Hallo apa kabar semuanyaaa?
Disini hujan jadi jaringannya terganggu. Maaf ya updatenya telat ... hihi ... selamat membaca ...
Sebelumnya jika terdapat kesalahan pada tindakan medis berikut, mohon diberitahu hehe ...
Oh iya, ini banyak flashbacknya, ya! Tiati kekecoh. Hurufnya miring kok ...
***
Zafran menghela nafas berat setelah memeriksa kondisi Nalendra. Lantas reaksinya langsung mendesak Rendra bertanya. Pemuda itu tampak khawatir, bahkan kali ini merasa sangat takut setelah melihat gelengan pelan dari Zafran.
Sementara itu, di ambang pintu telah berdiri seorang Dokter lain yang tidak sengaja membuntuti Zafran memasuki ruangan Nalendra dengan tergesa-gesa.
“Kenapa, Dok?” Tanya Jordan memberanikan diri untuk masuk. Ia segera menghampiri Nalendra. Mengambil alih untuk ia periksa kembali kondisi terkini.
***
Sore ini, setelah cukup beberapa jam lalu keadaan Nalendra membaik, kini ia kembali harus mendapatkan penanganan yang serius. Sudah ada Dokter Jordan, Dokter Zafran dan beberapa petugas medis lainnya yang ikut membantu.
Beberapa kali monitor itu terus dilirik, untuk memastikan adanya peningkatan pada kondisi Nalendra. Denyut pada jantungnya benar-benar lemah, nafas yang berhembus sempat berhenti dan pergerakkannya terasa sangat pelan.
Disamping tim medis sedang bekerja, Jordan sejenak terdiam. Ia teringat akan kejadian yang sama dulu pernah ia alami, menangani seseorang yang kondisinya sama seperti ini. Perlahan Jordan merendahkan tubuhnya untuk membisikan sesuatu pada telinga Nalendra.
Oleh karena itu, Jordan melirihkan suaranya, “Nalendra, Dokter mau kamu tetap bertahan … Dokter tidak mau kembali kehilangan pasien lagi, seperti Ananta dulu …”
“Jangan buat Dokter merasa gagal, ya? Kami selalu merasa bersalah jika tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien …” imbuhnya seraya kedua netra itu memandang penuh harap wajah pucat yang sedang nyaman tertutup.
“Arghh … bertahan sebentar!” erangnya yang sudah mengerahkan seluruh kemampuan dan usahanya. Terlihat sekali Jordan sudah hampir putus asa untuk menyelamatkan pasiennya. Semua tenaganya terkuras habis, itu terlihat dari banyaknya keringat yang bercucuran berkali-kali ia menyekanya.
“Nan …” Jordan berusaha memanggil. Lantas bukan sebuah suara lirih yang terdengar melainkan hanya gelengan lemah dengan air wajah yang memperlihatkan kesakitan luar biasa. Jordan hampir menangis dan menyalahkan dirinya sendiri melihat Ananta kesusahan dalam rasa sakitnya.
“Ananta? Dokter panggilkan keluarga kamu, ya? Tunggu sebentar …” ia putuskan untuk memanggil Satria yang berada diluar ruangan. Selama 2 jam lebih ia sudah berusaha dan Jordan pikir jika ada kedua kakaknya—Ananta akan ada kemajuan dalam kondisinya.
“Adek … Adeknya Lintang kuat!” tangisan Lintang pecah seketika. Jordan melihat pelukan itu mengetat dan Satria yang menggenggam tangan adiknya terekam jelas dalam benak Jordan.
“Kenapa Dokter Jordan malah diam saja? Lakukan sesuatu!” desak Satria malam itu membuat Jordan terdiam, terlampau bingung dan tidak sanggup untuk melakukan sesuatu.
“Satria …”
“Nan … denger suara Mas, kan?” bisik Satria pada telinga adiknya.
Dan akan selalu Jordan ingat akan lengkungan indah yang sering Ananta perlihatkan kepadanya jika bertemu, “kemonya gak sakit, cuman kadang efeknya yang selalu bikin bosan,” begitu ucapan Ananta yang Jordan ingat.
“Iya, kemarin kita menghabiskan waktu seharian di rumah Dokter Damar. Ini ada foto-fotonya … Ananta seneng bisa kenal Dokter Damar, bertemu Fahri juga …”
Akan tetapi ketika bayangan itu terulas dengan rapih, Zafran tiba-tiba menghentikan tindakannya. Kedua tangannya yang pegal perlahan turun dan helaan nafasnya ia buang dengan berat.
Jordan yang menatapnya malah dibalas dengan gelengan putus asa. Alat yang dipegang Zafran akan disimpan begitu saja, namun dengan cepat Jordan menegurnya.
“Tidak bisa, Dok!” suara lesu kelelahan Zafran benar-benar membuat Jordan geram, akhirnya Jordan paham bagaimana perasaan Satria dan Lintang ketika dirinya hanya diam tak mau berusaha lebih untuk menolong Ananta malam itu.
“Bisa! Kembalikan alatnya, biar saya tangani …” pinta Jordan meminta alat yang tadi Zafran gunakan.
“Dok … “
Dengan menekan kesabarannya, Jordan berusaha berkata dengan pelan pada Zafran.
“Dokter Zafran, Nalendra masih bisa kita selamatkan … apapun yang terjadi, kita harus punya tekad dan percaya akan adanya pertolongan dari Yang Maha Pemberi Kesembuhan! Berikan alatnya! Nalendra butuh kita, kita tidak punya waktu banyak untuk menolongnya!“
“T-tapi …” dengan ragu Zafran menuruti pinta Jordan.
Dari sembrang Zafran berdiri, ia hanya mampu terdiam melihat bagaimana Jordan berusaha keras untuk mengembalikan ritme denyutan normal pada jantung Nalendra.
“Kita hanya perlu bekerjasama, berusaha fokus dan selalu berdoa …”
“Dok …” panggil Zafran terdengar ragu.
“Saya tidak akan membiarkannya pergi, selama saya masih diberi kesempatan untuk menolongnya! Setiap nyawa itu berharga!”
“Saya sudah kehilangan sosok Ananta … dan untuk sekarang, Nalendra harus bisa saya selamatkan …” lanjut Jordan yang memicu linangan pada kedua netranya.
***
Bersyukur, usaha dan tekad kuat Dokter Jordan membuahkan hasil yang baik. Seperti halnya sekarang, Nalendra berhasil untuk di pindahkan ke ruang rawat setelah beberapa jam ditangani, bahkan pemuda berumur 17 tahun itu kini sudah sadarkan diri.
"Udah bangun, Dek?" Tanya Naka menghampiri Nalendra. Ia menyeka peluk di kening adiknya serta mengusap bahunya dengan sayang.
Mendengar Naka bertanya demikian, kini Julian bangun dari tidurnya. Ia dengan senyum hangat segera menghampiri kedua adiknya, lantas ia pun bertanya pada yang paling bungsu, "ada yang sakit, gak?"
Nalendra tidak menjawab, anak itu terlihat memandang ke arah lain. Sangat kentara sekali jika Nalendra tampak ketakutan walaupun sekedar melirik Julian yang menanyakan sakitnya.
Lantas Naka menyenggol Julian untuk melunakkan nada bicaranya, Naka juga memandangnya tajam agar Julian tidak terus bersikap menyebalkan seperti kemarin.
"Len, Kakak minta maaf ya soal sikap Kakak kemarin ..."
Setelah meminta maaf pun, Nalendra tidak menolehkan kepalanya. Kemudian Julian berinisiatif untuk merogoh saku celananya guna mengambil ponsel miliknya.
"Sebentar, Kak Julian telepon dulu Kak Rendra ..."
Ketika Julian sudah menjauh, Naka pun turun tangan untuk mengalihkan atensi Nalendra.
"Kalo ada yang sakit kamu bilang, ya ... jangan banyak melamun!" Ucapnya seraya meraih tangan Nalendra yang terbebas dari infusan.
Dengan perlahan Nalendra membenahi posisinya untuk lebih nyaman, ia memandang Naka sambil menampakan lengkungan pada bibir pucatnya.
"Nalendra pikir malam itu Nalendra bakalan meninggal ..."
"Dan ternyata enggak. Kamu masih diberikan waktu ..." sahut Naka segera menimpalinya.
"Iya, Kak."
Tak terlalu lama, Naka kembali bertanya untuk mengusir kecanggungan. Ia memperhatikan Nalendra secara penuh kali ini, ia tidak mau keresahannya kemarin malah terulang lagi. Ia sudah kapok, terlalu takut untuk ditinggalkan.
"Nalendra mau apa? Barangkali laper."
Lagi, Nalendra hanya menggelengkan kepala dengan mulutnya yang masih setia ia bungkam.
"Sebentar lagi Dokter Zafran kesini buat memeriksa ..." ujar Julian yang kembali masuk ruangan. Ia sudah selesai mengabari Rendra dan Mamanya untuk segera kesini.
***
"Len, jangan bikin khawatir terus ..." ucap Mama yang duduk menghadap Nalendra yang masih terbaring.
"Adek kesayangan Kakak harus baik-baik saja ..." imbuh Rendra yang tidak begitu diindahkan oleh adiknya. Rendra menduga, bahwa Nalendra banyak pikiran sehingga ia terus-terusan melamun seperti ini.
"Kamu harus cepat pulih. Masih mau ikut liburan, kan?" pertanyaan ini barulah mendapat anggukan dari yang ia tanya. Rendra tersenyum untuk menanggapi hal kecil tersebut. Ia sangat bersyukur adiknya masih bisa bertahan, padahal tadi sore ia masih dalam keadaan kalut luar biasa.
"Nah, iya. Kamu harus pulih dulu ..."
"Anak Mama yang satu inikan kuat, Ren!" tambah Mama terkekeh.
Mereka melanjutkan untuk mengajak Nalendra mengobrol lebih lanjut agar tidak terus menerus melamun. Bersamaan dengan hal ini, mereka juga sedang menunggu Julian dan Naka kembali dari membeli makanan.
***
Besok sorenya Nalendra masih tidak mendapatkan izin untuk pulang tapi ia benar-benar bosan jika harus berdiam terus di kamar rawatnya, alhasil sekarang dia berada di sebuah taman rumah sakit.
Taman yang sama dengan yang pernah ia kunjungi bersama kedua orang yang pernah berada disampingnya untuk sekedar berbagi cerita dan keluh kesah.
"Kemarin bareng Mas Ananta disini ..." ucapnya memperhatikan dedaunan yang diterpa angin dengan lembut, bergerak melambai serta ada kupu-kupu cantik yang Nalendra lihat saat ini, bergerak diantara bunga yang sudah hampir layu lalu pergi menjauh.
"Dan kemarin setelah Mas Ananta pergi, Bang Fahri yang nemenin Nalendra ..."
"Sekarang, kalian gak akan bisa nemenin Nalendra lagi. Kini tinggal Nalendra sendiri ..." memang terasa pahit ketika ia berucap demikian, namun bagaimana lagi. Manusia tidak punya kuasa atas apapun yang akan terjadi selanjutnya. Tugas manusia hanya menerima dan tidak diberi kesempatan untuk memilih jika memang kematian menghampiri lebih cepat.
Bayangan bersama keduanya kini Nalendra ulas kembali, ia mulai memejamkan matanya dengan tenang seraya menghirup udara sore yang masih tersisa bau tanah karena telah turun hujan siang tadi.
Ananta dengan hati-hati mengambil beberapa helai rambut pada bahu yang lebih tinggi, lalu memperlihatkan apa yang berhasil ia pegang pada empunya.
Kedua sudut bibir Nalendra tertarik, pandangannya kembali pada objek dedaunan tadi. Ia sedang tidak ingin membahas tentang keadaannya yang semakin buruk setelah kemo. Bahkan ia malah mengabaikan kehadiran Ananta juga, tidak mengajaknya berbicara sampai suara helaan nafas terdengar lesu. Ia menoleh ketika kepala Ananta menunduk sambil mengulas senyum mirisnya.
“Kalau saja Mas Ananta juga gak duduk di kursi roda, Lendra mau dipeluk sama Mas …” suara rendahnya sedetik kemudian langsung mendapatkan respon, rungunya mendengar suara roda bergulir mendekat. Tubuhnya terasa hangat, Ananta memeluknya erat. Lantas Nalendra memejamkan kedua netranya sambil menikmati hembusan angin yang mampu menerbangkan sisa rambutnya yang sudah terlihat menipis. Tangannya mencoba membalas pelukan itu dengan cara mengusap lengan Ananta yang mengunci sedikit pergerakannya.
Nalendra terkekeh pada respon cepat Ananta yang tidak menolak, langsung mewujudkan kemauannya. Walaupun keduanya sama-sama duduk di kursi roda yang berbeda, tetap saja kenyamanan pelukan itu tak sedikit pun berkurang.
Selanjutnya, ia alihkan ingatannya pada bayangan dirinya bersama Fahri beberapa minggu yang lalu. Terbilang masih baru dan Nalendra masih ingin kejadian-kejadian indah itu dapat terulang lagi suatu saat nanti.
Nalendra menggelengkan kepala atas ajakan yang Fahri lontarkan, ia mengedarkan pandangan pada keadaan sepi di sekitar taman rumah sakit sore ini, “Nanti aja, Nalendra dari tadi pagi lemes terus. Dokter Zafran gak ngizinin Nalendra pulang. Sekarang aja bolos lagi sekolahnya …”
“Syukurnya lo bisa ngobrol bareng gw di taman sekarang …”
Dengan anggukan, Nalendra kembali menoleh pada pemuda yang duduk di kursi panjang, “Iya, jadi ada apa Bang Fahri ke sini?”
“Kepengen curhat aja.” Ramah sekali Fahri sore ini, senyumannya mengembang seraya membalas tatapan Nalendra dengan hangat.
Ketika sudah mendapat lampu hijau, Fahri pun mulai bercerita. Ia arahkan pandangannya pada awan gelap yang menggulung bergerak mengiringi matahari untuk terbenam perlahan-lahan. Kedua tangannya ia lipat di depan dada sambil menyandarkan punggung nyamannya dan kaki yang ditumpangkan ia ayun-ayunkan.
“Gw sebenernya udah beberapa kali ngelakuin tindakan bunuh diri. Cuman sayangnya nyawa masih gak mau lepas.” Kekehnya mendapat tatapan terkejut dari Nalendra. Pemuda yang duduk di atas kursi roda itu menoleh dengan mulut sedikit terbuka, menatap dirinya tak percaya.
“Mungkin Bang Fahri bakalan meninggal bukan karena bunuh diri, makanya gagal terus.”
“Iya mungkin. Kalo gw sendiri di kamar, pikiran gw emang selalu kacau. Tapi pas ngobrol sama lo dan Ananta, semua kemauan untuk mati hilang.” Tandasnya lagi-lagi dengan senyuman yang manis ia perlihatkan.
“Dulu, gw coba pake benda tajam buat bikin sakit gw kambuh, lagi-lagi Dokter Zafran berhasil buat mencegah gw mati.”
Fahri kini menggelengkan kepala tak habis pikir dengan usaha gilanya demi nyawa itu hilang.
“Pokoknya banyak banget kesalahan gw selama hidup.”
Sejenak, suara helaan nafas terdengar, Fahri mengubah posisi duduknya menjadi menghadap sepenuhnya pada Nalendra, dengan serius ia berucap, “Len, maafin gw kalo selama kita kenal, gw banyak salah.”
“Apa yang lo maknain dari hidup ini, Len?” Fahri bertanya sembari memandangi warna indah jingga diujung sana. Dengan dedaunan sore yang bergerak kesana-kemari membuat suasana semakin nyaman tak rela untuk Fahri abaikan.
“Bertahan dan berjuang …”
“Ada yang lebih dari itu, Len.”
“Apa?” dengan penasaran Nalendra bertanya, wajahnya menampakan ekspresi bingung meminta Fahri segera menjawab.
“Lo kenal Ananta?” bukanlah jawaban yang Fahri berikan melainkan melontarkan pertanyaan lain yang membuat Nalendra terkekeh ringan. Ia memperhatikan bagaimana renyahnya candaan Fahri sore ini, pemuda itu mendudukkan tubuh kurusnya diatas kursi roda dengan memakai penutup kepala dan baju pasien.
“Lah Mas Ananta kan sepupu Nalendra, kenapa?”
“Dia pasti bakalan bilang kalo hidup ini untuk ibadah …” ia menoleh sejenak lalu menundukan kepala memperhatikan ujung kakinya yang hanya memakai sendal.
“Dia emang kayak gitu. Emangnya salah?”
“Enggak, karena gw punya pandangan sendiri tentang hidup …” Fahri menoleh lagi. Ia akan siap memberitahu isi pikirannya tentang hal ini.
“Apa?”
“Apa hayoo … coba tebak!” dengan nada jail Fahri menoel dagu Nalendra yang langsung dibalas sinis oleh yang lebih tinggi.
“Udahlah Bang Botak! Nalendra lagi males tebak-tebakan, apaan?” tepisnya pada tangan Fahri yang masih nakal.
“Bersyukur …”
“Emangnya apa yang udah Bang Fahri syukurin?” wajahnya terlihat serius sambil menatap Fahri dari samping.
“Kehilangan rambut haha …”
“Serius!” gertaknya, Nalendra sudah terlihat kehilangan kesabaran.
“Hee … Gw bersyukur untuk semua nafas yang sudah diberi dan yang masih tersisa.” terpaksa tawa Fahri terhenti, lantas ia berucap demikian seraya membalas pandangan Nalendra.
“Bang Fahri dikasih resep obat apa sama Dokter Zafran? Tumben waras …”
“Gak tau, Len … Gw cuman mikir aja. Sahabat gw yang udah pergi aja dulu pas masih hidup dia bisa menyikapi semua hal pro-kontra di hidupnya dengan baik, masa gw yang seumuran sama dia masih gak mau membuka mata buat melihat dunia dengan sisi positif.”
Fahri tidak tahu saja, sebanyak rentetan kata yang ia keluarkan kini memicu senyuman Nalendra semakin berkembang. Dengan cepat Nalendra berhamburan menubrukan diri untuk memeluk Fahri, ia menatap sayang wajah yang beralih menatapnya heran.
“Len … Ngapain ih peluk-peluk!” komplain Fahri yang tidak mendapat respon baik dari Nalendra, bahkan bocah SMA itu kini semakin mempererat pelukan sambil menyembunyikan wajahnya pada tubuh ringkih Fahri. Tiang infus milik Fahri pun sempat goyah karenanya.
“Lendra sayang Bang Fahri yang kayak gini. Kita berjuang bareng ya, Bang!” harapan besar telah Nalendra percayakan sepenuhnya pada Fahri. Ia benar-benar serius ingin berjuang bersama pemuda botak yang sedang dipeluknya.
***
T B C
Beberapa part lagi nyusul ...
2000 kata 😂
Lihat geh, aku sudah membesarkan Jisung sampai rambutnya memutihhhh ... 😂😂😂😂