Mamanya malah berkata bahwa laki-laki itu sangat ramah ketika bertemu dengan mamahnya.
Ia menyeka air matanya yang menetes dan beranjak dari kamarnya menuju kantor kerja mamanya.
"Ada apa sayang?" tanya Wulandari Nelson—Mamanya menatap putri kesayangannya dengan wajah senang, namun sepertinya Agatha yang terlihat sedih di sini.
"Ma, Agatha mau ngomong sesuatu." Agatha mulai menghampiri meja kantor Mamanya. Jari Mamanya Yang semula mengetik di keyboard laptop, kini terhenti.
"Iya sayang boleh," jawab Wulan ramah.
"Tapi janji gak boleh marah-marah sama aku."
Wulan mengangguk mengikuti syarat anak kesayangannya itu. "Iya, Mama janji."
"Sebenarnya tentang perjodohan-"
"Tha... Please kali ini kamu nurut sama Mama. Mama tau yang terbaik untuk kamu," potong Wulan cepat. Kan benar dugaan Agatha, pasti Mamanya akan sewot ketika membahas masalah ini.
"Mama kan udah janji sama aku buat gak marah-marah," ucap Agatha sedih, matanya berkaca-kaca ingin menangis sekarang juga.
Wulan bangkit dari duduknya, menatap anak semata wayangnya itu. "Mama gak mau kamu bahas-bahas soal ini terus. Kamu tau gak? Apa yang udah Mama korbanin buat kamu selama ini? Mama sama Papah udah kerja keras buat hidupin kamu, masa Mama juga minta satu hal sama kamu, kamu gak mau?"
Agatha menunduk, bulir beningnya berjatuhan mengenai pipinya yang mulus. "M-maaf," gugupnya.
Wulan yang kini emosi mulai merasa iba melihat putrinya menangis ketakutan seperti itu, ia menyentuh pipi Agatha dan mendogakkan wajahnya untuk menatap dirinya.
"Sayang, please nurut apa kata Mama," bujuknya. Agatha hanya diam.
"Mama ada meeting sama klien, tolong kamu jaga diri baik-baik." Wulan langsung pergi begitu saja dari hadapan Agatha, Agatha sendiri hanya bisa menatap kepergian Mamanya. Wanita yang melahirkan dan membesarkannya.
Agatha segera keluar dari ruangan itu, ia menuju dapur dan dilihatlah Bu Rum—Asisten Rumah Tangganya ia sedang beberes di dapur dan sedikit sedih melihat Agatha dibentak seperti tadi.
"Non, gapapa?" tanya Bi Rum khawatir.
Agatha tersenyum, "Gapapa Bi."
"Non mau makan? Biar Bibi buatin," tawar Bi Rum.
"Iya Bu, aku mau dibuatin sop ayam aja sama minumnya teh hangat."
"Baik, Bibi buatkan dulu ya, Non." Bi Rum langsung memasak makanan yang dipesan oleh anak tuannya.
'Sebenarnya apa motiv Mama yang buat kekueh aku dijodohin sama anak itu?' batin Agatha bertanya-tanya.
——
Benda pipih yang dibelakangnya terdapat logo apel itu meluncur halus di ranjang. Pemiliknya sedang kesal setengah mati dengan orang yang dibalik pesan itu.
"Gila ya tuh orang, ganggu gue terus hidupnya. Apa hidupnya udah sempurna? Sampai-sampai urusan hidup gue dia yang atur?" geram laki-laki itu.
"Kalau aja bukan karena keluarga, gak sudi gue mau dijodohin ama cewek alay kaya gitu." Laki-laki itu sangat geram dengan perempuan yang dijodohkan dengannya.
Awal mula perjodohan itu karena keluarganya diselamatkan oleh keluarga perempuan yang terkenal sangat kaya, yaitu keluarga Nelson itu dari kebangkrutan yang tidak sengaja Ayahnya lakukan. Dengan cuma-cuma keluarga Nelson membantu perusahaan keluarga kusomo, namun alih-alih ia ingin menjodohkan anaknya dengan dirinya. Awalnya ia menolak, tapi ketika mendengar kronologinya seperti apa. Mau tidak mau, dirinya harus mau demi keluarga.
"Argghhhh!" teriaknya menggema di kamar.
Pintu kamarnya tiba-tiba dibuka oleh seseorang, ternyata Ibunya.
"Kamu kenapa?" tanya Utami Kusumo—Ibunya.
"Kenapa aku harus dijodohkan sama perempuan itu si, Bu?"
"Kan kamu tau, keluarga kita punya utang Budi sama keluarganya. Toh, kamu emang mau buat ganti rugi semua biaya yang udah di keluarin keluarganya?" jawab Ibunya kejam. Jadi ternyata dirinya hanya di buat sebagai balas budi keluarganya.
"Bu, tapi aku gak suka sama dia!"
"Itu karena kamu belum pernah ketemu, kalau udah ketemu Ibu jamin seratus persen kamu akan tergila-gila." Ibunya sangat yakin akan hal itu karena memang benar perempuan yang dijodohkannya bukan perempuan sembarangan. Perempuan itu udah kaya, cantik, ramah dan sopan. Paket lengkap. Apalagi saat dirinya bertemunya seminggu yang lalu di mall, ia sangat sopan bahkan tak segan ia bersalaman dengannya. Benar-benar anak baik.
Laki-laki itu berdecak, selalu saja Ibunya berbicara seperti itu. Setiap perempuan itu sudah pasti cantik, mana mungkin ganteng.
Kemudian ia beranjak dari duduknya, mengambil jaket yang telah di Sampit di balik pintu kamarnya. Lalu memakainya dan beranjak keluar.
"Aku pamit," ucapnya dan pergi menggunakan motor Yamaha R1 M-nya.
Utami hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya, anaknya hari-hari ini selalu bersikap tidak ramah kepadanya. Apa karena terlalu mengekang tentang perjodohan ini?
***
Motor Yamaha R1 M terhenti di sebuah cafe, dirinya langsung berlari menuju tangga. Menaikinya sampai lantai paling atas, lebih tepatnya rooftop. Cafe itu milik Andi kusumo—ayahnya, jadi ia berhak ke mana pun yang ia mau. Dan rooftop lah tempat yang paling sering di datanginya, ia juga meminta ayahnya agar tidak menempati bagian rooftop dengan siapapun. Jadi ia memutuskan rooftop adalah tempat privasinya setelah kamarnya.
Laki-laki itu duduk dengan wajah menatap bintang-bintang di langit. Ia jadi memikirkan perjodohannya, apakah dirinya bisa mencintai seseorang yang jelas-jelas ia tidak mencintainya?
Apakah jika ia dijodohkan, lalu menikah. Hubungan rumah tangganya berakhir harmonis? Atau bahkan berakhir perceraian karena satu pihak tidak menyukainya.
"Tuhan, apakah gue gak berhak buat hidup bahagia? Apakah hidup gue selau dikekang terus menerus?" ucapnya kepada bintang dan bulan, teman setianya setelah manusia.
"Apakah hidup gue selalu begini? Selalu merasa menjadi peliharaan yang tiap kali tuannya menyuruh dan gue akan nurut?"
"Tuhan! Tolong gue! Gue udah gak kuat kaya gini!"
"Kehidupan gue terpenuhi, tapi buat bahagia sedikit aja gak bisa."
"Lebih baik gue mati aja biar bisa ketemu eyang di sana dan kita bisa bahagia."
Almarhum eyangnya, orang yang sangat menyayanginya itu telah tiada. Biasanya ia akan mengutarakan apa yang ada di hatinya kepadanya dan sekarang semua itu sudah mustahil. Tidak ada lagi eyang, malaikat penolong dikala dirinya tersiksa dengan luka berat transparan yang tidak ada orang lain tau bahwa dirinya terluka.
"Sebenarnya mereka sayang gak si sama gue? Orang tua mana yang tega ngerelain anaknya tersiksa cuman karena masalah harta. Apa orang tua gue udah gak sayang anaknya lagi?"
Laki-laki itu terus berbicara dengan gelapnya malam diterangi dengan bintang dan bulan, sampai sekarang matanya mulainya terpejam. Pandangannya berubah hitam, angin kencang berembus menusuk Indra perabanya. Semoga Tuhan mendengarkan keluh kesahnya, semoga Tuhan mau membantu dirinya menghadapi ini semua dan semoga eyang di alam sana turut hadir membantunya lewat alam mimpi.
To be continued...
Akhir-akhir ini yang baca makin sedikit:) tapi gapapa, yang penting aku selalu konsisten nulis, karena suatu hal yang sudah selesai menjadi penyebab utama datangnya peminat.
Tapi, untuk Sojoy yang udah lama singgah di cerita ini. Semoga betah ya, aku juga gak minta kalian menetap. Terserah kalian, mau sekedar singgah lalu pergi atau memilih untuk bertahan sampai cerita ini end. Aku cuman mau kasih tau aja, kalau beberapa part terakhir ada kejutan yang gak pernah kalian duga sebelumnya. Mungkin kalian berpikir cerita ini hanya ada satu konflik yang dilebih-lebihkan, padahal gak sama sekali. Cerita ini ada banyak konflik sampai terkadang aku ikut pusing mikirinnya hehehe. Kan jdi curhat, dahla:v
Terima kasih yang telah membaca, jangan lupa divote, and coment juga ya di setiap paragrafnya....
Jangan lupa ajak teman-teman kalian buat baca cerita ini dan jangan lupa divotment:)
Salam, ditanandari
Author baik sejagat raya.