¶¶ÒõÉçÇø

Seduce The Goodboy

By nadeaniya_

138K 14.4K 623

Ashana Pooja Sanika tidak menyangka akan mendapat tawaran pernikahan dari seorang Nola Seraphina. Sosok wanit... More

Prologue
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 15 b
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24

Chapter 6

5.9K 599 12
By nadeaniya_

Nika terbangun saat merasa kedinginan tak peduli setebal apa selimut yang dikenakan. Tinggal di perkebunan memang lebih sejuk meski tanpa pendingin udara. Mata Nika lantas terbuka, di sampingnya Jai sudah tidak ada pasti telah beraktivitas di luar sana.

Namun, sesaat ingatan penting terlintas di benaknya. Nika langsung menepuk keningnya. Bisa-bisanya ia merasa santai di saat kedua mertuanya sebentar lagi tiba.

Keresahan Nika teralihkan kala mendengar derit pintu terbuka. Jai muncul sambil memandang teduh ke arahnya. Pria itu berjalan membawa segelas air hangat.

"Jam berapa sekarang?" tanya Nika menerima uluran gelas dari Jai.

"Masih terlalu pagi kalau kamu berniat mandi."

Nika mendesah lega saat air hangat tersebut telah membasahi kerongkongannya.

"Kita suguhin apa ya buat orangtua kamu?" Resah Nika bergerak mengembalikan gelas kosong dan langsung diterima Jai.

"Nggak perlu pusing. Gimana kaki kamu?" Pandangan Jai beralih ke betis Nika, menyibak selimut guna memeriksa.

"Udah nggak sesakit kemarin. Tapi kakiku jadi jelek, gosong," cebiknya sedih.

Mata tajam Jai memperhatikan secara lekat area luka yang telah berubah warna. Bengkaknya sudah mengempis meninggalkan sisa warna hitam keunguan.

"Nggak apa-apa, nanti bisa pudar," Jai berujar menenangkan, lagipula banyak krim obat untuk menghilangkan bekas luka, pasti nanti kulit kaki istrinya kembali bersih tanpa cela. Tinggal ia hubungi saja sang ibu mumpung masih di kota.

"Kamu istirahat aja dulu di sini."

Nika menggeleng menolak. "Jangan ih, aku pengen masak, sekalian belajar jalan juga. Biar nggak manja nih kaki."

Jai yang masih duduk di tepi ranjang mengulas senyum tipis. "Hari ini libur dulu."

"Lho ya jangan dong. Orangtua kamu mau datang masa iya kita nggak masakin apa-apa. Malu ih, nggak menghargai kesannya," potong Nika tak setuju. Bisa-bisa ia dicap menantu tak becus lebih lagi mulut tajam Jovi.

Jai berdiri tak mengindahkan. "Aku siapin air mandi hangat buat kamu." Sebelum memutuskan keluar, terlebih dahulu ia mengusap kepala sang istri. "Sekalian buat sarapan."

Tahu diri ia belum leluasa berjalan, tidak ada salahnya menerima perhatian. "Ya udah terserah kamu."

Melihat Nika tak lagi protes, Jai mengangguk lalu berbalik melangkah keluar, menyisakan Nika mengulum senyum kesenangan. Indahnya hidup pernikahan jika tepat dalam memilih pasangan. Alhamdulillah batinnya mengucap syukur.

****

Pukul sepuluh lebih mobil yang dikendarai Malik tiba di depan pintu pagar rumah kayu milik putranya. Meski tadi sedikit terhambat karena jalanan tak beraspal, mereka selalu terkesima saat melihat hunian anak sulungnya.

"Sebagian jagung udah dipanen kayaknya, Mas." Nola yang keluar mobil sambil menggendong cucunya terlihat gembira. Di sebelahnya Jovi sibuk menenangkan putranya yang menangis ingin digendong seperti adiknya.

Malik mengangguk setuju, sejauh mata memandang kebun milik Jai jelas memanjakan penglihatan.

"Kok Jai belum keluar," decak seorang perempuan berambut merah menyala. Rambut sebahu yang dicat baru seminggu lamanya, terlihat nyentrik sebab, perpaduan wajah Malik ketika muda.

"Sabar. Nika lagi kena musibah, mungkin dia masih sibuk," ujar Nola terdengar santai.

Mendengar penuturan sang ibu, Jovi berdecak. Selalu kebiasaan, saudara kembarnya sering menyebalkan.

"Tuh, udah keluar," girang Nola saat melihat wujud putranya menuruni anak tangga.

"Lagian pagar begini pakai dikasih aliran listrik segala."

"Demi keamanan, Jov. Kakakmu itu bukan tinggal di perumahan, pasti banyak binatang berkeliaran."

Pembelaan sang ibu jelas terdengar bermutu.

Menunggu hampir dua menit lamanya, Malik tersenyum bangga menatap sang putra. Anak lelaki yang menuruni sifat istrinya.

"Mama nggak ganggu kamu kan Jai?" Nola tersenyum menggoda ketika pagar telah terbuka, Jai berjalan mendekati mobil milik ayahnya. Seperti biasa mengeluarkan barang-barang dari bagasi.

"Lempeng mulu tuh muka," cibir Jovi saat sang kakak hanya menampilkan senyum tipisnya.

"Masuk aja. Nika udah nunggu."

Jai yang meminta justru Nola yang berbahagia. Ah, putranya yang selalu tenang serta pengertian.

Setibanya di dalam rumah, ternyata Nika sudah duduk di ruang tamu. Nola yang paling dulu menghampiri, perempuan yang masih tampak muda itu tersenyum sewaktu menantunya mencium tangannya.

"Maaf, nggak bisa sambut Mama dari depan," ringis Nika.

"Santai, Nika. Oh iya, ini ada krim penghilang bekas luka, Jai sendiri lho yang pesan ke Mama."

Mata Nika tampak membola. "Serius, Ma?"

Perempuan bertubuh tinggi itu mengangguk. "Anak Mama meski kelihatan lempeng begitu dia paling cekatan, pengertian."

Mendengar fakta itu, Nika sih setuju. Memang kenyataannya begitu.

"Jovi sama anak-anak mana?" tanya Nika penasaran, dengar sih suara riang tetapi tidak muncul juga di hadapan.

"Nemenin Dio sama Dea lihat Noah tuh di kandang."

Nika manggut-manggut, sedetik kemudian fokusnya teralihkan akan kedatangan Jai yang sedang memanggul dua karung beras 20 kg.

"Beras yang kemarin Mama bawa lho masih ada," kata Nika terheran-heran, ya betul mertuanya punya usaha gudang, tapi dia tidak menyangka akan sebanyak ini yang di bawakan.

"Buat stok. Mama juga ada bawa daging sama sayur. Bentar masih di bawah kayaknya." Nola lantas hilir mudik membantu Malik mengangkut kardus. Begitu semua barang telah dibawa masuk, Nola duduk bersila di lantai membuka semua kotak yang berisikan bahan makanan.

"Nih, ubi kesukaan Jai. Dia itu paling suka makanan rebusan."

"Iya sih, tadi Jai juga ada rebus jagung. Nanti kalau Mama mau nyicip ke meja belakang aja ya, Ma."

Nola terlihat mengangguk.

Selama sibuk membuka oleh-oleh. Suara langkah kaki berlarian akhirnya terdengar, sepertinya dua anak Jovi telah selesai melihat kuda. Dan kini anak itu sibuk berguling-guling di karpet yang terbentang luas bersama sang opa. Di usia Malik yang ke 63 masih terlihat bugar meski rambutnya telah memutih semua.

"Gimana rasanya ditendang kuda?" Ejek Jovi tersenyum geli begitu duduk di kursi berhadapan langsung dengan Nika.

"Yah, lumayan bikin meriang. Tapi, untungnya Jai nggak keberatan merawat aku," balas Nika tersenyum.

Mendapat jawaban di luar perkiraan, Jovi berdecak pelan. Sedikit iri, Nika bisa 24 jam bersama kakaknya sementara dirinya sangat sulit memiliki waktu berdua dengan suaminya.

Beberapa saat kemudian, menu makan siang telah terhidang. Bukan Nika ataupun sang mertua yang memasak, beberapa makanan seperti rawon, sambal goreng kentang tempe kering, serta ayam bakar madu semua oleh-oleh yang dibawa Nola. Bahkan perempuan paruh baya itu juga tidak ketinggalan membawa dua jenis martabak serta beberapa toples kue kering hasil usaha barunya.

"Maunya sih nginap, tapi besok ada acara khitanan anak Salma. Kalau nggak datang bisa-bisa Eyang Gayatri ngambek."

Denting sendok beradu piring mengiringi suara Nola yang tengah bercerita. Jovi sendiri masih berusaha menyuapi Dio dan Dea yang sibuk berlarian.

"Seingatku anak Tante Salma cuma satu kan, Ma?"

"Ya iya, ini yang baru Mama omongin. Anak semata wayang."

Nika mengangguk-angguk, Tante Salma dan Nesya jelas lebih manusiawi ketimbang tante Davina. Ini saja, Nika segan ingin membahas perihal kelakuan aneh Paras beserta ibunya. Tapi, kalau tidak dibicarakan takut jadi bumerang. Mungkin nanti ketika suaminya pergi bersama ayah mertuanya ke kebun memanen jagung.

Maka usai mengisi perut, dan tak ingin pulang kesorean, Jai dan sang ayah bersiap memanem jagung, sementara Jovi tengah menidurkan anak-anaknya. Kini tinggal Nika bersama Nola duduk di kursi teras mengawasi pergerakan para pekerja memanem buah jagung di sana.

Ditemani sekotak martabak manis, Nika bercerita penuh hati-hati.

"Awalnya sih aku malas buka pintu pagar Ma. Tapi berhubung aku pas lagi di teras mana mungkin aku nggak langsung samperin tante Davina. Karena aku tahu niat mereka kurang bagus, aku nggak bolehin mereka masuk."

Nola menghela napas. "Masa kecil Paras itu sangat disayangkan. Mbak Davina mana mau merawat sendirian, ujung-ujungnya ya Paras ditinggal sama pengasuhnya. Dulu Mama yang nggak tega, sering kirim sopir buat jemput Paras. Sekarang nasi udah menjadi bubur, terpenting Jai udah nikah sama kamu nggak lagi tinggal berdekatan sama anak itu."

Sejujurnya Nika kasian mendengar itu. Dia yang lahir dari pernikahan sah meski berakhir orangtuanya bercerai tetap saja merasa sesak bukan kepalang. Apalagi Paras yang terlahir dari istri kedua, nggak pernah di kenalkan ke media bagaikan anak tak diinginkan di keluarga besar suaminya.

"Udah nggak perlu dipikir. Sekarang fokus aja hidup sama Jai. Anak Mama itu tanahnya banyak, insyaallah cukup menafkahi kamu sampai punya anak cucu."

"Masa iya sih, Ma?" Nika benar-benar tak percaya. Ia pikir hanya ini lahan yang dipunya.

Nola tersenyum, matanya menerawang teringat masa-masa dahulu.

"Jai itu cucu lelaki pertama, setiap Jai dan Jovi ulang tahun, kakek Teja nggak pernah absen kirim hadiah. Hadiahnya itu yang bikin mama terkejut, mertua Mama itu lebih suka transfer uang. Tahun-tahun berlalu sampai usia mereka 17 tahun. Mama kasih pilihan ke Jai, mau diapakan semua uang pemberian kakeknya. Yang nggak disangka, Jai lebih memilih membeli tanah bukan mobil ataupun barang lain seperti saudari kembarnya," jelas Nola merasa tersentuh setiap mengingat prinsip sang putra.

"Itulah kenapa Jai juga punya kuda?" tanya lagi Nika.

Nola tersenyum tipis. "Kuda baru bisa Jai miliki setelah ia punya tanah minimal 5 hektar, Nika. Ya ini tanah itu, tempat yang kalian tinggali."

Nika yang mendengar benar-benar takjub. Untuk seukuran anak muda macam Jai, bisa-bisanya tidak hidup foya-foya atau berpesta seperti pemuda di ibukota.

"Tapi yang harus kamu ingat, tinggal di sini nggak selalu menyenangkan. Kejahatan selalu ada di mana-mana. Kalian hanya tinggal berdua, yang Mama minta, kalian wajib berhati-hati dan waspada."

Yang satu ini, jelas Nika mengangguk tanpa bantahan. Keselamatan tentu wajib diutamakan. Mau sekalipun tinggal di tempat aman, jangan beri celah bagi orang-orang.

"Doakan kami terus ya, Ma."

Nola menatap lembut, sebagai orangtua mana mungkin ia tidak mendoakan keselamatan anak-anaknya. "Pasti, Nika. Pasti. Anak-anak Mama harus bahagia semua."





Continue Reading

You'll Also Like

27.1K 3.5K 23
Sabina dan Lingga sudah bertetangga sejak mereka bayi. Tapi, satu kesalahpahaman membuat Sabina memblokir semua akses komunikasi mereka. Tak lama kem...
318K 20.3K 32
Haima dan Akandra-dua insan yang sudah saling mengenal sejak kecil, menyimpan cerita yang jauh lebih dalam dari sekadar persahabatan. Akandra sudah l...
6.7K 418 33
haloowww!!! this is new story Meeting You at 3 AM ✨🌙 Di sudut kota yang sepi, pukul 3 pagi menjadi waktu pertemuan tanpa janji. Zea Avicenna, se...
224K 12.6K 47
Satu atau dua kebetulan mungkin masuk akal. Tapi kebetulan kali ini membuat Rayadia Putri terlibat PDKT sat-set setelah mewawancarai designer muda te...