"Yang aku dapat," ucapku sambil menuliskan 'Dik:', 'Dit:', dan 'Jaw:' pada halaman bukuku. "Orang bernama 'Paulianto' dan 'Barak 17' terlibat. Lalu, ada hubungannya dengan salah satu atau mungkin beberapa anggota panitia orientasi kita sekarang."
"Untuk 'Barak 17' mungkin nama asrama kita dulu?"
"Mungkin," ucapku menatap kepada halaman yang telah aku corat-coret.
"Kira-kira orang 'Paulianto' ini kah yang otak-atik speaker Aula Aksara biar meledak?"
"Bisa aja sih. Suara infrasonik banyak di internet. Kalau pintar coding, bisa."
"Coding?"
"Iya, coding."
"Maksudku arti coding apa?"
"Atur software, alat komputer."
"Oh. Mungkin ya. Kita pun belum boleh kenalan dengan senior lain kecuali panitia kan."
Raihan hanya menganggukan kepalanya mengiyakan kata-kataku.
"Kira-kira kita mau cari tahu barengan ato pisah aja?"
"Bareng dulu aja, ga banyak pembina atau guru yang harus ditanya."
"Okelah, barengan artinya kita."
Kita berdua duduk merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa kita tanyakan dan mendaftarkan siapa saja yang bisa kita tanyakan.
Sesi diskusiku dengan Raihan berlangsung sepanjang kegiatan belajar malam. Diskusi kami menyelimuti persepsi sehingga aku dan Raihan tidak menyadari bel belajar malam telah berbunyi.
Kami terus melanjutkan perbincangan hingga perhatian kami dipancing oleh suara pintu kelas yang menggelegar.
BLARR!!
"Bel sudah berbunyi dek! Waktunya untuk apel!" teriak seorang panitia yang muncul dari pintu itu.
"Itu panitia yang aku temui di Klinik Siswa siang tadi," ucapku dalam kepala sambil memandang dia.
Dia berjalan tegap ke arah kami, berusaha mengintimidasi. Sebuah perban besar diplaster pada leher hingga ke rahang bawahnya. Sebuah ban elastik memeluk lengan kananya. Pada ban itu tertulis 'Panitia Orientasi 08.' Sebuah papan nama kain terjahit pada sisi kanan seragamnya, bertuliskan 'Gaharu Armamitra.'
Aku sedikit terkejut karena dia masih bisa membentak kami dengan luka seperti itu di kulit rahang kanannya.
"Kalian mau kabur dari apel malam kah!?" gertaknya.
"Siap, tidak bang!" balas kami berdua.
"Kami sedang bersiap untuk berangkat apel bang!" lanjutku.
"Bohong kalian!"
"Siap tidak bang!" balasku.
Seketika, aku mendapati dia melirik kepada halaman buku catatanku yang masih tergeletak di atas meja kelas. Aku melihat nadi yang berada di pelipisnya membengkak perlahan bagai sungai yang akan meluap.
Matanya yang memerah dihadapkan padaku, menusuk tajam.
Dia kemudian mengangkat telunjuknya kepada Raihan. "Dek, kamu ke barisan duluan."
Kemudian, dia menatap kepadaku. "Abang ada urusan dengan temanmu."
Raihan melirik kepadaku dengan wajah sedikit ragu.
Aku tidak menatapnya, namun aku mengangguk untuk menyampaikan aku tidak apa-apa. Dia tidak apa-apa untuk berangkat ke lapangan apel terlebih dahulu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kampus F.U.B.A.R.: Langkah Baru
Teen Fiction#02 - crimefiction #06 - dramaremaja #12 - writing Merantau ke dunia yang baru adalah konsep yang asing oleh remaja. Namun, dia tetap melakukannya untuk mendapatkan pengalaman yang baru. Pengalaman itu dia cari di dalam sekolah asrama berbasis semi...