This chapter based on Orion’s Point Of View
.
.
.
Sedari awal Orion tahu bahwa sejak pandangan pertama dirinya sudah jatuh pada pesona sosok juniornya. Memang Junior itu banyak dikagumi karena kelihaiannya.
Tapi yang lebih membuat Orion terpesona adalah senyumannya. Saat wajah yang biasa nampak datar dan irit bicara itu tersenyum hingga satu lesung pipinya terlihat.
Sore itu saat dirinya tengah menikmati jeda waktu sebelum pembelajaran tambahan, saat pertama kali melihat senyum lebar sosok itu. Entah apa yang dia bicarakan dengan temannya hingga membuat si pemuda bisa mematri senyum selebar itu.
Orion memegang dada kirinya yang tiba-tiba berdebar keras disertai wajahnya yang memerah.
****
Namanya Xavier Julient, marga yang sama dengan sosok yang menjadi tangan kanan sang ayah.
Orion memang tahu tangan kanan ayahnya itu memiliki dua putra. Arlein Julient sudah sering dia temui. Tetapi sosok yang berhasil menggaet hatinya itu.
“Astaga Orion, iya nanti ayah kenalkan.”
Omelan sang ayah perkara dia yang mendesak untuk dipertemukan dengan sosok Xavier Julient. Entah kenapa rasanya seperti terdesak untuk segera dikenalkan langsung. Memang cupu sekali dirinya tak berani bertindak langsung.
Bahkan Orion rela menjadi bahan ledekan ayah ibunya, yang penting dia bisa dikenalkan secara resmi pada sosok Xavier. Setidaknya ada kemungkinan besar mereka akan menjadi rekan yang baik kedepannya kan?
****
Tetapi semua rencana Orion harus hancur berantakan. Peristiwa itu menjadi luka yang menganga yang menghantui hidupnya.
Nalurinya sebagai Enigma berkali membuatnya tak bisa menahan diri untuk mengakhiri kehidupan. Merasa tak pantas, merasa dirinya kotor.
Sebagai kaum Werewolf yang dikenal setia, peristiwa yang dialaminya bak dosa besar yang tak patut dimaafkan.
Hidup Orion hancur berantakan, semua harapannya terasa mengabur. Katakan dia berlebihan tapi baying-bayang kejadian itu selalu menghantuinya setiap malam.
Tak peduli seberapa lama dia membersihkan diri, menggosok tubuhnya hinggga luka tetap tak menghilangkan noda dalam hidupnya.
****
Butuh waktu lama hingga dirinya bisa kembali menjadi Orion yang dulu. Setelah hancur berantakan, perlu banyak usaha untuk kembali merengkuh setiap kepingannya.
Tangannya bertaut dihadapan patung Moon Goddess, sebelum kembali lagi ke packnya setelah bertahun-tahun menghilang. Orion memutuskan menuju kuil sang dewi.
‘Tolong… siapapun mateku nanti, berikan dia kelapangan hati untuk menerima aku yang sudah hina ini.’
‘Siapapun dia, aku benar-benar memohon jangan biarkan dia menjadi seorang Alpha laki-laki. Aku hanya akan menyakitinya. Dia akan menderita bersamaku.’
Baris doa yang selalu Orion ucapkan tak luput, karena entah kenapa. Kembali ke packnya kali ini kemungkinan merubah 180 derajat kehidupannya.
****
Tatapan penuh luka itu menusuk relung hati Orion. Setiap kalimat penolakannya juga menggores luka yang sama hebatnya dalam hatinya.
Tak menyangka bahwa sosok yang selalu membayanginya selama ini, yang masih menyisakan sedikit kewarasannya adalah sosok yang akan menjadi belahan jiwanya.
Orion menatap nanar punggung yang berbalik itu. Menyentuh dada yang berdenyut nyeri. “Maaf, maafkan aku.” Gumamnya tertunduk sembari menatap tangannya yang gemetar hebat.
****
Orion berdiri di hadapan jendela ruang kerjanya. Menatap bagaimana kapten guardnya melatih para pasukan.
Menatap punggung Xavier dalam diam. Tangannya terangkat seolah menyentuh punggung sang alpha. Matanya terpejam dengan nafas terhela.
“Maaf karena harus menjauhimu. Retakku hanya akan semakin menambah luka bagimu.” Ucapnya pada kantor yang sepi.
Tangannya mengelus jendela seolah mengelus sang alpha secara nyata.
****
Kamar Orion dipenuhi suara nafas yang memburu. Bagaimana rasanya jiwanya seolah melayang terbang. Terombang-ambing bak kapal di tengah badai tanpa pelabuhan.
Bayangan kejadian bertahun-tahun lalu semakin sering datang, membuat mata yang tak bisa lelap itu semakin menunjukan lingkaran. Mengoleskan kuyu di wajah rupawannya.
Diam-diam dia kembali menemui psikiater yang menanganinya. Meminta saran apa yang harus dia lakukan. Meskipun tahu itu tak akan berguna juga bagi werewolf sepertinya.
****
Bau samar cendana memenuhi penciuman Orion saat sudah terbangun. Terakhir kali yang dia ingat adalah dirinya tiba-tiba memasuki rut dan dibawa kerumah rutnya.
Potongan kepingan-kepingan ingatan menelusuk Orion menyadari kejadian apa yang setelahnya terjadi. Membuat dirinya terkejut bukan main.
Melihat sisi sebelahnya yang kosong meniggalkan bekas dingin dari orang yang menemaninya. Tubuhnya bergetar hebat.
Bayangan kejadian rutnya dan peristiwa itu tumpang tindih. Untung sisa kewarasannya masih ada sebab bau cendana membantu mempertahankan kesadarannya.
****
Orion menghindari Xavier beberapa minggu belakangan. Katakan dia pengecut tetapi setiap kali melihat sang alpha. Tubuhnya akan gemetar.
Memori tubuhnya masih terjerat dengan kejadian bertahun lalu. Karena itu Orion takut, takut jika berdekatan dengan Xavier malah semakin melukai alphanya itu.
Jadi Orion menjauh, sebisa mungkin menghindari Xavier dari jangkauan radarnya. Berharap dengan begini tak lagi dia menambah luka di hadapan Xavier.
****
Semua usaha penghindaran Orion nyatanya sia-sia. Sebab hal yang paling dia takutkan datang juga.
“Aku tidak bisa bertanggung jawab. Lagipula masih bisa untuk dilakukan –“
Nafas Orion terkecekat begitu kata-kata keji itu hampir keluar dari mulutnya tanpa sadar. Beruntung tamparan keras dari ayahnya menyadarkan dirinya yang bak kerasukan.
Dengan berbagai cara, seberapa kuat Orion ingin berlari menghindar. Dia tetap saja tak bisa kabur dari semua ini. Berakhir dirinya membuat syarat-syarat keterlaluan untuk memenuhi hal yang sudah sepantasnya menjadi tanggung jawabnya.
Bukannya Orion tak mau peduli. Tapi berada di dekat Xavier selau kembali membawa ingatan-ingatan kelamnya. Bahkan tubuhnya selalu gemetar hebat saat berdekatan dengan sang alpha.
Nafasnya berhembus kasar, melihat Xavier meniti tangga perlahan . “Orion kau memang bajingan.” Makinya pada diri sendiri.
****
Tidak-tidak Orion harus memaksakan diri, dirinya tak bisa terus seperti ini. Dari hal kecil mungkin membiasakan diri sarapan bersama. Setidaknya dia tak lagi harus gemetar hebat berada di dekat sang alpha.
Tak lagi ada baying-bayang kejadian itu. Sebab yang didepannya adalah Xavier, bukan orang lain. Matenya, belahan jiwanya.
Tetapi Orion juga harus tahu, setiap orang juga memiliki batas lelahnya. Xavierpun begitu. Selapang apapun dadanya pasti lelah juga.
Jadi Xavier, tolong tunggu Orion perlahan. Dirinya masih tertatih, tolong bersabar sedikit lagi. Berikan sedikit lagi waktu bagi Orion untuk menyembuhkan segalanya.
****
Melepaskan dendam itu memang sulit. Dan Orion selama bertahun harus belajar itu, menerima, mengikhlaskan. Bukan untuk mereka tapi untuk dirinya sendiri.
Begitupun dengan traumanya, Orion harus belajar menghadapinya bukan lari. Jadi karena tekadnya itu disinilah Orion sekarang.
Tubuhnya mungkin bersimbah darah membuat ngeri setiap werewolf yang menatapnya terlebih mata biru menyalanya yang setiap menatap ganas sekeliling.
Selama bertahun, Orion akhirnya bisa melepas semuanya. Membalas apa yang perlu mereka terima.
****
Perlahan tapi pasti Orion mengubah sikapnya. Menghadapi Xavier tentu sulit. Bagaimana dia menahan setiap gemetar yang tersisa saat berkontak dengan sang mate.
Sang dewi tahu seberapa keras dirinya berusaha. Meskipun hal itu dilakukan tentu saja saat Xavier terlelap.
“Terlalu serakah jika aku meminta pengampunan darimu. Tetapi bisakah berikan aku kesempatan. Tolong beri aku sedikit waktu untuk menebus semuanya.” Lirihnya sembari mengelus pelan puncak kepala Xavier.
Tangannya beralih menatap perut buncit sang alpha yang berisi darah dagingnya sendiri. “Maafkan ayah, wolfie kecil. Tumbuhlah dengan baik. Jadilah pelindung bagi papamu kelak, termasuk dari ayahmu sendiri.”
“Maaf karena sempat tak menerimamu. Tapi untuk kali ini. Lahirlah dengan sehat, jangan terlalu menyulitkan papamu. Sudah cukup penderitaannya selama ini.”
Tak ada jawaban hanya tendangan-tendangan halus yang Orion rasakan.
****
Sebisa mungkin Orion selalu penuhi keinginan Xavier sekaligus menjadi penebusan dosanya. Hal kecil ini tak seberapa dibanding perjuangan Xavier.
Melihat bagaimana sulitnya mengandung, terlebih saat membawa sang buah hati kedunia. Jantungnya berdenyut nyeri setiap kali mendengar rintihan kesakitan Xavier.
Bahkan saat putra kecilnya terlahir yang pertama kali dia pastikan kondisi alphanya. Melihat bagaimana tubuh sang alpha yang meskipun lemas masih terlihat antusias menyambut sosok kecil yang selama 9 bulan ini dia perjuangkan.
****
Dymitriev Juinth Alexander De’Blue
Nama itu dipilih Orion dengan banyak pertimbangan. Dia tak bodoh untuk mengetahui segalanya tentang Xavier. Hal mudah baginya.
Jadi tanpa pikir panjang, persetan dengan tradisi penamaan di packnya. Orion merasa menyematkan nama dari keingingan mendiang ibu sang alpha akan lebih terasa sempurna. Banyak doa dan harapan dalam nama sang putra.
Melihat bagaimana sang alpha menangis haru, memandangnya penuh terima kasih. Membuatnya cukup terenyuh. Pilihannya tak salah kali ini.
Dengan kesadaran penuh Orion mengecup kening Xavier, cukup lama sembari menyematkan banyak doa untuk sang alpha.
‘Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu. Semoga hanya air mata bahagia yang keluar dari mata indah ini. Semoga tak ada lagi sakit sebab kau pantas menerima bahagia sepenuhnya.’
****
Sayangnya Orion kembali ceroboh, memang tak sepenuhnya salahnya tetapi tetap saja. Dirinya turut andil dalam kejadian penculikan Juinth.
Dihadapkan dengan tanggung jawab dan keluarga. Posisinya sebagai pemimpin pack berada di posisi gamang.
Karenanya saat Xavier pergi darinya bersama Juinth yang dilakukan hanya menyalahkan diri sendiri.
Ini karmanya, balasan dosanya pada si alpha. Rasanya tak becus sekali dirinya menjadi pemimpin pack ataupun keluarga. Dirinya tak bisa sehebat ayahnya. Seorang pengecut yang memang pantas mendapatkan ini semua.
****
“Semuanya memang harga yang harus kubayar Daniel. Ini tak seberapa mengingat perlakuanku pada Xavier.”
Lirihan Orion begitu sang kapten guard baru bertanya. Usahanya belum seberapa dan menerima penolakan keras dari Xavier.
Tak apa, Orion masih memiliki banyak waktu. Membiarkan Xavier untuk menyembuhkan lukanya lebih dahulu. Orion tak ingin memaksa.
Kali ini biarkan dirinya yang berjuang, menebus segala dosa-dosanya.
‘Moon Goddess, jika ini pembalasan setiap dosaku maka akan kuterima. Permintaanku hanya satu, tolong jaga mereka berdua.’
****
Reflek Orion berlari secepat mungkin menghadang belati beracun yang terlempar menuju Xavier dan putranya.
Menjadikan tubuhnya sebagai tameng hidup bagi keduanya. Merasakan benda tajam itu perlahan menusuk kulit menembus tubuhnya.
Kepala menunduk melihat ekspresi terkejut dan panic Xavier serta putranya yang menangis kencang. Tangannya terulur ingin mengusap wajah Xavier yang ternoda darahnya. Berusaha mengucap kata ‘Tak apa’ tetapi kekuatannya serasa dikuras.
Nafasnya tersengal seolah setiap helaan nafas menjadi nafas terakhirnya saat itu juga.
‘Dewi jika memang dengan ini semua bisa menebus dosaku. Setidaknya jika aku tiada lindungi mereka.’
Setidaknya jika dia tak ada mungkin Xavier akan hidup lebih baik. Tak ada lagi sumber kesakitannya. Setidaknya jika dia tak ada Juinth tak perlu memiliki sosok ayah pengecut sepertinya.
Mereka berdua dapat terus hidup dengan lebih baik meskipun tanpanya.
****
Tetapi Moon Goddess masih memberikan kesempatan padanya. Orion cukup terkejut saat mendapati Xavier terisak sembari memeluknya erat.
“Jangan menangis, Xavier. Aku disini. Aku tidak akan kemana-mana.” Lirihnya berusaha menenangkan.
Jelas sekali merasakan ketakutan sang alpha di dekapannya. Merasakan seberapa tertekannya Xavier, merasakan bagaimana putus asanya sang belahan jiwa.
‘Jangan menangis, tangisanmu juga membuat luka bagiku. Tak hanya kau yang takut kehilangan. Aku lebih takut meninggalkan kalian berdua.’
****
Tak ada kisah yang berjalan mulus. Termasuk kisah Orion. Semuanya penuh liku. Penuh luka dan air mata. Tetapi tak apa sebab ada pelangi yang menunggunya di ujung sana.
Orion belajar bagaimana ketulusan, kelapangan dan menerima. Tak mudah memang, tetapi dia bisa melewati semuanya. Melawan traumanya dan menjemput bahagia.
Dirinya berbuat salah, itu hal wajar. Bukan berarti tak ada kesempatan. Berani memperbaiki semuanya, berani bertanggung jawab pada setiap kesalahannya.
Kedepannya mungkin juga tak akan mudah. Tetapi selagi ada Xavier disampingnya. Orion yakin tak ada hal yang tak mungkin.
.
.
.
‘Teruntuk Xavier, Lunaku
Maaf jika bertemu denganku hanya menjadi luka
Maaf karena membawa badai yang tak sirna turut bersamamu
Lunaku, belahan jiwaku
Aku mencintaimu, tapi mungkin cintaku juga membawa duri yang mengikis
Aku mencintaimu, tapi rengkuhanku mungkin membuat luka karena retak yang kuterima
Jika ada kehidupan selanjutnya
Biar kau menjadi tak tahu malu untuk terus bersamamu
Tak apa menjadi ngengat jikalau nanti kau adalah api yang membakarku
Tapi yang kuharap nanti kita bisa bertemu dengan versi yang lebih indah
Mari mencintai tanpa luka
Mari bahagia tanpa duka’ - Orion De’ Blue –
.
.
.
Dipenghujung tahun ini mari berpisah dengan Orion dan Xavier. Mereka udah bahagia, jadi kalian juga harus bahagia ya.
Terima kasih sudah setia membaca dan menunggu saya yang tidak tentu ini. Setelah hampir 1 tahun cerita ini. Kisah mereka resmi berakhir disini.
Maaf yaa jika banyak typo bertebaran. See you di cerita saya yang lain.