❣️ ATTENTION ❣️
Alangkah baiknya sebelum membaca Voteee duluu dan follow yaa~
.
.
.
.
Langit agak mendung sore itu, dan angin berembus lembut menggoyangkan dedaunan di sepanjang jalan kecil menuju rumah.
Gadis kecil berbaju TK-Seliora-berjalan pelan sambil menggenggam tas kecil bergambar kelinci. Ia tak bicara sepatah kata pun, hanya menunduk, menendang-nendang kerikil kecil di jalan.
Ia pulang sendirian. Lagi.
Sudah biasa. Teman-temannya di sekolah lebih memilih bermain dengan anak yang lebih cerewet dan ramai. Seliora dianggap "aneh", terlalu pendiam, katanya.
Tapi dia nggak peduli. Dia suka sendiri. Lebih tenang. Lebih damai. Setidaknya begitu pikirnya.
Tiba-tiba, suara ban sepeda berderit terdengar.
"Hey! Kerjain Seliora yuk!" teriak seorang anak laki-laki yang mengayuh sepedanya dengan gaya sok jagoan. Di belakangnya, dua temannya-Dio dan Raka-mengangguk, langsung turun dari sepeda dan menghalangi jalan Seliora dari dua sisi.
Seliora berhenti. Matanya menatap mereka satu-satu, datar. Tidak takut, tapi juga tidak marah. Ia hanya menghela napas kecil.
Dari depan, muncullah anak laki-laki lain yang juga mengendarai sepeda. Wajahnya tajam, sorot matanya seperti pemimpin dari geng kecil itu.
Riven Elster.
"Woy!" katanya sambil menghentakkan rem sepedanya persis di depan kaki Seliora. "Ini jalan punya gue ya! Kamu sana, lewat jalan lain!"
Seliora diam. Matanya menyipit. Ia menggenggam tali tasnya lebih erat.
"Gamau!" jawabnya dengan suara lantang, namun tetap tenang. Sorot matanya menantang.
Riven melotot.
"Nantangin, hah?!"
Tangannya mengangkat stang sepeda sedikit, seolah bersiap meluncur maju.
Seliora memejamkan mata, menutupi wajahnya dengan kedua tangan mungilnya. Bahunya menegang, siap menerima benturan sepeda kalau benar-benar menabrak.
Namun detik berikutnya...
Riven mendadak berhenti. Dia menatap Seliora yang mematung ketakutan. Dada kecilnya naik-turun pelan. Jantungnya berdegup cepat melihat ekspresi takut yang tak bisa ditutupi dari wajah gadis kecil itu.
Ada yang aneh. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Kayak... rasa iba?
"Guys," Riven berseru pelan. "Cabut."
Dio menoleh cepat, bingung. "Hah? Lah?! Riven katanya mau malak!"
"Gak jadi. Sana balik. Nanti aku beliin es krim," jawab Riven cepat, seolah berusaha mengalihkan perhatian.
Raka dan Dio melongo, tapi akhirnya nurut.
Saat teman-temannya sudah pergi, Riven menatap Seliora yang masih menutup wajah. Dia turun dari sepeda pelan-pelan, lalu jongkok di depannya.
"Udah," katanya. "Gak apa-apa kok."
Seliora membuka matanya perlahan. Ia menatap Riven dengan wajah bingung.
"...Kamu gak jadi nabrak aku?"
Riven menggeleng. Lalu dari kantong jaket kecilnya, ia mengeluarkan... balon warna biru. Satu-satunya balon yang masih utuh dari pesta kecil sekolah tadi.
"Nih. Kamu nangis waktu balon merahmu lepas, kan?"
Seliora terdiam. Tangannya ragu-ragu menerima balon itu.
"Kok kamu tau?"
"Karena aku liat. Aku ngumpet di balik lemari waktu kamu nangis."
"Ngintip ya?" Seliora memelototkan matanya.
Riven nyengir, "Nggak kok. Cuma... ya udah. Ambil aja, jangan ngambek lagi."
Seliora akhirnya mengambil balon itu, dan-untuk pertama kalinya sejak tadi-senyumnya muncul, kecil dan malu-malu.
"...Makasih."
Riven berdiri, lalu menaiki sepedanya lagi.
"Besok aku anterin kamu pulang," katanya tiba-tiba.
"Hah?" Seliora mengerutkan dahi.
"Terserah sih, mau jalan sendiri juga gapapa. Tapi nanti aku jalan bareng. Soalnya rumah kita seberangan."
Senyum Seliora makin lebar. "O-oke!!."
Dan sejak hari itu, Riven selalu mengayuh sepedanya pelan di sebelah Seliora. Kadang mereka ngobrol, kadang diem-dieman aja, tapi mereka selalu bareng.
Namun seiring berjalannya waktu, Riven berubah.
Dan sekarang... cowok tengil yang dulu nyodorin balon biru itu... nyaris tak lagi menyapa.
~~~
Saat Pak Dono, guru matematika yang terkenal dengan seribu satu ancaman siksaan mental di kelas, berdiri dengan tatapan tajam di depan papan tulis, semua murid langsung diam seperti batu. Tapi Riven Elster? Tentu saja tidak.
"Riven Elster, mana tugas kamu?" tanya Pak Dono dengan suara seperti petir menggelegar.
"Lupa, Pak," jawab Riven, santai kayak di pantai.
"LUAPA?? LUAPA?? LUAPA MAKSUDNYA APA HAH?"
Seketika kelas bergetar oleh suara Pak Dono yang meledak seperti meriam. "KELUAR! BERDIRI DI LAPANGAN! HORMAT TIANG BENDERA SAMPAI SAYA BILANG BERHENTI!"
Tanpa banyak protes, Riven berdiri, mengangkat satu kakinya ke tiang bendera dan memberi hormat ala militer. Mukanya datar, nyaris kayak patung.
Yang lebih parah lagi? Para siswi di lantai dua mulai bersorak.
"KYA!! RIVEN KEREEEN!!"
"STAY STRONG SAYANGGG!"
"GAK APA-APA GA NGERJAIN TUGAS, YANG PENTING GANTENGGG!!"
"Eh buset, lama-lama kuping gue robek dengernya," gerutu Anira yang duduk di sebelah Seliora, menutup telinganya.
"ANYING! BISA DIEM GAK SIH?! ITU GIGI GUE AMPUN GUSTI NYERI BANGET!" teriak Reyanna dari bangku belakang, sambil memegangi pipi. "NYARI COWOK JANGAN YANG NGGAK NGERJAIN TUGAS!"
Seliora duduk santai di tengah kekacauan itu, ngemut es krim sambil melihat Riven dari balik jendela.
"Padahal dia b aja tuh," gumamnya datar.
Agetha yang duduk di sampingnya langsung berdiri, setengah berteriak, "HAH!? YAKIN LO GAK SUKA?! Kan waktu kecil deket tuh sama dia, iya kan? Iya kan?"
Seliora langsung menatap sekeliling dengan panik, "ENGGAKK!!!"
Wajahnya langsung memerah, bukan karena panas, tapi karena... ya, dia juga nggak ngerti. Malu mungkin?
Sementara itu Aaliya dan Terra tetap fokus mencorat-coret catatan pelajaran Biologi, pura-pura tuli terhadap keributan geng cewek di sebelahnya.
Di sudut ruangan, Vynn seperti biasa duduk di pojok, asik dengan game di ponselnya. Sesekali tangannya bergerak lincah, matanya tajam menatap layar.
"HAHHH.... GUE MENANGGGG!!! ASYIKKKK!!!" teriak Vynn tiba-tiba, melompat dari bangkunya.
Seliora yang dari tadi melamun ikut terlonjak, "ASYIKKKK!!!"
Padahal nggak main, tapi semangat ikut merayakan. Agetha dan Anira langsung melongo menatapnya.
Tiba-tiba, dari arah koridor, Kaelen dan gengnya lewat sambil ngobrol santai.
Namun, langkah Kaelen mendadak berhenti ketika melihat Seliora melonjak seperti anak kecil yang baru dapat permen. Dia langsung nyengir dan mencondongkan badannya ke jendela kelas.
"Hai, Mak Lampir cantik~"
Seliora langsung batuk parah, nyaris keselek es krim.
"HAHHH?!"
Anira dan Agetha langsung menoleh. "Mak... lampir?" bisik Anira sambil menahan tawa.
Kaelen nyengir makin lebar. "Iya dong. Tapi versi lucu dan imutnya."
Teman-teman Kaelen di belakang ikut cekikikan. "Sumpah Kaelen lo cari mati," bisik salah satu dari mereka.
Agetha berkedip beberapa kali, melihat Kaelen yang biasanya jutek tiba-tiba bisa ramah. "Eh... tunggu... dia kenapa sih?"
"GAK TAU! TAPI GUE DEG-DEGAN JADI PENONTON!!" bisik Anira dengan semangat kepo yang membara.
Seliora hanya bisa melotot, pipinya mulai memanas.
"Kaelen!! LO MAU GUE KIRIM KE PAK DONO GAK SIHH!!" teriaknya sambil berdiri.
Kaelen mengangkat dua tangan seolah menyerah, "Oke, oke, chill~ Jangan sampe lampirnya ngamuk~"
Dan dengan gaya sok cool-nya, dia berjalan pergi... tapi sempat melirik sekilas ke arah Seliora yang masih berdiri dengan ekspresi antara malu dan pengen lempar sendal.
.
.
.
Dari arah lorong datang sekelompok geng cewek bergaya modis-dengan gaya jalan penuh percaya diri, rambut dicatok super lurus, dan lipstik menor warna pink neon yang bisa kelihatan dari jarak satu kilo. Salah satu dari mereka mengenakan rok mini yang... sepertinya sudah tidak layak tayang sejak zaman kelas satu.
"Eh itu lipstiknya kayak yang dipake jablay gaksih," bisik Reyanna sambil nyengir, menutup mulutnya pakai tangan biar nggak terlalu kentara.
"Fix sih, ya. Mana roknya ngatung kayaknya dari kelas satu gak ganti-ganti. Mungkin dia kurang dana.." tambah Vynn, yang nggak kalah nyinyir sambil melirik tajam.
Aaliya yang mendengarnya hanya bisa menahan tawa sambil pura-pura sibuk lihat buku. Seliora juga ikut terkekeh pelan, menunduk biar nggak ketahuan.
Tapi sialnya, si Sherly-ketua geng modis itu-nangkap ekspresi mereka.
"Eh! Ngapain lo ketawa, bocah?!" bentaknya sambil melipat tangan, dagunya naik sedikit dengan gaya songong yang udah trademark-nya.
Seliora langsung kaget, matanya membesar, tapi tetap berusaha tersenyum manis. "Eh- Kak maaf... kami tadi bukan ketawain Kakak, kok... barusan Agetha celananya melorot, terus... ya gitu, Kak."
Ia tersenyum polos, seakan nggak ada dosa.
Agetha yang dari tadi diem langsung melotot ke arah Seliora, "HA???" Tapi sebelum sempat ngomel, mulutnya buru-buru ditutup oleh Anira yang refleks.
"Iya, iya Kak, bener banget. Soalnya celananya tuh gombrang banget. Baru beli kemarin, Kak. Mau dibeliin juga gak? Biar kita couple-an gitu, hihi~" Anira menimpali dengan senyum nyebelin dan suara manis yang 100% sarkas.
Sherly melirik mereka dari atas ke bawah, kemudian mendecakkan lidah.
"Halah, gak usah sok polos deh. Kalau nggak suka gaya gue, ngomong aja depan-depanan. Jangan ketawa kayak tuyul dari kejauhan."
"Tuyul sih Kak, tapi tuyul lucu... dan unyuuw~," gumam Reyanna setengah berbisik, setengah ketawa, bikin Vynn dan Aaliya hampir batuk nahan ngakak.
"APA??" bentak salah satu anak geng Sherly yang berdiri di belakangnya.
Seliora buru-buru menepuk-nepuk punggung Agetha, sok serius, "Ih, Ge... lain kali kalau celananya melorot, kasih tau dulu dong. Kan malu..."
Agetha langsung gemetaran, antara pengen ketawa dan pengen jitak Seliora di tempat. "SELIORA KAU FITNAH AKU!!!"
"Fitnah tuh biasa di sinetron, Ge... ini strategi," bisik Anira sambil masih nahan tawa.
Sherly mendelik, lalu mengibaskan rambutnya. "Udah, ah. Gue males debat sama bocah-bocah gak jelas. Yuk, girls~ Kita ke kantin. Gue laper."
Mereka pun pergi dengan langkah dramatis, seolah sedang syuting reality show murahan. Begitu para geng modis itu menjauh, semua langsung nyengir lepas.
"Gila, itu geng berasa sinetron jam 2 siang," kata Reyanna.
Semua langsung ketawa meledak, bahkan Aaliya dan Terra yang biasanya super cuek pun sampai tersenyum lebar.
~~~
Dari lapangan, Riven masih berdiri di bawah tiang bendera dengan satu kaki terangkat. Angin sore menyapu rambut depannya yang mulai berantakan, tapi matanya tak lepas dari arah kejadian tadi.
Ia menyipitkan matanya sedikit, menatap tajam ke arah Seliora-yang dengan santainya berani melawan kakak kelas paling songong sedunia. Sorotan matanya tidak seperti biasanya. Ada secuil rasa heran, sedikit kagum, dan sisanya... geli sendiri.
Dalam hatinya, ia menggumam pelan, "Bocah itu... berani juga ternyata."
Wajahnya tetap datar, seperti tak terjadi apa-apa. Tapi ujung bibirnya bergerak, naik sedikit, nyaris tak terlihat. Senyum tipis yang hanya muncul dalam momen langka-dan cuma saat satu orang yang berhasil bikin ekspresi itu muncul lagi setelah sekian lama: Seliora.
Ia mengalihkan pandangan pelan, kembali menatap tiang bendera, seakan baru saja melihat sesuatu yang tak seharusnya menarik... tapi entah kenapa, menarik.
Tiba-tiba suara Pak Dono meledak dari belakangnya.
"RIVEN!! MASIH NGELAMUN? HORMAT AJA BISA SALAH?! MANA SIKU KAMU TUH!!"
"Siap, Pak." jawabnya datar. Tapi dalam hati, ia lagi berdoa cepat-cepat Pak Dono capek sendiri.
~~~
Bel pulang sekolah menggema, disambut sorakan siswa-siswi yang buru-buru keluar kelas. Seliora menghela napas sambil merapikan bukunya. Seperti biasa, ia memilih pulang sendirian, berjalan santai menuju gerbang.
Namun baru beberapa langkah, seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Mak Lampir! Sama gue pulangnya, mau?" suara Kaelen terdengar santai, sembari memutar-mutar kunci motor di jarinya.
Seliora langsung berbalik dengan tatapan nyinyir, "Ih apaan sih lo! Jangan panggil gue Mak Lampir lagi ya! Gue masih gadis! Masih fresh!"
Kaelen hanya terkekeh, wajahnya penuh godaan.
"Kan kamu yang bilang pretty~ pretty lampir..." godanya sambil menyengir jahil.
Seliora mencibir dan menghentakkan kakinya pelan, "Ih apasih lo! Nyebelin banget sumpah! Gak ah, gamau! Hus hus! Pergi sana anak bandel!" serunya sambil berjalan lebih cepat.
Kaelen hanya menatap punggungnya yang menjauh, senyumnya belum hilang, malah makin lebar.
"Dasar imut kalau marah..." gumamnya pelan, menoleh ke arah motornya.
Namun dari arah parkiran, tak jauh dari tempat mereka berdiri, terlihat Tandos berdiri membelakangi motornya. Matanya menatap tajam, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat.
Ia melihat dengan jelas interaksi tadi. Kedekatan Seliora dan Kaelen, cara mereka bercanda, dan... suara tawa kecil Seliora yang selama ini jarang sekali ia dengar-terutama bukan karena dirinya.
Tandos berdecak sebal, matanya masih tertancap pada Seliora yang kini berjalan pergi tanpa menyadari ada seseorang yang mengawasinya dari kejauhan.
"Jadi... sekarang dia deket sama Kaelen?" pikirnya, dengan tatapan yang berubah menjadi lebih tajam.
~~~
Suara bentakan dan bantingan pintu terdengar hingga ke ruang tamu. Seliora menghela napas berat, melepaskan sepatunya perlahan, lalu melangkah masuk. Tapi belum sempat naik ke kamarnya, suara ibunya menggelegar lagi dari dapur.
"KALO KAMU GAK KERJA DIRA, MAU MAKAN APA MAS?! GUE CAPEK YA NAFKAHIN SEMUANYA SENDIRIAN!"
Ayah tirinya mencoba menjawab, suaranya lirih, lelah.
"Aku udah usahain, aku cari, tapi belum dapet juga, Vi-"
"USAHAIN?! USAHAIN APANYA HAH?! MAIN DI WARUNG DOANG BILANGNYA CARI KERJA?!"
Seliora menunduk dan buru-buru berjalan menuju tangga, berharap bisa lolos dari drama rumah yang sudah terlalu biasa baginya. Namun langkahnya terhenti saat suara ibunya berubah arah.
"SELIORA!" bentaknya tajam.
Gadis itu menoleh pelan, wajahnya tanpa ekspresi tapi matanya lelah.
"KAMU ITU KALO ADA ORANG LEBIH TUA, SALAM! SOPAN! JANGAN CUMA DIAM KAYAK BATU! Sama aja kayak ayah kamu-orang gak tau diri!"
Langkah Seliora berhenti total. Tangannya mengepal, tubuhnya gemetar.
"Cukup... ayah lagi, ayah lagi... kenapa sih semua salah ayah? Bukannya mama sendiri yang ninggalin dia?!" katanya lirih namun tajam.
Ibunya mendekat cepat, wajahnya merah, emosi sudah di ubun-ubun.
"KAMU BERANI NGOMONG GITU YA SAMA MAMA?! LO GAK PERNAH NGERTI GIMANA RASANYA JADI GUE! NGASIH MAKAN, BAYAR SEKOLAH, SEMUANYA SENDIRI!"
"Tapi aku juga capek, Ma..." suara Seliora nyaris tak terdengar, matanya mulai berkaca-kaca.
"Capek? KAMU? Hidup kamu cuma sekolah sama tidur! Kamu pikir itu susah?! KAMU GAK USAH KULIAH KAYAK KAKAKMU! Cari kerja! Nanti setelah lulus langsung kerja ya! Gak usah mimpi tinggi-tinggi kayak anak orang lain!"
Seperti sembilu yang ditusukkan ke hatinya, kata-kata itu menusuk tanpa ampun. Matanya yang berkaca kini pecah menjadi tangis senyap. Ia hanya mengangguk kecil, kemudian berlari naik ke kamar sebelum semuanya runtuh.
matanya mulai menggenang, Seliora berlari menaiki tangga seperti dikejar luka. Tubuhnya gemetar, tangannya buru-buru menarik kenop pintu dan BRAK!-ia membantingnya dengan sekuat tenaga, seolah menolak dunia luar masuk lebih jauh ke dalam lukanya.
Ia duduk di sudut kamar, memeluk lututnya erat-erat seakan itu satu-satunya yang bisa menahannya agar tak runtuh. Tubuhnya mengerut seperti daun layu yang kehilangan sinar. Isak tangisnya tidak bersuara, hanya dada yang naik turun cepat menahan tangis, dan bahunya yang bergetar hebat.
"Aku mau dimengerti doang, Ma..." bisiknya lirih, hampir seperti doa yang hilang tertiup angin.
Pandangannya kabur oleh air mata.
Ia tatap dinding kosong di hadapannya, seperti mencari seseorang yang bisa memeluknya-menyentuh pundaknya dan bilang "nggak apa-apa, kamu nggak sendiri."
Tapi kamar itu sunyi.
Tidak ada siapa-siapa.
Tidak ada pelukan.
Tidak ada pelipur.
Hanya suara kipas berputar pelan, dan hati yang berteriak dalam diam.
Tangannya menutup wajahnya. Hidungnya memerah.
Tangisnya pecah lagi, kali ini tanpa bisa dibendung.
"Kenapa... harus aku? Aku udah berusaha, aku gak minta apa-apa selain dimengerti... cuma itu..."
Dan saat semua tangisnya tumpah, di luar kamar, tidak ada yang mengetuk.
Tidak ada yang datang menghampiri.
Seliora menangis sendiri dalam dunia yang terlalu bising, tapi tidak pernah benar-benar mendengar hatinya.
Langit sore mulai meredup.
Warna oranye keemasan menyelinap lewat sela tirai, tapi cahaya itu tak menghangatkan. Hanya menyorot wajah Seliora yang basah, merah, dan lelah. Di matanya, tidak ada sinar-hanya kabut yang tak kunjung pergi.
"Mungkin... emang gak ada tempat buat aku di rumah ini."
Kalimat itu hanya terdengar olehnya sendiri. Tapi entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada semua bentakan yang pernah diterimanya.
Tangannya meraih ponsel dari bawah bantal. Ia buka layar... tak ada notifikasi.
Tak ada pesan menanyakan, "kamu kenapa?"
Tak ada suara, "kamu udah makan?"
Tak ada.
Ia menatap nama-nama di daftar kontaknya. Satu per satu...
Tangannya gemetar, ingin mengetik sesuatu... tapi kemudian layarnya kembali hitam. Ia urungkan.
"Kalau aku tiba-tiba hilang... bakal ada yang nyariin gak sih?"
Pertanyaan itu melayang di benaknya, menggantung di udara bersama napas sesak yang ia hembuskan perlahan.
Perutnya kosong.
Kepalanya berat.
Matanya sembab.
Namun bukan kantuk yang membuatnya rebah, melainkan pasrah.
Ia menarik selimut sampai ke dagu, membungkus dirinya seperti kokonnya sendiri, berharap esok pagi... perasaannya tidak seberat hari ini.
Pelan-pelan, matanya terpejam.
Sisa air mata mengalir ke bantal, meninggalkan noda kecil yang dingin dan sunyi.
Dan Seliora tertidur.
Bukan karena nyaman.
Tapi karena lelah.
Lelah menahan semua yang tak bisa ia ceritakan.
~~~
Beberapa tahun lalu sebelum kepergian Ayah...
Seliora baru beranjak usia 6 tahun.
Langit sore mendung. Hujan kecil turun di luar jendela rumah tua itu, menari pelan di atas genting. Seliora kecil duduk di tepi anak tangga, memeluk boneka rusanya yang warnanya sudah agak pudar. Pipinya merah, matanya sembab.
"AKU CAPEK, MAS! SELALU KAMU YANG DIPIKIRIN-KAMU DAN PEKERJAANMU!"
Suara ibunya melengking, menusuk udara.
"Aku kerja buat kalian! Buat kamu dan Seliora! Tapi kamu gak pernah puas, kamu terus marah, terus minta lebih-"
"DAN KAMU GAK PERNAH ADA! ANAK ITU LEBIH DEKAT SAMA BONEKA DARI PADA KAMU!"
"Karena kamu selalu dorong aku jauh! Selalu bilang aku kurang ini itu!"
"Karena kamu memang gak cukup!"
Braak!!
Suara benda jatuh, entah apa. Seliora terlonjak, menggigit bibirnya menahan isak. Bonekanya ia dekap makin erat.
"Kalau kamu merasa aku beban... kalau kamu gak tahan... SILAKAN PERGI! ANAK ITU TETAP SAMA AKU!"
Napas ayahnya terdengar berat.
"Aku gak pengen pergi. Tapi kamu dorong aku, terus... dan terus."
Hening. Lalu pintu dibuka dengan keras.
Ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Suara tangisan ibunya terdengar dari dapur, dan suara ayahnya-suara yang biasanya hangat dan menyanyikan lagu sebelum tidur-kali ini terdengar keras. Patah. Seperti sedang memukul sesuatu dalam dirinya sendiri.
"Seliora, sini sayang..."
Ayahnya menghampiri, menunduk dan mengusap rambutnya yang sedikit acak-acakan.
Seliora menatapnya, masih belum paham. Tapi hatinya mulai merasa dingin. Ada firasat, sesuatu akan berubah.
"Kita... gak bisa tinggal bareng lagi, ya?" tanyanya polos.
Ayahnya terdiam, tersenyum kecil-senyum yang lebih seperti luka yang dipaksakan.
"Ayah harus pergi dulu. Tapi kamu anak hebat kan?" bisiknya, menahan suara agar tidak pecah.
Seliora menggigit bibirnya. Ia ingin menangis tapi tak tahu kenapa. Ia hanya... merasa kosong.
"Ayah balik lagi kan?"
"...Iya, pasti."
Tapi matanya tak meyakinkan.
Ayahnya memeluknya erat. Terlalu erat. Seolah memeluk untuk terakhir kali. Lalu mencium ubun-ubunnya dan bangkit. Seliora berlari mengejarnya sampai ke halaman. Hujan turun lebih deras. Tapi ia tak peduli. Ia terus mengejar.
"AYAH!!!" teriaknya.
Pria itu menoleh... lalu kembali melangkah cepat, masuk ke mobil dan pergi tanpa menoleh lagi.
Seliora berdiri di sana, basah kuyup.
Boneka rusanya jatuh ke tanah.
Air mata dan air hujan menyatu di pipinya.
Dan hari itu, di usia 6 tahun, sejak itu ia tau bahwa ditingalkan adalah hal yang menyakitkan.
.
.
.
-BERSAMBUNG-