enfermedad [END]

By Authornyaraden

43.5K 4.5K 3.3K

✨ _________________________________ Haechan | Yangyang | Jisung _________________________________ Cerita tent... More

PROLOG ✔
Part 1 : Ananta Abimanyu Mahardika (Revisi ✔)
Part 2 : Nalendra Mahawira
Part 3 : Aksara Fahri Danadyaksa
Part 4 : Tentang Kita
Part 5 : Pembullyan & Kehangatan
Part 6 : Tak Ada Harapan
Part 7 : Patah Lagi
Part 8 : Fahri Drop
Part 9 : Kemoterapi
Part 10 : Transfusi Darah
Part 11 : Tentang Leukemia
Part 12 : Down
Part 13 : Curhatan Ananta
Part 14 : Dr. Damar
Part 15 : Jauh
Part 16 : Pahlawan Bagi Nalendra Telah Pergi
Part 17 : Terulang Lagi
Part 18 : Upin-Ipin Pasrahan
Part 19 : Putus Harapan
Part 20 : Teman Sekelas dan Rasa Kecewa
Part 21 : Maaf
Part 22 : Semuanya Terluka
Part 23 : Anak-Anak Pak Imran
Part 24 : Kebahagiaan Sederhana Milik Nalendra
Part 25 : Pikiran Buruk
Part 26 : Katanya Pergi Sebentar
Part 27 : Kacau
Part 28 : Serba Salah
Part 29 : Tidak Tentu
Part 30 : Perlahan
Part 31 : Ikut Nalendra dan Fahri?
Part 32 : Terakhir Untuk Ananta
Part 33 : Kasus Dan Bayangan
Part 34 : Kehilangan
Part 35 : Optimis, Hidup Masih Berlanjut!
Part 36 : Yang Ditinggalkan
Part 38 : H-1
Part 39 : Hari H
Part 40 : Rasanya Baru Kemarin
Part 41 : Terlalu Lelah
Part 42 : Fahri Dan Basket
Part 43 : Operasi Dan Ambisi
Part 44 : Lancar Tapi Gagal
Part 45 : Terakhir Untuk Fahri + Trailer
Part 46 : Kesendirian
Part 47 : Pikiran Buruk Rendra
Part 48 : Belum Berakhir
Part 49 : Masa SMA Nalendra
Part 50 : Bukan Pelukan Terakhir
TAMAT
#anantanalendrafahri
EPILOG
🙂 Kabar Baik ✨
HAI BESTIE
Sesuai Rencana
Mau Promosi :) Semoga di buka ❤

Part 37 : Nalendra & Ambisinya

477 59 70
By Authornyaraden

Untuk banyaknya kalimat yg rancu & typo bertebaran. Mohon dimaafkan 🌟
Soalnya aku udah mual buat baca ulang 😭😭 jadi belum ku cek lagi ...

Jadikan hari ini penuh denganku. Lupakan semua luka yang masih tersisa ketika bahagia datang menyapa.

-Nalendra

✨✨✨

Dengan sisa rasa yang berkecamuk selepas ia menerima telepon sekaligus kabar dari Fahri, Nalendra tidak sepenuhnya merasa lega, justru yang terjadi pada dirinya kini muncul perasaan ragu. Bukannya ia iri karena Fahri akan segera dioperasi, namun ada satu sisi yang lebih membuatnya termenung sejenak.

"Len, besok Kak Rendra udah mulai kerja lagi. Kamu sekolahnya diantar berangkat sama Naka, ya?"

Mendengar penuturan dari kakaknya lantas ia hanya menanggapi seraya menganggukkan kepala. Dengan tak menoleh sedikit pun pada Rendra yang sedang sibuk mengemas barang-barang miliknya. Sore nanti ia sudah mendapatkan izin untuk pulang dari Dokter Zafran.

"Kalau Nalendra ikut nyusul Mas Ananta, Bang Fahri gila gak, ya?"

"Heh, ngomong apaan?" tanya Julian memberikan tatapan tajam pada adik bungsunya yang terdengar mengucapkan kalimat tidak pantas.

"Jul, nanti tolong bawa tas besar itu, ya!" ujar Rendra ketika melihat Julian memasuki ruangan dengan ditangannya yang menenteng beberapa kantong makanan.

"Kak Rendra gak denger Nalendra habis bilang apa tadi?"

"Denger, kok."

Melihat keributan antara kedua kakaknya, ia perlahan menunduk takut. Rasa bersalah kini menyelimutinya. Menjadikan hawa canggung mendominasi mereka bertiga.

"Kakak gak bisa mengubah Nalendra seperti Ananta. Dia butuh waktu untuk terbiasa sendiri tanpa dukungannya. Hal yang wajar ketika ditinggal, dia semakin banyak pikiran dan keragu-raguan. Tapi Len," sejenak Rendra menjeda ucapannya.

Si Sulung berdiri dari duduknya lalu memperhatikan adiknya yang juga sedang balas menatapnya, lantas Rendra berucap, "Tolong jangan berlarut dalam kehilangan, kamu punya kehidupan dan Kakak harap kamu masih mau berjuang, setidaknya buatlah kemajuan untuk bertahan. Kamu tidak sendiri. Dan yang terpuruk itu bukan kamu saja, Fahri juga tidak jauh beda, bukan?"

"Kak-"

Tak kalah cepat, Rendra pun langsung kembali berucap, "bertahan sebentar lagi untuk kita, ya."

Terlihatan air wajah Rendra yang menaruh harapan besar kepada adiknya. Binaran mata yang meredup dengan perlahan lukisan senyum di bibir tipis itu muncul.

***

Suara bising diluar kamar membuatnya tidak dapat memejamkan mata dengan tenang. Posisi ia berbaring pun semakin gusar ia rasakan. Atas hal inilah Rama terus menerus menoleh pada pintu kamar yang tertutup.

Tangannya bertautan dengan milik Fahri. Menemani Sang Adik yang hendak tertidur kini terhalang oleh suara-suara yang mengganggu kenyamanan mereka.

"Batalkan saja operasinya. Saya takut dia malah semakin parah."

"Justru dengan jalan operasi Fahri bisa menjadi lebih baik. Bisa sembuh dan beraktifitas lagi ..." tolak suara wanita yang tidak kalah tinggi nadanya.

"Saya katakan 'jangan'. Untuk kali ini saja, kalian turuti ucapan saya. Apa susah?"

"Mama sama Papa bertengkar lagi, ya?" tanya Fahri menghela nafas. Wajah yang tidak menatap Rama itu kini berubah, membiarkan beberapa tetes air mata mengalir keluar dari kelopak matanya. Disusul tangan miliknya terangkat untuk segera menghapusnya.

"Udah, kamu abaikan saja. Ini udah larut malem, loh. Kembali tidur, ya!" ucapnya berusaha menenangkan. Namun jujur Rama sendiri merasa risih dengan kehadiran keduanya sekarang. Apalagi mereka bertemu bukan untuk membicarakan rencana yang baik malah terjadi keributan dengan adu mulut.

"Gak bisa. Suara mereka lebih keras."

"Iya, biar Bang Rama tegur, deh. Kasian kamu terganggu ..." ia pun hendak beranjak, secepatnya Fahri memanggil untuk Rama tidak pergi.

"Bang Rama!"

"Iya?" yang lebih tua menoleh lantas kembali duduk menghadapkan dirinya pada Sang adik.

"Operasinya kita undur aja, sampai Papa mau mengizinkan." tutur Fahri menghadirkan senyum pada bibir pucat miliknya.

"Mau sampai kapan? Kamu gak sayang diri kamu sendiri?" kesal Rama menatapnya tak suka. Ia sudah tidak mau menunggu waktu lagi untuk kesembuhan adiknya. Ditambah kini perasaan Rama tidak karuan karena mendengar ungkapan perbedaan pendapat diantara kedua orangtuanya.

"Bukan seperti itu. Fahri mau mengantongi izin dari keduanya. Ini akan lebih baik. Fahri yakin!"

"Tapi operasinya pagi nanti. Masa diundur tiba-tiba?"

"Yaudah, biar Fahri yang bilang sendiri sama Dokter Zafran." ia berusaha mendudukkan dirinya untuk meraih benda yang tergeletak diatas nakas di samping tempat tidurnya.

"Gak usah, biar Bang Rama aja. Kamu tidur, ya ..." Rama menahan tubuh ringkih tersebut, menyuruh adiknya untuk kembali berbaring dan melanjutkan tidur.

Detik berikutnya Rama menggenggam kuat handphone milik Fahri lalu keluar kamar, membiarkan adiknya tertidur.

Selepas melihat kepergiannya, Fahri memejamkan mata kuat dengan kedua bibir yang mengatup, berusaha untuk meredap emosi dan rasa kesal yang sebenarnya sudah sedari tadi berkumpul di kepalanya.

"Semuanya kacau, Nan. Lo gak mau jemput gw? Eh salah, lo bukan malaikat pencabut nyawa, ya." kekehnya ringan sebelum kembali menutupi seluruh tubuh dengan selimut.

Rasa sakit di punggungnya kembali terasa saat ia tak sengaja berbaring dengan posisi yang kurang nyaman. Suara desisnya terdengar mengadukan ngilu.

***

Jam berdetak dengan jarum yang memutar, hari kembali berganti dengan diwarnai keributan pagi yang membuat Nalendra tidak bersyukur karena terlahir sebagai adik Julian dan Naka.

Hanya karena bekal yang tertukar membuat keduanya harus beradu mulut. Untung saja Rendra turun untuk melerai keduanya dan Nalendra bisa berangkat sekolah tepat waktu.

Kini sepasang kakak beradik sudah berdiri di depan gerbang, memperhatikan bagaimana banyak pelajar berseragam sama dengan Nalendra berjalan tertib melewati keduanya.

"Biar Kak Naka antar sampai kelas." desak Naka yang kesal karena Nalendra tidak mau menerima uluran tangannya.

"Gak usah ..." tolaknya yang menepis pelan tangan Naka ketika hendak mendorong kursi roda yang ia duduki.

Tiba-tiba sebuah suara terdengar melengking dengan ceria, "hallo, assalamu'alaikum ... Bintang kelas 11, teman sebangku Nalendra datang."

"Waalaikumussalam ..." balas kakak beradik tersebut dengan memberikan dua tatapan berbeda pada Afif.

"Ada apa gerangan, kok belum masuk kelas?" tanyanya bersedekap dengan lirikan matanya terfokus pada bangunan bertingkat.

"Nah, Fif, Nalendra malu kayaknya punya Kakak seganteng aku. Tolong, yah, Kak Naka nitip Nalendra. Boleh, kan?" ia menitipkan adiknya karena sudah berkali-kali kena tolakan halus.

"Oh boleh. Dengan senang hati. Mana sini Afif yang dorong ..." segera ia memposisikan diri berdiri di belakang Nalendra, tangannya sudah menggenggam erat pegangan kursi roda tersebut.

"Gak, gw mau berusaha sendiri."

"Ihh botak! Gak boleh gitu. Kelas kita di lantai 2, loh. Nanti kita nunggu Azka sama Alfa biar ada yang bantu gotong dirimu ..." semprot Afif menatap tajam pada Nalendra.

"Fif, gak usah." tangan yang tadi tenang bertumpang pada tas di pahanya kini berusaha melepaskan genggaman tangan Afif pada kursi roda miliknya.

Dengan pelan, Afif mendekat untuk berbisik pada telinga Nalendra, sedikit merendahkan tubuhnya, "heh! Lo anggep gw apaan? Sekali lagi lo nolak, gw bakalan balik ngebully lo kayak dulu. Udah nurut aja ..."

"Uhh ... Akrabnya kalian. Gemess, deh. Nah, Kak Naka duluan, ya! Udah mepet nih mau ujian, hehe ..." melihat interaksi keduanya, Naka bertepuk tangan tanpa suara.

"Sip, Kak! Hati-hati ..." balas Afif dengan tangan hormat.

"Jaga diri, ya, Si Imut Tiang." pesan Naka seraya sedikit memutari mobil miliknya untuk mendekati pintu pengemudi lalu membukanya.

Suara klakson pun terdengar sebelum mobil Naka melesat begitu saja. Afif yang sedang melambaikan tangan mendengar indah kata-kata Nalendra yang menggerutu.

Tenang dan santai, keduanya belum beranjak dari depan gerbang hanya untuk menunggu Azka dan Alfa datang. Afif tidak kuat jika harus membantu Nalendra sendirian, mengingat kelas mereka berada di lantai 2.

***

"Kenapa sih, keras kepala banget?" tanya Afif mengomel ketika ia menemukan sesuatu dari dalam tas Nalendra.

"Ada apa?" tanya Nalendra setelah melihat Azka berhasil menyingkirkan kursi belajar miliknya ke pojokan kelas, karena Nalendra sudah duduk rapih dengan kursi rodanya.

"Ini! Di tas lo ada baju olahraga. Percuma lo bawa, gak bakal lo pake." suaranya mengecil saat melihat air wajah Nalendra berubah sendu.

"Fif, gw pengen banget olahraga, seriusan! Olahraga biar bikin badan sehat, kan?"

"Iya, tapi ini-" ucapan tersebut terpotong dengan cepat.

"Gw udah terlanjur gak sehat. Apalagi pikiran gw akhir-akhir ini. Sekali aja, gw mau cari kesegaran ..." tandas Nalendra.

"Bukan gini caranya." terlihat sorot mata Afif menampakkan kekhawatiran.

"Nanti setelah ujian semester, Gw ajuin deh, liburan sekelas. Lo mau?" ia berusaha membujuk temannya agar tidak berbuat hal berlebih yang bisa mencelakai dirinya sendiri.

Sebuah anggukan kepala menunjukkan itu sebagai jawaban. Lantas setelah melihatnya, Afif pun tersenyum.

"Nah, buat sekarang. Gw bantuin lo belajar aja, gimana? Biar nilai lo bisa bikin keluarga lo seneng."

"Tapi gw pengen olahraga." gumamnya pelan sambil menghindari tatapan Afif.

"Iya! Nanti besok gw beliin bola deh, kita main bekel aja. Itukan sama olahraga."

"Pengennya kasti!" kesalnya kembali bersemuka.

"Jalan aja lo gak bisa, apalagi lari. Udah jangan aneh-aneh ..." imbuh Afif.

"Lo gak asik, Fif!"

"Lo gak sadar diri!"

"Pendek!"

"Botak!"

"Heh! Ada guru, woi!" tegur Alfa menoleh untuk memberikan tatapan sinis pada keduanya. Ia baru saja masuk kelas menjemput guru yang akan mengajar pagi ini.

***

"Seriusan?" Nalendra bertanya untuk memastikan.

"Iya. Tapi gak usah pake baju olahraga. Ribet ... Ayo!" dengan pelan ia mengambil alih pakaian olahraga milik Nalendra lalu menyimpannya ke dalam tas.

Tentu kini sebuah anggukan dari Afif membuat Nalendra memekik senang. Semua teman-temannya sudah keluar kelas, berlarian menuju lapangan. Dan mereka pun akan segera menyusul, dengan Afif yang segera mendorong kursi roda tersebut.

Ketika dua jam pelajaran olahraga sudah mereka lalui, Afif meminta izin untuk meminjam bola berwarna orange tersebut. Membiarkan semua temannya membubarkan diri sementara dirinya malah mendekati Nalendra di ujung lapangan.

"Bisa, gak?" tantangnya saat bola yang dipegang ia lempar dan langsung diterima baik oleh pemuda berseragam yang sedari tadi terduduk di pinggir lapang selama pelajaran berlangsung.

"Bisa-bisa ..."

Afif pun dengan sabar menuntunnya mendekati salah satu ring, lantas ia menunjuk pada lingkaran berjaring diatas sana.

"Coba lempar kesana, masuk, gak?"

"Oke ... Lihat, nih!" ia dengan percaya diri pun melemparkan bola di tangannya pada lingkaran di atas sana.

Walaupun bola itu tidak terlempar secara sempurna, namun bola tersebut berhasil masuk membuat kedua mata Afif terbelalak sambil bersorak dengan tepukan tangan heboh.

"Lumayan ..." ia menepuk pelan bahu Nalendra disampingnya.

"Habis ini mau coba main futsal, deh!" ucapan ini terlontar saat Afif mengambil bola orange yang lumayan berjarak dari tempat Nalendra duduk.

"Heh! Di kasih hati minta jantung!"

"Hehe ... Sekali aja ..." kekehnya sampai mata sipit itu terlihat menghilang.

"Minggu depan lagi ..." tolaknya halus.

"Sip! Serius, ya! Minggu depan."

"Asal semangat kemo sama transfusinya." ujarnya menatap serius pada kedua netra milik Nalendra, kemudian bola itu ia lempar lagi menuntut temannya menangkap dengan cepat.

"Oh tentu!" jawabnya.

***

Alfa menggelengkan kepala saat ia melihat tingkah aneh Nalendra yang terlihat enggan mengikuti mereka.

"Ngapain sih ngomong sama pohon. Ayo sini, ke kantin!" ia mengguncangkan tangan yang menunjuk-nunjuk pohon hias di depan kelas mereka.

"Tau aneh banget ..." imbuh Azka.

"Jangan kayak kemarin lagi, ya?" ucap Alfa saat mereka berhasil membawa Nalendra ke kantin. Beruntung temannya tidak menolak ajakan mereka.

"Doain aja ..." ia menyauti ketika bayangan tempo hari kembali teringat. Memangnya siapa sih yang mau tubuhnya selemah itu, ditambah muntah-muntah dan mimisan lalu berakhir pingsan? Sebenarnya Nalendra saja sudah bosan dengan dirinya, ia juga tidak enak hati jika harus terus menerus merepotkan orang di sekitarnya.

***

Seharian penuh Nalendra habiskan bersama ketiga temannya. Ia benar-benar merasa senang, berterima kasih atas hadirnya hari ini walaupun semua itu tak lekas membuat sebagian hatinya yang kosong terisi penuh.

"Nanti gw jelasin di rumah. Kita adakan acara belajar bersama secara online. Lo berdua juga harus hadir!" tunjuknya pada Azka dan Alfa. Mereka kini berjalan berdampingan menuju gerbang keluar sambil berbincang ringan.

"Iya-iya ... Jam berapa?"

"Jam setengah delapan aja ..." jawab Afif sejenak menghentikan langkah.

"Yaudah gw duluan sama Alfa, dahh kalian ..." lambaian tangan dari keduanya terlihat, ketika mereka perlahan berjalan menjauhi kedua temannya yang lain.

Sampai kedua bayangan mereka tak terlihat lagi, Nalendra menengadah pada Afif yang masih tersenyum memandang arah depan.

"Makasih, ya ..." cicitnya yang mungkin tidak akan terdengar oleh Afif, namun percayalah Nalendra berucap tulus akan hal ini.

"Buat?" rupanya ucapan tersebut terdengar, mendorong Afif untuk segera menekuk kedua kakinya lalu menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut membungkam itu.

"Buat hari ini. Kalian semua pokoknya terbaik, deh."

Untuk menanggapi hal ini, Afif terkekeh sejenak sebelum akhirnya meledek Nalendra, "cih ... Ada maunya ..."

"Hehe ..."

"Gw titip salam Len buat keluarga lo ... Gw duluan, ya. Tuh Kak Naka udah jemput lo juga ..." ujarnya kembali berdiri ketika sebuah mobil berhenti di hadapan mereka.

"Heem ..."

Merelakan Afif pergi, kini atensinya beralih pada Naka yang keluar dari mobil dengan senyum cerahnya siang ini. Berlarian kecil menghampiri adiknya dan sepertinya ada yang akan Naka ceritakan setelah mereka berhasil duduk bersebelahan didalam mobil.

***

"Lo bikin gw seneng biar ada bahan buat di kenang, ya?" tanya Nalendra saat wajah Afif muncul setelah mengambil beberapa cemilan dari dapur.

"Nah tuh tau ... Tapi gak sepenuhnya. Gw masih berharap lo bisa hidup lebih lama lagi ... Bahkan sampe kerja dan berkeluarga nanti." harap Afif sebelum ia menyuapkan cemilan itu kedalam mulutnya. Ia memperhatikan bagaimana air wajah lelah Nalendra dari layar handphone miliknya, menunggu Nalendra membalas ucapannya.

"Kalo gw kuat, Fif!"

Sekejap Afif menghela nafas, ia pun lanjut berkilah, "payah banget! Harus kuat! Bikin Mas lo bangga punya sepupu kayak lo yang gak mudah menyerah ..."

Melihat Nalendra yang terdiam, Afif kembali bertanya, "nah, lo gak ada niatan operasi?"

"Gak tahu dan gak mau."

"Why?" terpampang jelas air wajah terkejut Afif perlihatkan. Ia bahkan sampai menyimpan cemilan di tangannya lalu atensinya beralih sepenuhnya pada Nalendra.

"Ada rasa ragu buat operasi. Mending pakai jalan kemo aja."

"Yaudah kalo ragu mendingan jangan. Takutnya nanti kenapa-kenapa." sambutnya.

Malam hari seusai kegiatan belajar online keempatnya berakhir, mereka memilih untuk lanjut bercerita saat Alfa dan Azka telah lebih dulu berpamitan akan segera tidur.

***

T B C

Hallo ... Apa kabareuuu sijeun~iiii ...

Cie telat update ... Biasalah jaringannya karena ujan terus ...

Masih semangat kan baca sampe tamat?

Jangan bosen dulu, ya ... Kan Nalendra sama Fahri masih bernafas, ehh ...

Yakin mau mereka nyusul Ananta juga? Utututuuu~ kejam sekali kalian ini. Sama kok aku juga pengen mereka begitu wkwkkw ...

Ditunggu lagi ya update selanjutnya ... 🙌

Yuk komentar yg bawel, apa aja sok aku baca semua komentar kalian, kok ...

(2.200+ kata)

Bonus :

Ada yg ngirim ini di WA aku_-


✨✨✨

Serius nanya, ada yg mau gabung gak nanti?


(Link grup WA enfermedad ada di bio IG Ananta [at]a_abimanyu_m)

Continue Reading

You'll Also Like

6.4K 468 30
Semesta selalu punya rahasia begitupula dengan Semesta Andrian Radnanta. Tentang semesta nya yang hilang. Semesta yang tak sempurna tapi mengharapkan...
1.1M 172K 63
[Complated✔️] ❝Takdir mungkin nggak menyatukan kita, namun nggak ada yang menyuruhku untuk berhenti mencintaimu❞ ‼️ Don't be a silent readers. ‼️Ceri...
271K 23.4K 46
Yang paling disesalinya adalah, tidak bisa mengulang waktu.. dan memperbaiki kesalahannya di masa lalu. • • • Cerita seringan kapas. Tidak akan membu...
28.7K 1.9K 46
ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ✔ ✒Cerita tentang seorang laki-laki yang bahagia di sisa hidupnya, bertemu dengan gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta lagi setelah membe...