Pansa baru saja keluar dari mobilnya ketika Celine muncul dari dalam rumah, menyambutnya dengan senyum lebar.
"Besok lo libur, kan? Nggak ada kegiatan?" tanya Celine santai.
Pansa menghela napas, merenggangkan bahu yang terasa pegal setelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Ia baru saja pulang kantor, tubuhnya menuntut istirahat, tapi ia sudah hafal nada bicara Celine, pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi.
"Rencananya gue mau bawa Cookie buat grooming," jawabnya, menatap Celine dengan curiga. Jika wanita itu mulai menanyakan jadwalnya, pasti ada sesuatu yang direncanakan.
Benar saja, Celine langsung tersenyum lebih lebar. "Kalau gitu setelah bawa Cookie, lo samperin Tu ke lokasi syuting, ya."
Pansa mengerutkan dahi. "Buat apa?" tanyanya malas.
"Ya buat support Tu, dong. Besok syuting perdananya buat film baru. Sebagai pacar lo harus dateng."
Pansa hampir tertawa mendengar itu. Alih-alih tertarik, yang ada ia malah makin malas. Kantor saja sudah cukup menguras energinya, dan sekarang ia diminta untuk berdiri di tengah dunia yang sama sekali asing baginya? "Terus gue di sana ngapain? Diem nontonin dia syuting? Enggak ah. Ngapain," sahutnya datar.
Celine berdecak, seakan sudah menduga respon itu. "Ya lo cukup hadir aja, biar orang-orang tau lo ngedukung penuh pacar lo di project ini."
Pansa menyandarkan tubuhnya pada mobil, matanya setengah terpejam. "Jangan-jangan ini buat pencitraan di depan media lagi," tudingnya.
"Ya itu juga salah satunya." Celine tertawa kecil, tak berusaha menyangkal. "Tapi di luar itu, lo emang harus dateng. Lo harus mulai terbiasa sama lingkungan di lokasi syuting."
Pansa membuka mulut untuk membantah, tapi sebelum sempat mengatakan apapun, Celine sudah masuk ke dalam mobilnya.
***
Pansa berdiri di depan bangunan berukuran super besar itu, merasa kecil di antara hiruk-pikuk yang ada. Matanya menyapu sekeliling, melihat kru berlalu lalang mengangkut alat dan properti, suara-suara perintah terdengar di sana-sini, semuanya bergerak cepat. Dunia ini terasa begitu asing baginya.
Ia mengeluarkan ponsel, melihat layar dengan sedikit frustrasi. Pesannya pada Celine tentang lokasi Tu masih belum mendapat balasan. Dengan ragu, Pansa akhirnya melangkah masuk. Set-set besar dengan latar berbeda memenuhi ruangan, masing-masing begitu detail hingga terlihat seperti dunia kecil tersendiri. Ia bahkan sempat melambatkan langkahnya, takjub dengan betapa nyata semua ini terlihat.
Melihat seorang yang melintas di depannya, Pansa buru-buru menghentikannya. "Permisi. Sorry, Tu ada di mana ya?" tanyanya.
Wanita itu menghentikan langkah, menatap Pansa dengan dahi berkerut, seolah mencoba mengenali wajahnya. Tapi hanya butuh beberapa detik sebelum ekspresi itu berubah menjadi senyuman.
"Oh, Kak Pansa, kan? Pacarnya Kak Tu," katanya dengan nada ramah.
Pansa sedikit ragu sebelum mengangguk. Meski sudah cukup terbiasa dengan statusnya sebagai pacar pura-pura, tetap saja setiap kali orang mengatakannya, ia merasa aneh.
"Kak Tu trailernya ada di samping," kata wanita itu, lalu mengulurkan tangan. "Aku Olivia, by the way."
Pansa sempat diam sejenak sebelum menyambut uluran tangan itu. Wanita di hadapannya terlihat begitu ramah dan percaya diri, sorot matanya cerah dan senyumnya begitu menawan.
"Pansa," jawabnya singkat, walau wanita itu sudah tau namanya.
Olivia mengangguk sebelum mulai berjalan, mengantarkan Pansa ke trailer berukuran cukup besar di samping studio utama. "Kak Tu istirahatnya di sini, kalau aku di sebelah," katanya santai.
Pansa melirik ke arah trailer Luna, menyadari sesuatu. Wanita ini mungkin juga salah satu aktor yang bermain di film ini.
Ah, sial. Pansa tak tau banyak soal dunia hiburan, apalagi nama-nama artis yang sedang naik daun. Ia berusaha mengingat apakah Celine pernah menyebut nama Olivia, tapi ingatannya kosong. Tidak ingin terlihat canggung, ia mengangguk kecil. "Makasih ya, Olivia."
Olivia tersenyum, lalu masuk ke dalam trailernya tanpa banyak basa-basi. Pansa menarik napas lega, setidaknya interaksi pertamanya di tempat ini tidak berakhir aneh.
"Pansa!"
Langkah Pansa terhenti saat suara Celine memanggilnya dari belakang. Wanita itu berjalan cepat menghampirinya dengan senyum lebar, tampak seperti seseorang yang sudah lama menunggunya.
"Gue baru aja mau telepon lo tadi. Sorry, chat lo belum sempet gue bales, ketumpuk sama pesan lain soalnya."
Pansa hanya mengangguk, menyodorkan salah satu cup kopi yang tadi ia beli dalam perjalanan. "Buat lo," katanya singkat.
"Lo emang penyelamat!" Celine meraih kopi itu dengan penuh semangat sebelum menarik napas dalam, siap mengajak Pansa masuk ke dalam trailer Tu.
Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, suara lain menyela. "Celine?"
Pansa menoleh secara refleks, melihat seorang pria berjalan mendekati mereka. Raut wajahnya tampak familiar, tapi Pansa tidak bisa mengingat di mana ia pernah melihatnya. Apakah ia juga seorang aktor? Pikirnya.
Di sisi lain, Celine menegang. Senyum di wajahnya langsung pudar, digantikan dengan ekspresi datar yang hampir dingin.
"Apa kabar?" tanya pria itu, suaranya terdengar santai, tapi ada sesuatu di baliknya yang terasa janggal.
Celine tetap berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi. Tidak ada basa-basi, tidak ada senyum seperti yang biasa ia tunjukkan pada orang lain.
"Baik," jawabnya singkat. "Lo ada keperluan apa di sini?"
Pria itu tersenyum kecil, tidak terpengaruh oleh sikap dingin Celine. "Gue ada urusan buat project bulan depan," katanya santai, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke Pansa.
Tatapan pria itu membuat Pansa tidak nyaman. Ada sesuatu dalam caranya menatap, seperti sedang mengamati, menilai, seolah mencari tau sesuatu.
Pansa mulai merasa aneh dengan situasi ini. Ia bisa merasakan ketegangan yang perlahan muncul, sesuatu yang jelas ada di antara Celine dan pria itu, tapi ia tak tau apa.
Celine akhirnya berdeham, memecah keheningan yang semakin ganjil. Dengan nada yang terdengar lebih tegas dari sebelumnya, ia berkata, "Kenalin, ini Pansa, pacarnya Tu."
Pansa semakin bingung. Ucapan Celine seperti sebuah penegasan, atau lebih tepatnya peringatan. Kepada siapa? Pria di hadapannya? Mengapa?
Pria itu mengangkat alisnya sedikit sebelum mengulurkan tangan. "James," katanya singkat.
Pansa ragu-ragu sebelum akhirnya menerima uluran tangan itu. "Pansa." Genggaman James membuatnya ingin segera menarik tangannya kembali.
"Yuk, Pansa. Tu udah nungguin lo dari tadi," suara Celine terdengar buru-buru.
Pansa belum sempat bereaksi saat Celine menarik lengannya, menjauh dari James.
"James, duluan ya," tambah Celine cepat sebelum mendorong Pansa masuk ke dalam trailer Tu dan menutup pintu di belakang mereka dengan sedikit lebih keras dari seharusnya.
Di dalam, Pansa menatap Celine dengan dahi berkerut. "Oke... yang tadi itu apa?" tanyanya, masih belum paham sepenuhnya apa yang baru saja terjadi.
Celine mengembuskan napas panjang sebelum menyesap kopinya dengan ekspresi kesal. "Nggak usah dipikirin. Dia cuma hantu masa lalu yang nggak bisa diem."
Pansa menatapnya semakin curiga. Masa lalu?
Sekarang ia semakin penasaran siapa James sebenarnya dan kenapa Celine terlihat begitu tidak nyaman bertemu dengannya.
***
Begitu Celine pergi, Pansa mengembuskan napas pelan sebelum akhirnya duduk di sofa kecil dalam trailer Tu. Matanya mengamati sekeliling. Trailer ini lebih luas dari yang ia bayangkan, tapi tetap terasa penuh dengan berbagai perlengkapan, kostum, dan tumpukan skrip di salah satu meja.
Di seberang Pansa, Tu duduk bersandar santai dengan naskah di tangannya. Sesekali ia membolak-balik halaman, membaca dengan serius, menggumamkan beberapa dialog, mengulang kalimat dengan intonasi berbeda, lalu menghela napas seperti kurang puas.
"Lo kapan mulai take sih?" tanya Pansa, terdengar tak sabar. Sudah hampir tiga puluh menit ia di sini, dan Tu masih asyik sendiri dengan skripnya.
Tu melirik sekilas sebelum kembali menatap kertasnya. "Bentar lagi paling," jawabnya santai. "Kenapa? Nggak sabar banget? Baru juga dateng lo."
Pansa mendesah, menyandarkan punggungnya ke sofa. "Bukan gitu. Gue cuma bingung, kerjaan di dunia film tuh seberapa lama sih sebenernya? Dari tadi lo cuma duduk, baca skrip, ngobrol bentar, terus nunggu doang."
Tu mendengus, akhirnya menutup skripnya dengan kasar. "Lo ngeremehin profesi gue nih," tuduhnya.
"Nggak ngeremehin, cuma penasaran," sahut Pansa.
"Ya kan lo bisa cari tau sendiri, bukannya cuma duduk di situ sambil nyinyir," balas Tu. "Banyak proses yang lo nggak liat. Kita nunggu blocking, pencahayaan, setting kamera, terus ada rehearsal juga sebelum take. Syuting tuh bukan cuma baca skrip doang, Pansa."
Pansa menaikkan satu alisnya. "Ya udah nggak usah marah, gue kan cuma nanya," sindirnya.
Tu mendengus kesal. "Lo pacar macam apa sih? Masa nggak sabar nunggu pacarnya kerja?" katanya, lalu kembali menatap skripnya.
"Pacar pura-pura," sahut Pansa ketus.
Tu mendongak, menatapnya dengan ekspresi seolah berkata serius lo? "Tapi kan di depan orang-orang lo pacar beneran," balasnya cepat.
Pansa memutar bola matanya. "Iya, di depan orang-orang. Tapi sekarang kan kita cuma berdua."
"Jadi lo nggak mau pura-pura perhatian juga?" goda Tu, menahan tawa.
Pansa menatapnya tajam. "Gue udah perhatian banget dengan nyempetin dateng ke sini, Tu. Jangan manja deh."
Tu terkekeh, menutup skripnya sebentar. "Loh, lo yang dari tadi bawel soal kenapa harus nungguin gue, sekarang malah nyalahin gue?"
"Gue cuma tanya lo kapan take? Biar gue tau kapan bisa pulang!"
Tu berpura-pura berpikir. "Hmm... mungkin satu jam lagi, mungkin dua jam... atau bisa juga lebih."
Pansa menatapnya dengan ekspresi horor. "Serius lo?!"
Tu mengedikkan bahu. "Syuting itu unpredictable, Pansa. Lo baru pertama kali dateng ke lokasi, kan? Jadi lo belum ngerti."
Pansa mendesah panjang, lalu melipat tangan di dada. "Jadi kalau gue pulang sekarang pun nggak akan ada yang sadar, kan?"
Tu menatapnya tajam. "Ya udah pulang aja sana. Paling Celine bakal sadar. Terus gue yang kena omel."
Hening sesaat, Tu kembali sibuk dengan skripnya. Melihat itu, Pansa mengangkat alis, menyeringai. "Katanya lo butuh support pacar."
Tu mendesah frustasi. "Iya, tapi lo bisa support pacar dengan diem aja di sini, nggak usah banyak protes."
Pansa terkekeh. "Mana ada pacar yang dateng ke lokasi syuting cuma buat duduk diem?"
"Ya ada. Pacar yang pengertian."
Pansa mendengus kali ini. "Pacar yang pengertian juga tau kalau pacarnya nggak butuh dia di sini dan mending pulang buat tidur."
Tu menatap malas. "Gue lupa lo anaknya pengertian banget," sindirnya.
"Terserah lo." Pansa menghela napas, menyilangkan tangan di dada. "Gue ikut ke sini tuh bukan karena pengen, oke? Celine yang maksa. Dan lo juga tau itu."
Tu tertawa kecil. "Iya, tapi tetep aja lo akhirnya dateng. Berarti lo peduli, dong?"
Pansa hanya melotot, menutup telinganya dengan kedua tangan. "Gue bakal pura-pura nggak denger itu."
Sebelum Tu sempat membalas, terdengar ketukan di pintu trailer. Seorang kru masuk, memberitau bahwa giliran Tu untuk take sudah tiba. Pansa diam, mengingat sesuatu yang tadi ia lihat di luar, James. Ia sempat ingin bertanya, tapi sebelum ia membuka mulut, Celine sudah muncul di pintu, siap menyeret Tu keluar untuk bekerja.
Tu berdiri, mengambil skripnya. "Lo ikut nonton gue take nggak?" tanyanya pada Pansa.
Pansa mengangkat bahu. "Nggak ada kerjaan lain juga, jadi yaudah lah," katanya malas.
***
Pansa dan Celine duduk tak jauh dari set tempat Tu take. Set kamar remaja yang terasa begitu nyata, dinding penuh tempelan poster idol, lampu tidur berbentuk bulan di atas nakas, tumpukan majalah remaja di meja belajar, dan bantal-bantal kecil warna-warni di atas tempat tidur. Jika bukan karena mereka sedang berada di studio, Pansa mungkin akan mengira ini benar-benar kamar seseorang.
"Action!"
Suara sutradara menggema di seluruh ruangan, menandakan dimulainya adegan. Pansa mengamati Tu yang duduk di meja belajar, membuka buku harian, lalu mulai menuliskan sesuatu dengan wajah muram.
Pansa awalnya tidak terlalu memperhatikan. Tapi kemudian, suara Tu mulai terdengar melemah, seakan tercekik emosi. Jemarinya yang menggenggam pena sedikit gemetar. Rahangnya mengeras menahan perasaan yang jelas ingin meledak. Tatapannya yang kosong berubah menjadi kelam, seolah ada sesuatu yang menyakitinya, padahal beberapa detik lalu, Tu masih bersikap biasa saja.
Lalu air matanya jatuh. Begitu saja.
Pansa menelan ludah. Itu... terlalu nyata. Seakan ia benar-benar sedang menyaksikan seseorang yang mencurahkan isi hatinya.
Dada Pansa terasa aneh, matanya terpaku pada Tu. Ini berbeda dari Tu yang ia kenal, yang selalu menyebalkan, keras kepala, dan suka mengomel. Ini adalah Tu yang hancur. Dan itu membuat Pansa tidak bisa mengalihkan pandangan.
"Bentar lagi nyamuk masuk ke mulut lo."
Pansa tersentak. Celine menoleh dengan seringai menggoda. Refleks, Pansa buru-buru menutup mulutnya yang tanpa sadar terbuka sejak tadi.
Celine tertawa kecil. "Hebat kan pacar lo."
Pansa masih terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengedikkan bahu, berusaha terlihat tidak terpengaruh. "Biasa aja."
Tapi Celine hanya terkekeh, tau betul Pansa sedang pura-pura. Karena meskipun bibirnya berkata biasa saja, sorot matanya berkata sebaliknya.
***
Saat kebetulan membuka pintu kamarnya, Pansa mendapati Celine baru saja keluar dari kamar Tu. Wanita itu barangkali terlalu lelah setelah syuting yang menguras tenaga dan emosi. Saat keluar dari mobil tadi, ia langsung masuk ke kamar tanpa banyak bicara.
"Gue kira lo udah tidur," kata Celine.
"Mau ngecek Cookie dulu."
Mereka berjalan beriringan menuruni tangga. Rumah terasa lebih senyap karena waktu sudah hampir tengah malam.
"Soal kejadian tadi siang," kata Pansa akhirnya, memulai obrolan yang sempat tertunda. "Cowok itu siapa?"
Celine menghela napas panjang, seolah ragu harus menjawab atau tidak. Pansa jadi merasa tak enak hati.
"Eh, kalau lo nggak mau cerita nggak apa-apa. Sorry, gue cuma penasaran aja," katanya buru-buru.
Celine menggeleng. "Lo emang harus tau kok dia siapa."
Mereka duduk di sofa ruang tengah, Celine bersandar, matanya menerawang sebentar sebelum akhirnya bicara. "Dia James. Mantan pacarnya Tu."
Pansa berkedip, baru ingat. Wajah laki-laki itu terasa familiar karena pernah muncul di salah satu artikel yang ia baca tentang Tu beberapa waktu lalu.
"James sama Tu pacaran dari awal karir Tu. James udah jauh lebih dulu jadi aktor daripada Tu. Hubungan mereka lumayan lama, empat tahun, putus nyambung. Tiap kali putus, penyebabnya selalu sama. James terlalu ngatur hidup Tu. Awalnya Tu nggak keberatan dengan sikap protektif James, mungkin karena James lebih tua dan, kebetulan, Tu tumbuh dengan kurangnya perhatian dari kedua orang tuanya. Makanya dia nyaman sama James." Celine berhenti sejenak, menghela napas pelan. "Tapi lama kelamaan James mulai over. Dia selalu curiga setiap kali Tu berteman sama orang baru, terutama cowok. Dia bahkan coba ngatur project apa yang boleh dan nggak boleh diambil Tu."
Pansa mendengus, mulai paham kenapa Celine terlihat begitu tak suka pada laki-laki itu.
"Dan dia masih suka muncul di hidup Tu meskipun udah tunangan," lanjut Celine. Nada suaranya semakin kesal. "Dia selalu punya cara buat deket lagi sama Tu, seakan-akan nggak peduli kalau Tu udah beneran mau move on."
Pansa mengerutkan kening. "Jadi menurut lo, keberadaan dia di lokasi syuting tadi juga sengaja?"
Celine mengangguk tegas. "Iya. Dan sialnya, bokapnya itu salah satu orang yang berpengaruh di dunia entertainment. Itu sebabnya dia selalu punya akses buat hal-hal kayak tadi."
Pansa terdiam, mencerna semua informasi itu. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, bukan hanya soal James, tapi juga bagaimana Tu menanggapi semua ini.
Celine tiba-tiba berdiri, meregangkan tubuhnya sejenak sebelum menatap Pansa dengan seringai kecil. "Makanya kalau lo lagi sama Tu dan kebetulan ketemu dia, lo langsung aja peluk Tu. Udah latihan, kan?" katanya sambil tersenyum menggoda. "Kalau perlu lo langsung aja cium Tu di depan dia, biar dia tau betapa sweet perlakuan lo ke Tu," tambahnya.
Pansa mendengus. "Kalau gitu sih gue malah dikira mesum, bukan sweet."
Keduanya tertawa kemudian. Saat Celine berjalan ke arah pintu utama, ia berhenti sejenak dan menatap Pansa lebih serius.
"Lo tau kenapa gue setuju sama Pak Bryan soal ide gila ini? Ide buat lo sama Tu pura-pura pacaran. Salah satunya ya karena ini, biar kesempatan James buat balik lagi ke Tu lebih kecil. Atau kalau bisa, hilang sama sekali."
Pansa menelan ludah, tak tau harus menjawab apa.
Celine diam sebentar, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan, lebih tulus. "Jagain Tu ya, Pansa? Gue minta ini bukan sebagai manajernya, tapi sebagai sahabatnya."
Setelah itu, Celine pamit pulang, meninggalkan Pansa yang masih terpaku di tempatnya. Permintaan itu terdengar sederhana, tapi entah kenapa terasa lebih berat daripada yang seharusnya.