Institut Jakarta, tempat penuh kenangan yang sebenarnya belum lama Rea tinggalkan itu menjadi tempat paling Rea rindukan. Pantainya, bangunannya, orang-orangnya, segalanya. Rea merindukan segala yang ada di sana, sehingga begitu kakinya menapak di depan pintu masuk utama bangunan itu, ia ingin sekali menangis sembari memeluk bangunan kokoh itu. Tapi ia urung, memilih mendorong buka pintu dengan bahunya begitu mudah karena pintu itu tak tertutup rapat. Rea melangkah masuk setelahnya.
Kakinya melangakah di atas lantai marmer Institut sembari kedua tangannya menarik koper. Ia tak heran lagi saat semua mata terarah kepadanya begitu ia masuk. Ia pergi delapan bulan lamanya. Kini Rea hanya bisa melempar senyum ke arah nefilim-nefilim yang menatapnya. Beberapa tampak asing di mata Rea------entah karena mereka baru atau ia saja yang tak pernah melihat mereka.
Begitu sampai di dekat lift, Rea segera menekan tombol naik dan masuk ketika pintu terbuka. Sejenak Rea terdiam menatap angka-angka pada lift. "Kamarku di lantai berapa?" ia menepuk kening. Penyakitnya bercampur lama kepergiannya memang hal yang tak baik.
"Lantai lima," kata seseorang yang baru saja memasuki lift dan menekan angka lima pada lift sehingga lift mulai bergerak naik.
Rea menoleh. "Vadlan?" laki-laki yang disebut namanya tersenyum, terlihat tulus tak seperti biasanya. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa misi bos zombie kembali diteruskan selama aku pergi? Kenapa tak memintaku kembali?"
"Ah, tidak-tidak! Aku sedang menginap di sini," laki-laki itu mengangguk untuk penjelasannya sendiri.
"Kenapa?" tanya Rea penuh selidik.
Vadlan bukannya menjawab justru bersenandung sembari melirik kesana-kemari sampai pintu lift kembali terbuka. "Semua kamar sekarang diberi nama di pintunya, kau bisa tahu yang mana kamarmu kalaupun kau lupa," kata Vadlan lalu melangkahkan kaki lebar-lebar, secepat mungkin meninggalkan Rea.
"E-apa yang aku lewatkan?" tanya Rea pada dirinya sendiri. Pintu lift hampir saja tertutup kembali karena Rea terlalu lama berpikir, namun sebelum itu terjadi Rea buru-buru menahan dan keluar dari sana.
Dan Vadlan benar. Rea lupa letak kamarnya. Ia hanya ingat kamarnya dekat dengan kamar Demian dan berada di arah barat. Rea mengeluarkan ponselnya dari saku jaket lalu membuka aplikasi kompas untuk mencari tahu arah barat. Setelah ia mengetahuinya, Rea menyimpan kembali ponsel dan berjalan ke arah barat.
Sembari berjalan, Rea membaca semua kamar yang ditempeli kayu berukiran nama setiap pemilik kamar. Langkah kaki Rea terhenti ketika seseorang yang ia kenali keluar dari salah satu kamar di lorong itu. Rea mengangkat tangan. "Demian!"
Demian baru saja menutup pintu kamarnya terdiam. "Rea?" ia segera menghampiri gadis berambut pirang itu. "Kau kembali," ucapnya sembari tersenyum. "Bagaimana di Roma?"
"Semua baik-baik saja sekarang. Aku tak bisa kembali lebih awal karena keluarga ku-"
"Tak perlu kau jelaskan! Aku tahu, semua orang tahu apa yang terjadi pada mereka," Demian mengangguk dengan senyum yang tetap terlukis di wajah tampannya.
Rea mengangguk, membalas tersenyum. "Kau banyak tersenyum. Apa lagi yang aku lewatkan selain Vadlan yang tiba-tiba menginap di sini?"
"Oh? Kau bertemu dengannya?" Rea mengangguk. Demian mendenguskan tawa, namun terdengar lebih lembut dari dirinya dulu. "Dia menjalin hubungan dengan Reyfana. Jadi mereka sering bergantian menginap di Institut satu sama lain."
Rea terbelalak untuk beberapa saat, namun mengubah rautnya lagi ketika sadar. "Grande (Hebat)!"
Demian memutar bola mata, namun masih tersenyum. "I don't speak your language, Blackstone."

KAMU SEDANG MEMBACA
Mission From Heaven: Assassinate Part 1 [2ND BOOK]
FantasyMission From Heaven 2nd Book 17+ !!!Mengandung kekerasan dan pembunuhan!!! Cerita ini hanya fiksi semata. Jika ada kesamaan tempat, nama, dan lain-lain penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Dan ini merupakan cerita original yang terinspirasi dari beb...