抖阴社区

"Tanah Merapi"

2 0 0
                                    

"Bawa nama baik Dana Yaksa, semoga proker kalian sukses disana," Pak Dandi - dosen pembimbing kelompok KKN 75 yang sudah cukup renta itu menepuk pundak Juno. 7 orang lainnya termasuk Gintara, Rora dan Kirana- tersenyum kecil.

"Terima kasih, Pak." Juno mengangguk mantap. Sebagai ketua kelompok, tanggung jawab besar selama 2 bulan ke depan kini resmi di pundaknya.

Bus hitam Dana Yaksa menderu meninggalkan pusat kota Yogyakarta, diikuti candaan para mahasiswa yang terdengar riuh tanpa beban. Gintara menatap embun di jendela yang mulai menutup pandangannya, walaupun samar ia dapat melihat gagahnya Gunung Merapi di kejauhan sana.

"2 bulan Gintara, cuma 2 bulan....." Gintara memantapkan hatinya yang ragu, ia takut akan menjadi 'masalah' bagi kelompoknya jika sesuatu terjadi padanya.

Juno dengan jaket denim setengah terbukanya menoleh pada sang kekasih yang nampak bimbang, ia tau apa yang sedang Gintara pikirkan. 3 tahun bukan waktu yang singkat baginya untuk memahami gerak-gerik kekasihnya itu.

"Ada aku.... Semua bakal baik-baik aja." mata Juno teduh, sama seperti saat pertama Juno melemparkan tatapannya pada Gintara 3 tahun lalu.

Kirana menoleh, mendengar percakapan kecil antara Gintara dan Juno. Ia mengangkat alis dan tersenyum lebar.

"Come on, guys! Kita harus senang-senang kali ini!"

Mau tak mau Gintara terkekeh melihat semangat sahabatnya itu, diikuti candaan Rora yang selalu menggelitik perut seperti biasa.

Bus akhirnya berhenti di pelataran aula desa setelah 2 jam menyusuri hamparan sawah dan jalan yang berkelok.

Gintara menyampirkan ransel dipundaknya seraya perlahan menapakkan kakinya di tanah merah basah itu.

"Desa Ujung Merapi..... Secantik yang orang bilang." Juno menghirup udara bercampur embun pagi itu- Merapi yang nampak gagah menjulang tertutup kabut tebal, tak lekang dari lirikan matanya.

"Gelo..... Tiris euy!!" seru si mojang Sunda-Rora sambil menggosok lengannya sendiri.

"Sugeng rawuh Mas, Mbak...." Pak Seno-Kepala Dusun setempat menunduk memberi hormat bersama sang istri yang turut disampingnya.

Gintara melirik sekitar, tak fokus dengan sapaan sang Kepala Desa padanya. Tanpa alasan, ia merasa familiar dengan tanah yang ia pijak saat ini. Dan faktanya, tempat ini sangat baru untuknya.

Angin yang awalnya sunyi tiba-tiba berhembus lembut menerpa bulu kuduknya-memberi ketenangan sekaligus rasa takut dan curiga.

"Selamat datang di Desa Ujung Merapi, Mas Mbak. Mugi-mugi betah di sini. Habis ini tak anter ke tempat tinggal Mas Mbak dulu, supaya bisa langsung istirahat. Monggo...." Pak Dandi mempersilahkan dengan ibu jarinya - Juno dan lainnya mengekor di belakang.

"Saya Pak Dandi, pasti sudah ada yang kenal to?" Pak Dandi sesekali menoleh ke arah Juno dan rombongannya.

"Pak Dusun, leres?" celetuk Juno dengan bahasa Jawa kagoknya-dibalas dengan gelak Pak Dandi dan istrinya.

"Leres, Mas Juno..... Oh dan ini istri saya-Bu Mira. Kalau Mas Mbak butuh sesuatu, monggo bisa langsung bilang ke saya atau Bu Mira saja ya??" Bu Mirah-si empunya nama tersenyum hangat.

"Mboten usah sungkan Mas Mbak, disini semuanya keluarga....." Bu Mira mengangguk.

Rombongan mulai berjalan mengikuti langkah Pak Seno dan Bu Mira melewati jalan setapak yang dibingkai oleh hamparan sawah hijau basah sisa hujan semalam. Aroma tanah dan padi muda menusuk hidung, menenangkan, tapi entah kenapa di benak Gintara justru menimbulkan gelombang resah yang pelan-pelan naik ke permukaan.

"Sebentar lagi sampai, Mas Mbak... itu rumahnya sudah kelihatan," ujar Pak Seno sambil menunjuk ke arah bangunan kayu besar di ujung jalan. Rumah Joglo dengan atap limasan khas, dinding kayu cokelat tua, dan serambi yang lebar menghadap ke arah sawah.

"Mas Juno, kelompok njenengan kebagian tinggal di rumah Pak Pranoto. Beliau dulunya lurah sini. Sekarang sudah sepuh, tinggal berdua saja sama cucunya. Rumahnya luas, insyaAllah cukup buat kalian ber-7," jelas Pak Seno.

Pak Pranoto, pria tua berambut perak yang dari tadi menunggu di serambi, berdiri dengan tongkat kayu di tangannya. Tatapannya tajam namun hangat. Di sampingnya, seorang pemuda berusia sekitar awal 20-an - kurus, berkemeja lengan panjang lusuh, berdiri diam dengan ekspresi datar.

"Mbak Mas, tepangaken niki putu kulo, Bayu," ucap Pak Pranoto singkat.

Bayu mengangguk kecil. Pandangannya sekilas bertemu dengan Gintara. Ada yang aneh. Mata Bayu tidak sekadar menatap - seolah menelisik lebih dalam, seperti orang yang membaca sesuatu yang tidak terlihat orang lain.

Gintara menahan napas. Tengkuknya dingin. Bayu menatapnya lama, sebelum akhirnya beralih ke Juno dan teman-temannya.

"Silakan, Mas Mbak, istirahat dulu. Nanti kalau sudah segar, saya ajak keliling desa," ujar Bayu, suaranya datar tapi jelas.

Juno mengangguk ramah, mengatur rombongan masuk ke rumah. Gintara melangkah pelan-pelan ke dalam, menelusuri lantai kayu tua yang berderit halus. Bau kayu tua bercampur bau dupa samar yang sudah hampir padam tercium di udara.

Bayu melirik samar ke arah Gintara, seakan tau bahwa Gintara memiliki sesuatu yang orang lain tak punya.

"Le....." Pak Pranoto atau yang kerap disapa Mbah Noto-menepuk pundak Bayu, cucunya. Bayu tersentak kecil sambil menoleh.

Mbah Noto menggeleng, kerutan diwajahnya nampak semakin jelas karena kekhawatiran yang tengah ia rasakan.

"Mugi-mugi mboten wonten punapa-punapa, eyang....."

...

Malam merambat pelan di Desa Ujung Merapi. Angin dari lereng gunung turun lembut, menusuk pori-pori. Di rumah joglo tua itu, suara jangkrik dan desis angin seperti jadi musik latar alami.

Sebagian besar teman-temannya sudah tertidur. Juno masih tampak sibuk dengan ponselnya di pojok ruangan, Rora dan Kirana tertawa pelan di kamar sebelah. Gintara, yang sejak tadi sulit memejamkan mata, memilih duduk di serambi, memeluk lututnya sambil menatap gelapnya sawah.

"Belum bisa tidur, Mbak?"

Suara itu tenang, datar, namun tidak dingin. Bayu berdiri di ambang pintu, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana kainnya. Cahaya remang lampu minyak di ruang tengah menyoroti garis wajahnya yang tirus dan tatapannya yang tajam, meski tak menghakimi.

Gintara menoleh, sedikit tersenyum. "Iya, Mas. Masih penyesuaian, mungkin."

Bayu melangkah pelan, duduk di kursi panjang di seberangnya. Lama dia diam, pandangannya mengarah ke gelap yang sama.

"Desa ini tenang, Mbak. Tapi... ada kalanya yang tenang bukan berarti kosong," ucapnya lirih, tanpa memandang Gintara.

Gintara menggigit bibir bawahnya, tengkuknya terasa dingin. Kalimat itu... nadanya... seperti kode yang hanya dimengerti oleh orang yang pernah 'merasakan'.

Bayu akhirnya menoleh. Matanya dalam, suaranya tetap lembut.

"Saya cuma mau bilang... kalau sewaktu-waktu panjenengan merasa berat, atau ada yang lewat di sekeliling yang nggak bisa dijelaskan, jangan simpan sendiri. Di sini, nggak semua yang kelihatan itu cuma kita yang lihat."

Tatapan mereka bertemu. Ada ketenangan di mata Bayu, tidak memaksa, tidak menghakimi. Hanya pemahaman. Gintara merasakan dadanya bergetar - untuk pertama kalinya, sejak bertahun-tahun ia menyembunyikan "kemampuannya", ada orang asing yang mengerti tanpa perlu dijelaskan.

Bayu tidak tanya lebih jauh, tidak menuntut jawaban.

Angin berembus sekali lagi, membawa bau tanah basah. Di kejauhan, suara burung hantu sayup terdengar.

"Selamat istirahat, Mbak Gintara," ucap Bayu, berdiri pelan lalu masuk kembali ke dalam rumah.

Gintara masih duduk diam, matanya menatap kosong ke depan. Tapi kali ini... ada sesuatu yang berbeda. Ada ruang lega yang perlahan tumbuh di dadanya, walaupun rasa khawatir masih menyelimutinya.

Setidaknya... di sini, dia tidak sepenuhnya sendiri.





🪷

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

? Terakhir diperbarui: May 07 ?

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Widodari (Stories Van Java)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang