Story update lama.
Happy reading teman-teman semuaa..
•π•
Semalam, aku tidur berjauhan. Biasanya kalau Alvaro mendekat, aku membiarkan. Kali ini, aku menjauh. Masih berharap Alvaro peka dengan sikapku yang nyatanya mustahil jika dia akan peka.
Setelah sarapan ala kadarnya, Alvaro berangkat. Tanpa banyak basa-basi. Mobilnya melesat cepat meninggalkan pekarangan rumah, menyisakan aku sendiri. Aku tidak ke kamar. Tetap di bawah, menunggu Bik Eti yang katanya hari ini sudah bisa bekerja.
Pukul delapan pagi, ia datang. Langsung terjun menyelesaikan tugasnya. Hanya saja ketika dia hendak membersihkan kamar, aku menolak. Membiarkan aku saja yang merapihkan. Aku tidak enak jika kamarku direcoki orang lain.
Jam sepuluh, selepas berbincang santai dengan Bik Eti, aku bergegas menuju balkon. Bingung mau ngapain lagi. Berkutik dalam diam. Melakukan aktivitas merenung setelah sekian lamanya tidak kulakukan. Entah, apa yang aku renungkan kali ini. Aku hanya rindu keluargaku.
Terlintas dalam benak bagaimana kondisi mereka. Aku menelepon Calvin. Senang sekali dia menjawabnya. Suaranya berubah. Masa pubertas. Beralih ke video call, hanya sebentar, karena bel masuk berbunyi. Mengharuskan aku mematikan telepon sebelum guru masuk ke kelasnya. Setidaknya, beberapa menit lalu aku tahu kabar keluargaku baik-baik saja.
Calvin bilang, kondisi kafe ayah berjalan baik. Walau katanya sempat menurun namun dengan sigap ibu membangkitkannya lagi. Mereka baik-baik saja. Aku tersenyum. Jangankan untuk berkunjung ke rumah lama, menelepon ibu atau ayah saja aku takut sekali. Seperti hendak menelepon presiden saja.
Perlahan, kupegang perutku. Mengelusnya perlahan. Bergumam dalam hati : 'Kamu beruntung, Nak.' Selalu kalimat itu yang aku ucapkan. Keberuntungan ini mengejutkan sekali bagi kisah hidupku.
Sekitar pukul sebelas, menjelang matahari beranjak naik ke atas, Bik Eti menghampiri. Memberikan sekotak paket. Aku sempat bingung, berpikir sejenak, baru ingat aku pesan alat make-up di online.
Cuaca semakin panas. Aku beranjak menuju kamar, menyalakan Ac. Membuka paket. Mataku berbinar, tersenyum-senyum, senang.
Aku berniat mengisi waktu luangku bermake-up. Aku mau belajar. Malu kalau Alvaro mengajakku kepertemuannya, masa dandanan aku gitu-gitu aja.
Aku beralih ke meja rias. Mulai melakukan ritual dandan yang menurutku sudah bagus sekali. Aku tersenyum sumringah. Memuji-muji dalam hati. Terkekeh sendirian. Butuh waktu satu setengah jam untuk bermake-up.
Tanganku meraih sweater rajut tebal soft pink, kemudian memakainya. Bergegas menuju balkon kecil, mengambil posisi cahaya yang paling bagus. Hendak berfoto.
Hampir seratus lebih. Dengan gaya yang berbeda. Lama-lama capek juga. Sempurna. Sudah lama sekali aku tidak berfoto sebagus ini. Aku berniat mau ngepost di instagram. Beranjak mengganti pakaian semula. Mencuci muka. Toh, aku juga sudah keringatan.
Saat baru saja keluar kamar mandi, aku mendengar notif masuk banyak sekali. Penasaran. Langsung bergegas meraih ponsel, mencabut chargernya. Membuka aplikasi instagram. Dan ...
Keceriaanku siang ini hilang begitu saja. Hatiku terasa sesak. Napasku terasa berat. Entah, aku juga nggak tau kenapa rasa ini selalu hadir jika berhadapan dengan dia.
Banyak sekali notif yang mentagku di kolom komentar. Iya, kolom komentar akun instagram Amanda.
Dipostingan itu, Amanda memposting foto Alvaro yang tengah duduk tertawa. Captionnya menyakitkan.
'Love you, more!'
Apa pantas jika aku marah? Apa pantas jika aku cemburu? Apa pantas jika aku tidak suka Amanda?
Tidak, aku tidak pantas! Seandainya tidak ada aku, mungkin saja hubungan mereka bahagia. Tapi, sampai detik ini juga aku belum tahu sejauh apa hubungan mereka. Mantan terindah!
Apa sih, definisi mantan terindah itu?
Apa aku harus bertanya sama readers aja daripada bertanya langsung dengan Alvaro???
Entah, bingung.
Kutengok jam sudah pukul empat sore. Alvaro belum pulang juga. Berarti, mereka sedang kumpul. Tanpa aku. Alvaro sedang apa di sana? Atau jangan-jangan, Amanda sedang bersandar di bahu Alvaro?
Arrgghh! Tidak, tidak boleh! Yang boleh cuma aku. Nggak ada yang lain. Tapi, memangnya aku siapa?
Niatku urung untuk memposting fotoku tadi. Beranjak men-stalk akun Amanda sampai akar-akarnya. Benar. Masih banyak foto mereka berdua yang belum dihapus. Aku mendengus, dongkol. Di tambah lagi caption-captionnya yang romantis. Alay, ah!
Aku beralih men-stalk akun Alvaro. Aku cari sampai akar-akarnya juga. Aku tersenyum, senang. Tidak aku dapatkan foto mereka berdua. Namun ...
Aku terdiam ketika menatap postingan kelima dari bawah. Bukan foto mereka berdua, tapi foto Amanda yang dicetak di polaroid. Cantik. Itu kata pertama yang keluar dari mulutku. Captionnya : 'Everything about you!'
Aku menahan sesak. Kalau boleh aku mau nangis. Tapi untuk apa?
Aku beralih mandi. Setelah itu duduk di sofa, menghadap ke jendela. Menatap senja yang indah, sendirian. Dengan perasaan berkecamuk. Butuh penjelasan. Aku takut jadi orang yang salah. Aku takut jadi penghalang. Apalagi jika perusak.
•π•
Habis maghrib, Alvaro pulang. Sudah tidak memakai baju sekolah. Hanya celana abu-abu dengan kaos hitamnya. Sebenarnya aku ingin menoleh, tapi kutahan. Biar dia yang bertanya atau mendekat. Aku ingin diperhatikan. Katanya sayang, kan?
Tanpa bicara apapun, Alvaro bergegas mandi. Kemudian duduk di atas ranjang, di sampingku. Membuka laptopnya. Aku melirik kecil. Beranjak, beralih duduk di kursi. Menatap awan yang sedang mendung. Bintang gemintang tidak menampilkan keindahannya, mengumpat.
Mulutku gatal sekali ingin bicara. Tapi tetap kutahan. Kudengar, dia mengangkat telepon. Aku simpulkan, sedang membicarakan soal kantor. Acuh tak acuh, aku mengabaikan.
Aku menoleh, menatap Alvaro yang sedang menunduk sibuk dengan laptopnya. "Nggak makan?" Akhirnya aku duluan yang membuka suara.
Dia mengangguk, mengisyaratkan nanti. "Nanti masuk angin." Aku berucap lagi.
Dia menggeleng, mengisyaratkan nggak. "Makan dulu, ih!"
Dia mengangguk, tetap fokus dengan layar laptopnya. "Alvaro! Makan dulu!" ucapku kesal.
"Apa susahnya sih tinggal makan doang? Tinggalin sebentar laptopnya. Makan nggak ada satu jam kok! Sepuluh menit juga cukup!" Aku berucap dengan nada tinggi.
Dia mendongak. Berdiri. "Gue udah makan! Lo tuh nggak liat apa gue sibuk! Kalau emang lo nyuruh gue buat makan trus ngeliat gue lagi sibuk? Harusnya lo siapin, bawain ke kamar!"
Aku menatap tajam, menahan kesal.
"Ya, harusnya kamu jawab kalau ditanya! Bukannya geleng, atau ngangguk doang. Tinggal jawab udah makan doang aja susah emang?"
"Lo liat nggak sih, gue lagi sibuk?"
"Sibuk apa, hah? Siapa suruh pulang sekolah malah main! Harusnya waktu main kamu bisa digunain buat kesibukan kamu!"
"Oh, jadi lo nggak suka gue main sama temen-temen gue gitu?"
"Iya, aku nggak suka!"
Refleks aku menutup mulut. Kaget, bersumpah dalam hati. Merutuki kebodohan mulutku yang tak bisa kubohongi. Kita saling pandang. Alvaro menutup laptopnya kasar. Meninggalkan aku sendiri di kamar.
Aku menepuk-nepuk jidat juga mulutku berkali-kali. Jantungku berdebar. Bodoh. Bagaimana jika Alvaro marah? Aku takut.
Aku ikut turun ke bawah. Senyum ke Bik Eti. "Makan malam udah saya siapin, Non. Saya pamit pulang," izinnya begitu padaku. Aku mengangguk.
Kulihat Alvaro sedang melahap makanannya. Tanpa kusiapkan. Aku berjalan takut-takut mendekat. Duduk di sampingnya. Kulirik, Alvaro mempercepat makannya. Meneguk air mineral, lalu bergegas meninggalkan aku. Yah, ini mah beneran marah.
Selera nafsu makanku hilang. Aku berlari-lari kecil menyusul Alvaro. Aku berdiri di depan pintu mematung. Menatap Alvaro yang berlalu di depanku sambil membawa ponselnya menuju balkon. Aku menginggit bibir bawahku. Merutuki kesalahanku sendiri.
Padahal, seharusnya aku sedang kesal sama dia. Tapi, kenapa rasanya aku yang bersalah lagi? Apa memang aku tidak pantas marah ke dia?
Aku duduk di samping Alvaro. Sunyi. Tak ada yang membuka suaranya sedikitpun. Aku mengembuskan napas pelan. Melirik kecil ke arah Alvaro. Memilin jemari sambil mengerucutkan bibir.
"Maaf ..," ucapku lirih memecah keheningan.
Alvaro tidak menjawab. Tetap menatap lurus ke depan. Awan semakin mendung. Mungkin sebentar lagi akan hujan.
"Bukannya aku nggak suka kamu main sama temen-temen kamu. Tadi, salah ngomong." Aku beralasan.
"Tadi takut kamu belum makan, trus masuk angin. Kan, repot gitu. Hm ... makanya jadi kesel. Maaf ya," ucapku menatap sendu.
Kenapa jadi aku yang minta maaf?
Alvaro tidak menjawab. Perlahan, rintik hujan mulai turun mengenai permukaan tanah. Membasahi sedikit demi sedikit. Disusul dengan ribuan butir yang turun bersamaan. Menerpa jalanan. Membuat suasana dingin.
Sengaja, perlahan kurebahkan kepalaku dibahu kiri Alvaro. Siapa tau dia luluh. Dia mengelak. Aku tersentak. Kembali menegakkan kepala.
"Dingin," kataku.
"Masuk kamar." Aku mendengus. Mengerucutkan bibir, kesal.
"Mau di sini tapinya," ucapku lagi kekeh.
Kuulangi lagi merebahkan kepalaku di bahunya. Kali ini dia tidak mengelak. Membiarkan. Menatap butiran air yang jatuh dengan semilir angin dingin.
"Lo benci temen-temen gue?" Aku mendongak. Menatap wajahnya dari bawah. Menggigit bibir bawah, berpikir harus jawab apa. Lantas, menggeleng.
"Nggak, Al. Dibilang, tadi itu salah ngomong. Karena lagi kesal."
Alvaro menegakkan tubuhnya. Membuatku terbangun dari sandarannya. Dia menatapku.
"Kesel karena Amanda?"
Aku diam. Harusnya aku senang karena berhasil memancing Alvaro untung membicarakan Amanda. Tapi, kenapa berubah jadi takut gini? Aku malah menggeleng. Mencari topik pembicaraan yang baru. Tapi Alvaro tetap dengan pertanyaannya.
"Lo nggak perlu tau soal dia."
Aku menatap tajam. Kenapa nggak boleh? Rahasia memangnya?
"Kenapa?" tanyaku.
"Ya ... lo emang nggak perlu tau."
Aku diam. Mendengus. Alvaro beranjak ke kamar, meninggalkan aku yang sedang sumpah serapah merutuki sikap menyebalkannya.
Sekarang sudah pukul setengah sepuluh. Aku tidur lebih dulu. Alvaro masih berkutik dengan laptopnya. Sebelumnya, aku mengerjakan pr matematikanya. Pusing juga tiga puluh lima soal. Banyak materi baru yang belum aku pelajari. Otomatis, aku harus melihat materinya, mempelajari, baru mengerjakan. Banyak sekali soal jebakan. Membuat aku kesal sendiri mengerjakannya.
"Jangan malam-malam tidurnya." Kulihat Alvaro mengangguk samar.
Besok, Alvaro sekolah. Aku harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan. Bik Eti datang setiap jam delapan. Tak lama kemudian, Alvaro menutup laptopnya. Menyusul tidur di sampingku. Mendengkur pelan bersamaan.
•π•
TBC
terimakasih yang sudah vomment
terimakasih yang sudah suka HS
terimakasih yang sudah support
kamu terbaiiikkk!!😍😍😍
(peluk dari jauh🤗)
18.08.20
23:10 pm