Dulu setiap salah satu atau kedua anaknya sakit, Jenia selalu ke rumah sakit sendiri. Pernah beberapa kali diantar Kamil, tapi lebih sering sendiri karena Adiknya harus mengurus usaha mereka. Dari mengurus administrasi, mendengar penjelasan dokter, bahkan mengambil obat juga dilakukan sendiri oleh Jenia. Biasanya kalau salah satu dari anaknya sakit, pasti yang satu lagi juga ikut sakit. Selalu ada ikatan batin antara Alula dan Aruna. Tentu saja itu merepotkan, tapi harus diakukan karena demi anak-anaknya.
Kali ini berbeda dari biasanya. Selagi menunggu Alula masuk ruang pemeriksaaan, Jenia duduk menunggu bersama Aruna. Sedangkan Gama berdiri di dekat pintu ruang CT scan. Awalnya Jenia bingung saat Gama menyuruh dokter untuk melakukan pemeriksaan lengkap pada Alula.
"Al kepalanya kebentur lantai. Aku harus pastiin dia nggak ada masalah serius di otaknya. Jatuh di kamar mandi itu bahaya banget dan akibatnya bisa fatal," ucap Gama memberi alasan.
Mendengar alasan Gama, membuat Jenia ikut setuju. Ia hanya bisa berdoa agar hasil yang didapat semua baik.
"Duduk, Mas," ucap Jenia saat melihat Gama berjalan mondar-mandir.
Gama menggeleng.
"Mas Gama nyuruh aku tenang, tapi Mas Gama nggak bisa tenang."
Gama menghela napas keras. Akhirnya ia berjalan menghampiri kursi tunggu, lalu duduk di sebelah Aruna. Melihat Aruna yang diam saja, akhirnya Gama memeluk tubuh anaknya.
Selesai pemeriksaan, Gama meminta agar anaknya dirawat di rumah sakit sampai kondisi Alula membaik. Saat Alula sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, anaknya itu sempat mual bahkan beberapa kali muntah membuat Jenia dan Gama panik. Ditambah Alula belum berhenti menangis dari rumah sampai rumah sakit.
Setelah itu Gama keluar sebentar untuk membeli makanan dan minuman. Ia juga harus membeli beberapa perlengkapan untuk Alula. Ia menyuruh Jenia agar tetap berada di kamar rawat inap, menjaga Alula dan Aruna.
"Sakit banget, ya?" tanya Aruna yang duduk di kursi samping ranjang Alula.
Alula mengangguk dengan wajah ingin menangis lagi.
Aruna menggenggam tangan Alula yang bebas dari infus. "Al bakal sembuh kan, Mi?" tanyanya menatap Maminya yang duduk di sebelahnya.
"Al pasti sembuh. Ada dokter dan perawat yang akan ngerawat dia," jawab Jenia berusaha menenangkan. Ia merangkul Aruna, mengusap-usap pundak anaknya. "Coba ceritain ke Mami, kronologi Alula jatuh," pintanya mematap Aruna. Melihat kondisi Alula yang mengeluh sakit dan sampai muntah, pasti ada hal yang ia lewatkan.
Aruna memilin jari-jarinya. "Waktu mandi aku sama Al main sabun dan shampo. Kita bikin gelembung-gelembung banyak." Diam sebentar untuk menarik napas panjang. "Sebelum jatuh yang Mami sama Papi lihat, sebenarnya Al udah sempat jatuh. Aku kira dia nggak papa. Makanya aku sama dia lanjut mainan lagi. Waktu udah selesai mandi dan udah pakai handuk, Al malah jatuh lagi. Jatuhnya lebih keras dari yang pertama."
"Jatuhnya yang pertama gimana?"
"Al jatuh sambil satu tangan nahan badannya. Dia sempat ngeluh sebentar kalo tangannya sakit, habis itu dia ketawa-ketawa."
"Jatuh yang kedua?"
"Langsung jatuh gitu aja nggak sempat nahan badannya. Aku juga mau nolong tapi kalah cepat karena dia udah keburu jatuh. Kepalanya Al ngebentur lantai keras banget, Mi."
"Udah, nggak papa." Jenia mengusap-usap punggung Aruna naik turun.
"Kepala Al nggak akan pecah kan, Mi?" tanya Aruna khawatir.
Jenia menggeleng. "Pasti Al akan baik-baik aja," ucapnya. Kalimat itu yang terus dirapalkan olehnya, meski ia belum tahu hasil pasti dari kondisi Alula. Melihat Alula yang mulai tidur, membuatnya sedikit tenang. "Kamu istirahat juga," ucapnya menatap Aruna. Ia membawa Aruna untuk berbaring di tempat tidur yang diperuntukan untuk penunggu pasien.
Jenia berjalan ke sofa dan langsung mendudukinya. Ia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Kamil, tapi tidak bisa. Akhirnya ia mengirim pesan, mengabari keadaan Alula yang sedang dirawat di rumah sakit. Selagi menunggu Gama kembali, ia malah mencari-cari akibat yang bisa terjadi jika seorang anak jatuh di kamar mandi. Bukannya membuat tenang, ia malah semakin khawatir dengan artikel yang ia baca.
Sekitar satu jam kemudian, Gama kembali dengan membawa dua tas belanja. Satu berisi cemilan ringan, tisu, air mineral dan perlengkapan lainnya. Satu tas lagi berisi makan siang untuk mereka.
"Kok lama, Mas?" tanya Jenia mengambil alih satu tas dari tangan Gama.
"Iya, nunggu makanannya antri," jawab Gama beralasan.
Selesai menata barang-barang, Jenia duduk di sebelah Gama. "Dokter spesialisnya datang agak siang."
"Iya."
"Aruna aku suruh tidur. Kayaknya dia shock banget lihat Alula jatuh kayak gitu.
Gama melarikan pandangannya ke tempat tidur penunggu pasien. Di sana ada Aruna sedang tidur dengan kedua kaki terbuka lebar. "Ternyata kayak gini rasanya cemas, tapi kita nggak bisa ngapa-ngapain. Aku berharap rasa sakit Al bisa pindah ke aku."
"Al anak yang kuat," sahut Jenia.
Gama menoleh, menatap Jenia lekat. "Pasti berat banget buat kamu ngejalanin ini sendirian. Saat si kembar sakit, kamu harus kuat untuk mereka."
Jenia tersenyum tipis. "Aku kuat karena mereka."
"Makasih Jen udah jadi Mami yang hebat buat mereka," ucap Gama dengan wajah serius.
Jenia hanya mengangguk kecil. Kemudian ia menceritakan kejadian jatuh yang dialami Alula. Ia menceritakan kembali pada Gama, apa yang sudah ia dengar dari Aruna.
"Berarti Al udah sempat jatuh, terus dia jatuh lagi?"
Jenia mengangguk.
Gama mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cuma khawatir sama kepalanya. Bagian yang paling sensitif dan paling penting di tubuh."
"Aku juga."
Gama meraih tangan Jenia untuk dipegang. Melihat tidak ada penolakan dari Jenia, akhirnya ia menggenggam tangan kecil itu. Mereka berdua seakan saling berbagi energi untuk menguatkan satu sama lain.
***
Dokter mengatakan Alula gegar otak ringan. Gejala yang mungkin terjadi adalah nyeri kepala ringan, benjolan di kepala, atau pusing dalam waktu singkat. Penyebab muntah yang terjadi pada Alula bisa jadi karena benturan keras di kepala, atau karena anak itu nangis tidak berhenti-berhenti. Selain di kepala, ternyata di tangan kanan Alula juga mengalami cidera. Karena mencoba menahan tubuhnya sebelum terjatuh pertama kali.
Setelah mendengar penjelasan dari dokter, Jenia dan Gama sedikit lega. Untuk sementara waktu Alula akan dirawat sampai kondisinya lebih baik.
"Mas Gama pulang aja. Biar aku yang nungguin mereka."
Gama menggeleng. "Aku ikut nunggu di sini juga."
"Tempat tidur buat penunggunya cuma satu, Mas."
"Kamu sama Aruma tidur di situ, biar aku tidur di sofa."
"Tap--"
"Aku juga mau tau kondisi Alula. Pokoknya aku nggak akan pulang," potong Gama tegas. "Eh, mungkin nanti malam aku bakal pulang sebentar mau ambil pakaian ganti sama laptop," ralatnya.
Jenia menghela napas lelah. Akhirnya ia tidak memaksa Gama lagi yang sangat keras kepala. Tiba-tiba ia mendengar Alula memanggil dirinya. Ia beranjak dari sofa, menghampiri Alula yang ternyata sudah bangun.
"Kenapa?"
"Haus, Mi."
Jenia membantu Alula agar bisa duduk. Kemudian ia mengambil gelas berisi air putih, mendekatkan sedotan ke bibir anaknya. "Minumnya pelan-pelan ya, Al."
Alula minum beberapa teguk, kemudian menjauhkan gelas yang dipegang Maminya. Matanya mengitari ruangan, menyadari ada Aruna yang tidur di tempat tidur di sebelahnya dan Papinya yang berdiri di ujung ranjang menatap ke arahnya.
"Masih sakit nggak kepalanya?" tanya Jenia.
"Agak nyeri dikit, tapi udah nggak sesakit tadi."
"Badannya gimana?"
"Agak sakit, Mi. Paling sakit bagian tangan kanan."
Jenia mengusap-usap lembut tangan kanan Alula.
"Mami, aku minta maaf."
Jenia menatap wajah Alula yang menundukkan kepala. "Kenapa?"
"Karena aku sama Ar main sabun sampai aku jatuh di kamar mandi."
"Nyesal, kan?"
Alula mengangkat pandangannya, kemudian ia mengangguk dengan memasang wajah memelas. "Mami marah nggak?"
"Kamu maunya Mami marah atau nggak?"
"Jangan marah. Nanti kalo marah, Mami cepat tua. Aku nggak mau wajah Mami banyak keriputnya."
Jenia tanpa sadar tersenyum mendengar ucapan Alula. "Makanya jangan bikin ulah. Kalo kamu sama Ar nggak bikin ulah macam-macam, Mami nggak akan ngomel-ngomel ke kalian."
"Iya, Mami."
"Semua khawatir sama kamu. Mami khawatir, Aruna khawatir bahkan Papi juga khawatir. Papi sampai gendong kamu ke mobil."
Alula menoleh Papinya yang sedang tersenyum menatap ke arahnya.
"Papi sayang sama kamu. Nggak mau kalo kamu kenapa-napa," sahut Gama.
"Makasih, Papi," ucap Alula nyaris berbisik.
Gama berjalan ke sisi satunya, mendekati Alula. Ia mencium puncak kepala anaknya dengan hati-hati. "Cepat sembuh, Al. Nanti kalo udah sembuh Papi ajak kamu jalan-jalan lagi."
Sekitar jam empat sore, ada Kamil datang membawa tas berisi keperluan Kakak dan kedua ponakannya. Setelah meletakkan tas, Kamil menyapa Gama, kemudian memfokuskan tatapannya kedua ponakannya yang sedang mengobrol sambil tertawa.
"Kamu beneran sakit atau nggak sih?" tanya Kamil pada Alula. "Kok kelihatannya kayak orang yang nggak sakit," lanjutnya.
"Tadi Alula nangis lho, Om," ucap Aruna mengadu. "Nangisnya keras banget nggak berhenti-berhenti," lanjutnya dengan cengiran lebar.
Alula memukul pundak Aruna pelan. "Jangan dikasih tau. Aku malu, lho."
Semua yang ada di sana sontak tertawa melihat reaksi Alula.
"Oh ya, Mbak. Aku nggak sendiri." Kamil diam, melirik Gama sekilas sebelum akhirnya kembali menatap Jenia. "Ada Mas Abi di depan, Mbak," lanjutnya.
"Kok nggak disuruh masuk?" tanya Jenia.
"Lagi terima telfon, Mbak."
Gama yang mendengar nama laki-laki lain disebut, sontak membuatnya kesal. Dadanya terasa panas, seakan ingin meledak. Ia menatap Jenia tajam, tapi perempuan itu seakan tidak menyadari dengan arti tatapannya.
"Papi, tanganku sakit," ucap Alula mengadu pelan.
Gama menunduk, menyadari kalau dirinya tanpa sengaja meremas tangan mungil Alula. "Maaf, Papi nggak sengaja."
***
Sorry for typo and thankyou for reading❤
Author Note:
Sudah double update yaaa...
Jangan lupa vote dan komen🔪
Oh ya, kayaknya besok aku nggak bisa update deh. Soalnya aku mau ngetik Extra Part Jagad Raya.
Happy holiday semuanya😊