"Ada pak. Tapi, pikir saya, mungkin ada yang terlewat karena kami tidak mendapatkan pengarahan formal dari panitia maupun dari wali."
"Dari bapak sih tidak ada...," balasnya. "Cukup ikuti saja buku orientasinya. Pastikan kamar, kamar mandi, dan lingkungan sekitar wisma kalian bersih. Itu saja sudah cukup.
"Wisma siswa sudah memilih ketua?"
"Belum pak."
Seiring kami berbincang, isteri beliau muncul dari dapur dan mengantarkan tiga gelas es teh manis di hadapan kami.
"Waduh..., kalau begitu mohon segera tentukan ya. Agar ada yang mewakili anggota wisma jika memerlukan sesuatu dari saya. Mohon kabarkan ya nak!"
"Baik pak akan saya kabarkan nanti. Sebelum itu pak, saya boleh bertanya?"
"Boleh-boleh..., apa yang ingin siswa tanyakan?"
"Bapak tahu 'Wisma 17' itu apa?" tanyaku padanya.
"Iya saya tahu. Itu nama wisma di sekolah ini sebelum nama-namanya diubah. Ada apa siswa?"
"Tidak apa-apa pak. Saya hanya penasaran karena sempat menemukan kertas di gudang wisma kita yang bertuliskan 'Hidup Wisma 17!'"
"Oh..., baik siswa. Iya, itu nama dari wisma di sini sebelum diubah oleh yayasan. Kata mereka, 'Perubahan nama itu lebih representatif bagi mimpi SMA Abdi Negeri.'"
"Sebelumnya yang menjadi wali dan pembinanya siapa pak?"
"Adduh siswa, untuk hal itu saya kurang tahu. Itu sudah lama sekali berlalu. Mungkin siswa dapat bertanya ke Kantor Admin Kesiswaan esok hari."
"Baik pak. Terima kasih sekali akan waktunya mau menyambut kami."
"Ohhh..., tidak apa-apa siswa. Saya yang berterima kasih karena dikunjungi. Sering-sering mampir siswa. Kalau mau belajar di sini juga tidak apa-apa.
"Sama, itu teh-nya diminum, sayang banget ibu sudah buat tapi tidak diminum."
"Oh iya pak," balasku. Aku menoleh kepada Raihan, "Minum Rai."
"Ya pak."
Kami berdua menenggak isi gelas itu sesegera mungkin. Aliran teh dan gula melesat dan menggetarkan esofagus kami.
Dan, secara bersamaan aku dan Raihan meletakkan gelas itu di atas permukaan meja.
"Kami permisi dulu pak."
"Baik siswa. Hati-hati di jalan."
***
Pak Jupriadi menatap kepada pintu rumahnya yang tertutup secara perlahan. Dia memandang kepada Otniel dan Raihan yang bergegas meninggalkan rumahnya.
Saat pintu rumahnya tertutup penuh, dia berjalan menuju meja kopi yang berada di pojok ruang tamu.
Dia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas tumpukan-tumpukan koran bekas dan membuka daftar kontak. Jempolnya telah bersiap di sebelah nomor yang akan dia hubungi.
Ponsel itu berdering di sebelah pipinya selama beberapa detik hingga...,
TUUUT!
"Selamat malam pak Wakasek Siswa(3). Besok ada siswa yang akan mampir. Mohon ditangani."
"Akan saya tangani pak. Tentu saja."
***
Kegiatan makan pagi di hari Selasa sudah usai. Masing-masing meja telah tertata rapih. Setiap siswa kelas satu yang mengikuti orientasi terduduk siap, menunggu agar senior-senior meninggalkan meja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kampus F.U.B.A.R.: Langkah Baru
Teen Fiction#02 - crimefiction #06 - dramaremaja #12 - writing Merantau ke dunia yang baru adalah konsep yang asing oleh remaja. Namun, dia tetap melakukannya untuk mendapatkan pengalaman yang baru. Pengalaman itu dia cari di dalam sekolah asrama berbasis semi...