Sejak kecil, Gintara terbiasa hidup berdampingan dengan hal-hal yang tak terlihat. Bisikan samar di telinga saat malam jatuh, bayang-bayang yang tak diikuti oleh tubuh, dan tatapan kosong dari wajah-wajah yang seharusnya tak ada - semua itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bagi Gintara, kemampuan ini bukan anugerah, bukan pula kutukan. Hanya warisan. Sesuatu yang mengalir dalam darah keluarganya dan tak pernah benar-benar bisa dilepaskan.
Ketika kesempatan KKN membawanya ke sebuah desa tua di lereng Merapi, Yogyakarta, Gintara mengira itu hanya perjalanan biasa. Desa Merapi tampak sunyi, tenang - terlalu tenang. Namun di balik rerimbun bambu dan lorong-lorong waktu yang terasa membeku, ia bertemu dengannya: Winarta.
Pemuda berbalut lurik klasik dengan sorot mata yang sulit ditebak, seperti menyimpan cerita dari zaman yang berbeda. Pertemuan mereka tak seperti pertemuan biasa. Tatapan Winarta terhenti lama di wajah Gintara, seolah mengenali sesuatu yang telah lama hilang.
"Aku sudah menunggumu, Jenar," ucapnya pelan.
Nama itu, Jenar, membangkitkan getar aneh dalam dada Gintara. Nama yang selama ini hanya bergaung dalam cerita samar keluarganya - nama leluhur perempuan yang menghilang dalam sejarah, meninggalkan jejak yang tak pernah tuntas.
Semakin dalam Gintara mengenal Winarta, semakin jelas ia menyadari: mereka terhubung oleh sesuatu yang lebih tua dari waktu, lebih dalam dari sekadar pertemuan kebetulan. Ada kisah yang belum selesai. Ada luka yang belum sembuh. Dan di antara bisikan masa lalu dan bayang-bayang yang tak kasat mata, Gintara perlahan ditarik ke dalam pusaran cerita yang melibatkan cinta, pengkhianatan, dan janji yang belum ditepati.
Karena di desa ini, di bawah bayang Merapi yang agung, masa lalu tak pernah benar-benar diam.
Dan beberapa pertemuan, memang ditakdirkan untuk mengulang cerita yang belum usai.
Sebutan wanita rendahan yang orang lain sematkan padanya tak membuat gadis itu menyesali keputusannya. Awalnya ia berpikir demikian, sampai di mana dirinya bertemu dengan sosoknya yang bagai hutan luas. Memberikan kesan tenang diawal, namun menyesatkan saat terlalu jauh melangkah. Perasaan gelisah menghantui seolah pohon-pohon itu siap menelannya dalam keterpurukan saat tak menemukan jalan pulang. Hanya ada hijau, seperti sorot matanya yang begitu dalam.
Tak sampai di situ, rentetan kejadian tak terduga yang mengubah hidup dan cara pikirnya membuat Widari menyesali pilihannya. Kata 'andai', hanya sebatas kata yang tak bisa tercapai. Kehilangan orang-orang terkasih membuatnya tersadar, kini hidupnya tak lagi berarti. Keegoisan untuk hidup berdasarkan pilihannya sendiri kini ia sesali.
Sosok baru datang. Seorang yang tempat asalnya masih abu-abu, sosok yang tak bisa Widari nilai dengan mudah, punggung lebar yang berdiri di hadapannya, melindunginya tanpa alasan yang jelas, mencoba menerobos masuk tanpa ia beri kesempatan. Hingga akhirnya memilih berakhir, mengakhiri takdir menyedihkan bersamanya dalam keputusasaan dan kehilangan...
____
____
* Mungkin terdapat beberapa kesalahan yang tak disadari oleh penulis
*Semua dalam cerita hanya fiksi semata dan tak ada sangkut pautnya dengan kehidupan asli seseorang
____
~JANGAN LUPA MENINGGALKAN JEJAK SETELAH MEMBACA, BERUPA VOTE & KOMEN~
-----
Cerita yang saya buat semata-mata hanya untuk dinikmati dan tidak untuk menyinggung pihak manapun. Maaf jika ada salah yang tidak saya sengaja ataupun tidak saya ketahui.
-----
PERINGATAN..!
CERITA YANG SAYA BUAT MURNI PEMIKIRAN SAYA SENDIRI. JADI TOLONG JANGAN COPY CERITA INI DENGAN ALASAN APAPUN..!
PLAGIAT HARAP MENJAUH..!
___
NOTE : JIKA TIDAK MENYUKAI WATAK KARAKTER DALAM CERITA INI DIPERSILAHKAN UNTUK BERHENTI MEMBACA ATAU MEMBACA CERITA SAYA YANG LAIN.
____
Publikasi:
15-05-2024
____
pictures: AI