Sekarang di meja ini bertambah satu orang yaitu Isya.
"Emang Al-Quran dari siapa sih, sampai nangis kayak gini" Isya mengusap pipi adiknya yang masih sedikit lembab karena air mata.
'Harusnya gua yang di posisi itu' batin Alvin
"Itu hadiah dari habib Umar bin Hafidz yang jenguk aku waktu aku selesai operasi lagi, karena sendinya geser. Kebetulan Habib lagi ngisi pengajian di masjid di dekat rumah Abi.
Habib juga di jamunya di rumah Abi, Uma bilang sih, Abi minta di do'ain biar aku cepet sembuh, terus aku dikasih Al-Quran sama tasbih,
Emang sih ini sama aja kayak tasbih pada umumnya, tapi aku sayang sama tasbih ini. Niat awalnya aku mau kasih ke Hikmal sekaligus kitab sama buku-buku aku dulu. Eh malah gak kebawa"
Kinara menunduk lesu, setelah menyerahkan tasbih yang sedari tadi ia bawa pada Hikmal
Alvin pov
"Rara tante boleh nanya gak?" Mama kayaknya makin penasaran sama Rara, gue juga sih, tapi gue tahan aja.
"Kamu beneran gak boleh bawa yang berat-berat?"
Rara narik nafasnya terus senyum ke mama, MasyaAllah Rara, kamu beneran berubah.
"Gak dijawab juga gak papa Ra"
"Gak ko tante, ini bukan rahasia lagi, di sana juga udah banyak yang tau. Di buku juga ada riwayat hidup aku, sama beberapa potongan cerita aku selama di Yaman" Gue penasaran sama buku Rara.
"Setelah sadar dari koma dan kemoterapi dibantu Uma, kan ingatan aku sedikit terganggu ya, aku cuman ingat, nama aku, aku asal mana. Siapa keluarga aku udah itu aja, sisanya aku lupa. Tapi Abi sama Uma sayang banget sama aku.
Beliau selalu memberikan Ina apapun yang Ina butuhkan, belum lagi kakak-kakak di sana juga baik banget sama Ina. Waktu Ina udah sembuh dan juga ingatan Ina udah balik lagi. Ina dilarang kerja berat-berat, Uma bahkan nyuruh aku, buat bantu adik-adik di sana buat hafalan aja"
"Kamu jadi guru"
"Aku gak pantes jadi guru, ilmu aku masih sedikit, malu"
"Masa sih, aku gak percaya sama teteh"
"Jangan, musyrik percaya sama aku tuh"
"Bisa aja kamu"
"Iya, satu tahun berlalu, aku mulai kembali normal dan udah kayak dulu lagi. Jadi dengan nakalnya, aku malah ikut latihan berkuda sekaligus memanah"
"Kamu bisa berkuda?"
"Teteh udah jago memanah? Terus tangan sama kakinya?"
"Aku berhasil selama seminggu dan semuanya lancar aja, tapi waktu mau nunjukin sama Abi juga Uma, kuda yang aku naiki gak tau kenapa gak bisa di kendalikan, aku jatuh di rawat lagi deh"
"Bandel! Mulai sekarang kamu jangan ngelakuin apapun"
"Masa aku gak boleh makan" Astaghfirullah Rara, ya Allah sesulit ini menahan godaan dari hamba-Mu yang cantik ini.
"Ya gak gitu juga, oh iya ada pertanyaan yang pengen banget kakak tanya sama kamu" Kak Isya malah lirik gue bentar
"Apa? Jodoh ya? Aku udah tau kemana jalan pikiran kakak"
"Iya"
"Kalau boleh sih aku maunya sama Habib Ali Al-Jufri, ganteng banget MasyaAllah, akhlaknya juga kak" Gue cuman bisa nunduk gak bisa apa-apa. Ya pastilah, Rara maunya punya imam yang baik buat dirinya
"Tapi ya jangan terlalu ngehalu juga kan? Aku juga sadar diri kak"
"Kalau sama anak tante aja gimana" Mama apaan sih. Gue cuman pura-pura gak dengar aja.
"Kak Alvin kayaknya gak suka sama aku, lagian mana ada Handsome businessman in turban sama Asia's most handsome businessman. Mau sama aku yang kayak gini? Aku gak percaya diri" Ya Allah Rara, kamu sempurna di mataku.
"Kamu sempurna sayang"
"Astaghfirullah tan, aku banyak cacatnya, lagian aku gak semampu dulu lagi"
"Alvin, ngomong dong! Ini Rara loh, yang selama ini kamu tungguin sampe kabur segala! Masa udah ada di depan mata kamunya diem aja gitu"
Astaghfirullah ma, untungnya mama sendiri. Kalau bukan juga ya jangan ginilah, malu ini.
"Kalian lanjut aja ngobrol nya, saya mau mengantar tamu yang udah mau pulang, khusus keluarga om tante harus nginep disini, biar kita sahur bareng nanti"
"Iya, terimakasih"
"Jadi serius kakak nunggu aku?"
Gak gue jawab. Gue masih pura-pura fokus sama handphone.
"Yasudah, gak papa. Aku juga gak berharap lebih ko kak, aku bisa pulang ke Indonesia aja udah seneng banget, makasih kalian udah sehat semuanya, nanti kalau Abi sama Uma kesini, aku kenalin sama semuanya"
Bukan gitu Ra, aku rindu kamu, selalu rindu sama kamu Kinara.
"Aku pamit dulu ya kak, Hikmal kaki teteh keram, kamu bisa gak minta bang Chandra gendong kakak"
Gue kaget denger Rara bisikin gitu sama Hikmal.
"Ke rumah sakit aja ya, aku takut kakak kenapa-napa"
"Udah biasa, kakak cuman kecapean aja. Tolong ya"
"Sama aku aja"
"Jangan ah, bang Chandra aja. Tolong"
"Abang Chandra! Tolongin sini" Hikmal malah teriak jadi semuanya mendekat. Rara malah ketawa gitu.
"Ada apa dek"
"Tolongin teteh Ina"
"Kenapa dek?" Bang Chandra berlutut di depan Rara. Harusnya itu temat gue, tapi belum waktunya.
"Kaki aku cuman keram aja, mau di gendong ke kamar ya, aku udah pesan kamar lantai 12"
"Gak, kita di kamar presidential lantai teratas, ada 3 kamar suite" Tolak Dewa cepat
"Sakit gak?"
"Dikit" Rara masih tersenyum
"Ina kenapa Ina?" Kak Isya khawatir banget, gue juga khawatir. Tapi gue tahan sekuat tenaga.
"Kakak tenang ya, Ina gak papa ko, cuman cape aja, kak Ina boleh pinjem baju kakak gak? Semua koper aku di hotel"
"Hotel mana? Biar abang ambil" Bang Dewa ngusap kepala Rara lembut.
Mata Rara mulai merah, dia kayaknya nahan nangis.
"Maaf ya" Tuhkan gue bilang juga apa! Rara nangis sambil nunduk.
"Kamu kenapa nangis? Sakit banget ya?"
"Aku ngerepotin kalian" Ya Allah.
Bang Dewa menahan kak Isya supaya gak nangis.
"Kamu itu, ade kesayangan abang. Jangan berfikir gitu ya. Kamu tanggung jawab abang sama semuanya! Jangan nangis gini. Nanti adik sama kakak kamu ikutan nangis lagi"
Rara buru-buru hapus air matanya, terus kembali tersenyum seperti tak merasakan apapun. "Gendong ya"
Tuhan, jadikan dia jodohku dunia maupun di akhirat.
*
Intermezo!!!
Disini gue panggil Kinara, Rara aja ya! Soalnya kepanjangan
Author pov
Setelah Rara tertidur di kamarnya, Isya dan juga Dara yang menemani Rara tidur.
Dan di luar para pria dan juga orang tua masih berkumpul.
"Gimana adek bang?" Tanya Kusuma appanya Chandra.
"Dia udah minum obat sama pake selimut tambahan juga"
"Pa, kayaknya adek punya penyakit lain deh, soalnya tadi aku liat ada botol pereda nyeri"
"Jangan becanda Sadewa! Itu ade kamu"
"Demi Tuhan ma. Aku gak salah liat, aku juga tau itu obat apa"
"Besok aja kita tanya Rara"
"Aku takut teteh kenapa-napa bang"
"Tenang oke, Ina pasti sembuh"
Sedangkan Alvin yang sedari tadi menyimak, hatinya semakin gelisah. Hingga dia meminta berbicara dengan Chandra, Dewa, dan juga Kusuma, secara pribadi.
"Ada apa Vin? Kayaknya pembahasannya serius banget ya"
"Saya ingin meminta ijin sama walinya Rara, saya ingin meminang Rara"
Ketiga pria yang sudah berkeluarga di hadapan Alvin terdiam sesaat.
"Appa gak bisa nolak ataupun nerima, ini semua hak Inara"
"Abang juga" Chandra menimpali. Karena ia tak sedekat itu juga dengan Alvin
"Kalau Abang ni yah. Setuju-setuju aja, kalau emang kamu bisa jaga Rara. Tapi emang kamu menerima Rara apa adanya Vin?"
"Aku nunggu Rara delapan tahun lebih bang, apa itu semua belum cukup"
"Bukan masalah menunggu atau apanya. Apa kamu siap menikahi Rara yang sekarang? Dia udah cerita kan, dia bukan Rara yang dulu"
"Nah iya betul"
"InsyaAllah siap bang, gimanapun Rara, mau bagaimanapun itu, Rara masih Rara yang sama"
"Udah, kalian ini, anak orang di isengin gitu. Dengerin appa aja, kalau kamu serius sama keponakan saya, saya akan mencoba percayakan Rara sama kamu.
Ingat, kamu bukan orang biasa seperti saya, kamu adalah pemimpin sebuah perusahaan besar, kamu juga menjadi sorotan publik, kamu harus bisa memastikan Rara aman! Bagaimanapun itu"
"Saya akan berusaha semaksimal mungkin, bahkan kalau perlu,saya rela mengorbankan nyawa saya sendiri"
"Wih calon bucin baru ini, ternyata dua ade gue bisa taklukin dua pengusaha sukses, lumayan lah bisa numpang tenar" Candaan Chandra mencairkan suasana. Bahkan Alvin sudah kembali tenang seperti biasanya
Kusuma masuk ke dalam setelah berbincang sedikit lebih lama, tapi ketiganya malam ini tak tidur hingga waktu sahur tiba.
Jam 2 dini hari Rara sudah terbangun duluan di antara kakak dan sahabatnya.
Tapi saat Rara turun dari ranjang Iris ikut terbangun disusul Dara.
"Kamu mau kemana dek?"
"Mau tahajud dulu kak"
"Kamar mandinya ada di luar, biar kita yang temenin"
"Iya, makasih"
Saat keluar kamar, Rara melihat ada kedua abangnya yang sedangkan mengobrol bersama Alvin di sofa.
"Kalian mau kemana?" Tanya Dewa saat melihat ketiganya keluar,
Iris mengenakan baju tidur panjang dengan ditambah jilbab instannya, Dara memakai baju tidur panjang, tetapi tak memakai jilbab.
Sedangkan Rara dia memakai gamis polos milik kakaknya, dan tentunya menjuntai ke lantai dengan jilbab instan yang berukuran jumbo.
"Rara mau wudhu"
"Bisa jalan?" Tanya Chandra
"Aku gak lumpuh abang, aku juga sebenarnya bisa sendiri, tapi aku kan gak tau dimana"
Rara kembali berjalan melewati ketiganya, dengan sesekali tertawa pelan.
"Gue juga mau tahajud dulu bang, biar doa gue sama Rara ketemu, siapa tau langsung disatuin"
"Bisa aja lu"
Alvin mengambil wudhu dan kembali ke kamar yang ia tempati.
Setelah sholat dan berdoa, Isya keluar dan melihat Rara yang sedang membaca Al-Quran berdua dengan ketiga keponakannya. Duduk di kursi tengah sebelah kiri ada.
"Lagi baca apa?"
"Belajar tafsir sama kakak ma, suaranya kakak Rara enak didenger" Jawab Ryan
"Aku mau belajar sama kakak aja" Ucap Rasyid
"Aku juga, boleh ya ma" Tambah Rasya
"Tanya sama kakaknya" Isya menatap adiknya sayang
"Kakak" Panggil ketiganya bersamaan
"Boleh, tapi kakak gak bisa ngajarin kalian buat selamanya" Rara tersenyum manis menjawab pertanyaan ketiganya
"Yah ko gitu" Keluh mereka bersamaan
"Kakak kan gak selamanya sama kalian, kakak juga nanti harus tinggal jauh dari kalian"
"Kakak mau kemana?"
"Ke rumah"
"Yaudah rumah papa aja"
"Ada apa sih anak-anak papa pada ribut-ribut gini"
"Nanti kakak Ina tinggalnya sama kita kan pa"
"Kayaknya kakak Rara gak mau deh"
"Ko gitu pa, terus kakak Ina tinggalnya dimana?"
"Gak akan jauh ko. Percaya deh sama papa"
"Gini aja ya, kakak bakalan ngasih kalian tugas setiap minggunya. Kalian akan setoran hafalan sama kakak seminggu sekali gimana?"
"Asik"
"Iya buat bekal kalian aja. Inget ya kalian! Anak-anak yang didik kakak minimal harus udah hafal 5 juz Al-Quran. Gimana kalian siap?"
"Siap kakak"
"Nah anak sholeh, sekarang sahur dulu"
"Iya mama"
*
Alvin pov
Sahur kali ini sungguh berkesan, apalagi liat Rara yang lagi makan dengan lahapnya.
Dan yang paling disyukuri itu. Tempat duduk gue diseberang Rara duduk. Kita hanya dipisahkan sama meja makan aja
"Ikmal, maaf. Teteh minta tolong"
"Kenapa teh"
"Ambilin tempe gorengnya dong, piring ini habis. Maaf ya"
"Gemulnya masih sama"
"Abang, di sana gak ada tempe goreng ih"
"Iya iya, makan yang banyak ya makannya"
"Gak tau aja, kalau ada kak Abdul sama kak aish. Aku makan banyak gini bisa-bisa di serang hadis satu jilid" Gue denger Rara
Imutnya masih sama kayak dulu.
Tapi kayaknya Rara sedikit canggung waktu menggunakan sendok.
Selesai makan, Rara niatnya mau bantu angkatin piring kotor tapi langsung di marahin sama bang Chandra.
Yaiyalah gue aja gak bakalan biarin Rara cape-capean.
"Terus aku ngapain?"
"Kakak kita ngaji aja yuk, sambil nunggu Adzan subuh"
"Om Alvin juga yuk" Rara lirik gue sebentar, ya walaupun gue gak liat sih. Tapi gue rasa Rara senyum tipis waktu liat gue.
Gue ngikutin mereka berempat ke mushola. Rara wudhu nya di kamar mandi, bukannya di tempat wudhu yang disediakan.
Oke gue makin paham, Rara sangat menjaga banget auratnya. Bahkan sekilas gue liat Rara pake kaus kaki kemana-mana
Di mushola, Rara duduk jaraknya setengah meter dari kedua keponakannya kecuali Rasya. Gue sendiri duduk di dekat Rasyid. Karena memang Rasyid yang paling dekat sama gue
"Kalian udah lancarkan baca Qur'an nya?"
"Udah kak"
"Kakak mau tanya, juz 30 kalian udah hafal belum?"
"Sudah"
"Yaudah kakak mau tes satu-satu ngaji dulu. Abang Ryan buka halaman sebelas surat Al Baqarah ayat 79"
Ryan mulai membaca, sesekali gue benerin mahraj yang sedikit salah. Rara cuma geleng-geleng kepala dikit, tapi masih memperhatikan
"Sekarang abang Rasyid buka halaman 8 surat Al Baqarah ayat 54"
Dan kembali lagi. Rara masih membiarkan keponakannya membaca Al-Quran sebisa mereka, sesekali gue benerin juga.
"Yang terakhir adik Rasya, kakak mau dibacain surat Al Baqarah ayat 140"
Sama juga. Gue masih bantuin anak ketiga dari kak Isya.
"Udah kak"
Rara malah senyum ke mereka. "Emm, gimana ya"
"Kita gak bisa ya"
"Siapa bilang. Keponakan kakak itu cerdas semuanya. Tapi gini loh, kalian belum ya bukan gak bisa, kalian belum bisa ketahap hafalan. Kalian harus membenarkan dulu hukum bacaannya" Rara bijaksana sekali.
"Jadi kita gak bisa hafalas sama kakak dong" Rasya cemberut, tapi Rara malah tersenyum lebih manis
"Aisyah radhiyallahu 'anha pernah meriwayatkan bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Seorang yang lancar membaca Al Quran akan bersama para malaikat yang mulia dan senantiasa selalu taat kepada Allah, adapun yang membaca Al Quran dan terbata-bata di dalamnya dan sulit atasnya bacaan tersebut maka baginya dua pahala" (HR. Muslim)
"Kalian dapat pahalanya bisa 2x lipat loh, kalau mau bersungguh-sungguh" MasyaAllah. Tolong jadikan
"Serius kak?"
"Kakak gak akan bohong sama kalian, kalian juga jangan berbohong sama kakak ya"
"Siap kakak"
"Udah dulu ya buat sekarang, 5 menit lagi waktunya adzan loh. Siapa yang mau adzan?"
"Sekarang jadwalnya abang Ryan"
"Oke, silahkan abang" Lemah lembut sekali Rara sekarang.
"Ana uhibbukafillah Ra" Gumam gue pelan, tapi gue gak tau kalau Rara bakalan denger.
Dia malu gitu, pipinya juga merah banget.
***
Oke cutttt!
Jariku mulai pegal kawan
Sorry kalau ada typo