Pulang sekolah Jaemin ingat kalau dia ada les mapel Kimia, Bahasa Inggris, Matematika, les piano dan les renang. Jadi Jaemin segera pulang ke rumah.
Mulai sekarang les mapel intinya di rumah, les lain di luar. Kalau Jeno? Dia hanya les inti saja, dan itupun hanya 3 mapel.
Sedangkan Jaemin punya 11 les.
Itu sudah jelas karena dia bodoh. Kata Papa begitu.
Jaemin masuk ke rumah setelah memarkirkan motornya di garasi. Rumah sepi, hanya pembantu yang sedang bersih-bersih seperti biasa.
“Den sudah pulang. Mau Bibi buatkan jus?” tanya Bibinya, namanya Bi Darti.
“Ngga perlu.” ucap Jaemin.
“Den, Nyonya berpesan, nanti jam 8 malam akan ada tamu penting, teman baru Aden dari keluarga Zhong. Aden diminta memakai tuxedo hitam.” ucap Bibi.
“Jam 8 les renang.” balas Jaemin.
“Itu kata Nyonya diundur jadi jam 10 Den.” ucap Bibi.
“Bukannya jam 10 sangat dingin Den, saya takut Aden sakit.” tambah Bibinya.
“Bilang Zhong, saya ngga mau ketemu.” ucap Jaemin lalu menaiki tangga.
“Tapi Den, itu perintah Nyonya.” teriak Bibi.
Jaemin mengibaskan tangan, tanda tak peduli.
“Zhong Chenle huh?” gumam Jaemin.
“Anak sombong.” gumam Jaemin.
“Dia pantesnya jadi temen Jeno.” batin Jaemin.
Ngomong-ngomong, Jeno belum pulang. Biasanya dia langsung pulang lalu langsung belajar lagi di rumah. Hidup Jeno pasti sangat membosankan.
Dikepalanya hanya berisi belajar, belajar dan belajar. Jeno punya teman sih, tapi teman sejatinya itu buku dan ilmu.
“Den.” panggil pembantunya yang lain. Kalau beliau namanya Bi Retno.
Jaemin menoleh sebelum membuka pintu kamarnya.
“Kenapa Bi?” tanya Jaemin.
“Ini, saya nemu ini di tempat sampah Den.” ucap Bibi sambil melihat sekitaran.
Jaemin membuka bungkusan plastik yang diberikan Bibinya.
“Apa ini?” tanya Jaemin tak tahu.
“Saya sempat kerja di farmasi Den. Itu obat anti depresan.” ucap Bibi.
“Terus?” tanya Jaemin bingung.
“Saya nemu itu di kamar Den Jeno.” ucap Bibi.
“Anti apa?” tanya Jaemin.
“Anti depresan Den.” jawab Bibi.
Jaemin menatap obat itu dengan alis menukik dalam. Benarkah Jeno minum obat seperti ini? Untuk apa?
“Saya simpen.” ucap Jaemin.
“Iya Den. Kalo gitu saya permisi Den.” ucap Bibi.
“Iya.” balas Jaemin mengangguk.
Jaemin masuk ke kamarnya, duduk di tepian kasur lalu mengamati obat itu. Kalau benar Jeno minum ini, Jaemin akan tertawa habis-habisan.
“Jen Jen, lo mau bikin drama apalagi dengan minumin obat beginian. Lo ngga usah caper kaya gini mereka udah sayang sama lo.” ucap Jaemin.
“Emangnya gue? Sekeras apapun gue usaha cari perhatian, ujungnya cuma diamuk, bukan disayang.” ucap Jaemin lalu menyimpan obat itu ke laci paling bawah.
Jaemin segera mandi mengingat sebentar lagi Pak Leetuk akan datang. Sebenarnya dia lelah, tapi mau bagaimana lagi. Orang bodoh seperti dirinya tidak punya waktu untuk istirahat.
Sementara itu, Jeno baru sampai di rumah. Mama Irene bilang akan ada tamu, jadi Mama pergi mencari makanan bintang 5 untuk dihidangkan nanti malam. Rumahnya sepi, motor Jaemin sudah di garasi, berarti dia sudah pulang.
Jeno melangkahkan kaki ke depan pintu hitam disebelah kamarnya. Terdengar bunyi gemericik air shower, Jaemin pasti sedang mandi. Jeno tidak masuk, hanya berdiri saja memandangi pintu hitam itu.
“Den, mau ketemu Den Jaemin?” tanya Bibi yang lewat sedang menyapu lantai.
“Ngga.” jawab Jeno.
“Aden ngga pergi les? Mau Bibi buatin minuman dingin?” tanya Bibi.
“Ngga.” jawab Jeno.
Bibi terdengar menghela nafas lalu lanjut menyapu lagi. Jeno teringat lagi perkataan Jaemin, apa benar Jeno se memuakkan itu?
“Bi.” panggil Jeno.
“Iya Den?” jawab Bibinya.
“Taruh ini di kamarnya.” ucap Jeno.
Bibi menerima bungkusan plastik yang lusuh.
“Ini apa Den?” tanya Bibi.
“Jangan buka. Taruh aja.” ucap Jeno.
Bibi terlihat ragu-ragu.
Jeno merogoh saku, memberikan Bibi 4 lembar uang merah.
“Taruh di kolong kasur.” ucap Jeno lalu pergi.
Bi Darti segera memasukkan barang dan uang itu ke sakunya. Dengan gugup ia berlari cepat ke kamar pembantu. Menguncinya rapat-rapat lalu membuka bungkusan itu meski sudah dilarang.
“Astaghfirullah!” ucap Bibi terkejut.
Plastik itu berisi sisa-sisa puntung rokok.
“Den Jeno...” lirih Bi Darti tak menyangka.
Den Jeno menyuruhnya meletakkan ini di kamar Den Jaemin, kenapa?
“Darimana Den Jeno dapat puntung rokok sebanyak ini?” tanya Bi Darti menggumam.
Bi Darti tiba-tiba teringat perbincangan para pembantu dulu di dapur.
“Aden tiap pulang sekolah wangi ya.”
“Iyalah cah gagah yo mesti wangi.”
“Tapi dia wangi sekali loh, kaya sengaja pakai parfum banyak setiap pulang sekolah.”
“Jangan bilang siapapun yo guys, aku pernah liat Den Jeno ngerokok di balkon.”
“Halah, koe iki ngawur! Den Jeno gak mungkin begitu.”
“Iya, Den Jeno kan anak baik-baik, tidak mungkin begitu. Kamu salah lihat kali atau halusinasi saja!”
“Iya mungkin ya, Den Jeno kan sempurna. Anak idaman setiap orang tua. Mungkin benar aku salah lihat.”
“Hati-hati loh, bisa timbul fitnah, nanti kamu bisa dipecat Tuan!”
“Iya iya maaf.”
Bi Darti menutup mulutnya sendiri. Tidak mungkin, tidak mungkin puntung rokok sebanyak ini punya Den Jeno. Pasti Den Jeno memungut bekas rokok di jalan.
Tok Tok Tok
“Darti, sudah waktunya menyiapkan baju Den Jaemin!” panggil Bi Retno.
“Iya. Aku segera kesana.” ucap Bi Darti lalu memasukkan bungkusannya lagi ke saku seragam pembantu.
Bi Darti keluar kamar. Tergopoh-gopoh ke kamar Den Jaemin.
“Aden, ini saya Bi Darti. Mau menyiapkan baju les.” ucap Bi Darti.
“Masuk.” ucap Jaemin.
Ceklek
Bi Darti tersenyum, Den Jaemin baru keluar dari kamar mandi dengan bathtobe putihnya. Dia sedang bercermin menyukur kumis tipis lalu melakukan perawatan wajah.
Ini waktunya.
Bi Darti segera menjatuhkan bungkusan itu saat meletakkan baju di kasur. Lalu menendangnya agar masuk ke kolong kasur.
“Hari ini pakai baju Prada ya Den.” ucap Bi Darti.
“Iya.” balas Jaemin sembari menyisir rambut.
“Aden mau makan apa? Atau mau cemilan?” tanya Bibi.
“Ngga laper.” tolak Jaemin.
“Yasudah Den, Bibi keluar ya.” ucap Bi Darti.
Jaemin mengangguk.
Selepas Bi Darti pergi, Jaemin tersenyum remeh. Jaemin segera melangkah ke kasurnya, berjongkok melihat kolong.
“Jimat pelet?” tanya Jaemin melihat plastik itu.
Jaemin membukanya.
Isinya puntung rokok banyak sekali.
Jaemin menghela nafas. Sebenarnya dia sudah tahu kalau pembantu itu tidak beres otaknya. Dulu, pembantu itu pernah menyembunyikan majalah dewasa di sela-sela buku di meja belajarnya.
Lalu sekarang puntung rokok hm?
“Stress.” ucap Jaemin membuang puntung rokok itu ke sampah khusus yang ia sembunyikan di lemari. Sampah itu Jaemin sendiri yang akan buang.
Jaemin keluar kamar, tiba-tiba dia merasa haus.
Saat melewati persimpangan, Jaemin mendengar suara pembantu tadi sedang berbicara bisik-bisik lewat telepon khusus pembantu yang terhubung ke kamar majikan.
“Iya Den, sudah Bibi taruh. Beres Den, ngga ketahuan Den Jaemin.” ucapnya.
“Jadi ini ulah Kakaknya?” batin Jaemin mencelos.
“Brengsek!” umpat Jaemin.
✏✏✏✏✏
Cerita ini hanya fiksi belaka. Mengandung banyak kata kasar. Pembaca harap tidak membawa cerita ke dunia nyata karena karakter semua tokoh hanya fiksi.
Cerita akan update satu minggu satu chapter.
Tinggalkan bintang dan komentar pasti akan dibalas.