抖阴社区

SEBELAS

744 146 25
                                        

.


.


.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


****


Tinggi sekali menara itu. Hinata bisa melihat penambangan walaupun hanya samar-samar dari menara tersebut dan rumah penduduk. Meskipun kecil seperti sekelompok semut, orang-orang berlari dengan bebas dan bergotong-royong untuk membangun sesuatu. Ada bagian hutan yang tidak terlalu menyeramkan. Padang rumput yang dipenuhi oleh beberapa ternak yang dipelihara. Perkebunan anggur. Ladang gandum yang membentang. Seperti yang Naruto sampaikan; dari menara, dia bisa melihat seluruh keindahan Myōbokuzan yang sempat ditinggalkan. Tempat ini tak sesuram bayangan orang-orang Konoha. Hinata sekalipun tak pernah menyesal bisa sampai ke sini.

Namun jenuh sekali dia berada di menara tersebut tanpa seorang teman. Ada dua penjaga di depan pintu kamarnya di menara itu. Bahkan tersedia dapur pribadi, seorang pelayan, dan banyaknya ruang yang tidak dimengerti oleh Hinata. Perempuan itu pun masih bertanya-tanya, mengapa dia seperti seorang tersangka dalam kasus penyerangan atau semacamnya. Ini bukan rumah. Tapi ini penjara. Apa ini karena Toneri? Apa pria itu tidak memercayainya?

Hinata menunduk. Sudah dia kira bila nantinya Naruto seakan menyalahkannya, walaupun dia menangis ketakutan di tengah penculikan yang dialaminya. Biwako bahkan masih mondar-mandir untuk mengantarkan si dokter cantik itu memeriksa kesehatannya. Meskipun dia sudah meredakan kecurigaannya, dia masih tidak nyaman mengetahui Biwako ada di sekelilingnya.

“Anda jauh terlihat lebih baik hari ini,” kata Sakura, yang melihat Hinata tidak sepucat biasanya. “Saya membawakan sebuah buku, barangkali Anda menyukai buku-buku romantis yang saya rekomendasikan untuk menghilangkan penat selama tinggal di menara.”

Hinata tidak mengeluarkan sepatah kata karena dia tidak senang mengetahui harus berada di menara ini. Semua pemandangan itu tak pernah diharapkannya bila dia akhirnya terkunci dari dunia.

“Apa kau sering bertemu dengan suamiku?”

“Benar, Yang Mulia,” dokter cantik itu membereskan peralatannya. “Beliau tidak mengatakan apa-apa kecuali meminta saya memeriksa kesehatan Anda.”

“Ah, aku baru teringat sesuatu. Kau yang memeriksaku juga waktu itu,” Sakura mencermati sang archduchess, tengah membolak-balikkan halaman buku berisi cerita romantis yang sepertinya tidak terlalu diminati oleh wanita itu. “Apa aku boleh tahu hasil dari pemeriksaanku waktu itu? Apakah hasilnya sedikit buruk?” sebagai seorang abdi, dia harusnya tak memalingkan mukanya begitu Hinata mencari sesuatu dari gelagatnya, yang kelihatan sekali tidak dapat menutupi rahasia. Padahal dia berusaha untuk tidak mengacau. “Kau tidak mau melaporkannya padaku?”

“Tidak ada hasil yang buruk,” Hinata tersenyum culas. Ia tampaknya mulai mengerti dokter perempuan itu tengah menyembunyikan sesuatu darinya. “Saya tidak diperkenankan terlalu lama untuk tidak tinggal di sini. Saya akan segera berpamitan.”

Hinata tertawa, tetapi sebenarnya dia merasa kesal ditipu seperti ini. “Apa kau sudah tidur dengan suamiku?”

“Apa?”

“Apa kau dijanjikan olehnya untuk menjadi selir atau wanita kesayangannya?”

“Saya tidak mengerti, Yang Mulia.”

“Pasti begitu, ‘kan?” mata wanita itu bergerak cemas. “Sudah aku duga. Dia pasti punya alasan untuk membawamu ke Myōbokuzan. Kau pasti dijanjikan sebuah kedudukan olehnya. Apalagi sebelum pergi ekspedisi, kau bertemu dengannya, ‘kan? Saat itu, aku bahkan sudah menjadi istrinya. Aku menunggunya di kamar pengantin sendirian penuh harap. Aku melihatnya memasuki kamar dengan basah kuyup. Aku yakin dia baru bertemu denganmu.”

“Saya tidak mengerti, Yang Mulia. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini.”

Hinata menarik napas. Dia meringkuk kemudian di atas kasurnya. “Pergilah, bilang pada Ny. Biwako aku tidak ingin bertemu siapa pun bahkan suamiku. Biarkan aku tetap di sini sendirian.”

Sakura, si dokter cantik itu, bergegas pergi dari ruangan tersebut. Ia menunduk merasa bersalah karena tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, padahal dia ingin sedikit saja membuat wanita itu tenang. Sejak awal, dia memang salah untuk mencoba merayu suami wanita itu agar dia bisa pergi ke Myōbokuzan. Kalau dia dicibir karena kelancangannya itu, Sakura siap bila sepanjang wanita itu mencibirnya.

Malam harinya, Hinata terbangun merasakan seseorang duduk di kasurnya. Ia mencium aroma kurang nyaman, dan itu mungkin saja darah. Napasnya menjadi lebih sesak, karena trauma yang dialaminya. Ia beringsut minggir saat suaminya mendekatinya. “Apa yang kaulakukan?” Hinata mencoba menghindari tatapan dan perilaku aneh Naruto. “Aku sudah bilang pada dokter itu, aku ingin sendiri, tidak ingin diganggu.”

“Kondisiku kurang baik, jangan membuatku marah.”

Hinata menertawakan pria itu yang bahkan tidak mau memahami keadaannya dan seluruh kebingungannya begitu sampai di Myōbokuzan. Ia kira, kehidupannya akan jauh lebih baik, tetapi Naruto membuatnya resah setiap kali mereka bertemu. “Siapa lagi yang kau bunuh?”

“Apa kau harus tahu?”

Naruto beranjak dari tempatnya. Dia mendekati Hinata selagi melepaskan seluruh pakaiannya. “Bagaimana kalau kita mandi bareng? Aku sudah menyuruh semua orang meninggalkan menara. Kita bisa berendam bersama sambil melihat langit gelap yang dipenuhi oleh bintang. Bukankah kau menyukainya, Hinata?”

Hinata tidak pernah ingat dia suka berendam di bawah langit gelap penuh bintang. “Apakah kau salah orang?”

“Benarkah aku salah orang?” Naruto mendekati istrinya, tetapi Hinata mundur selangkah demi selangkah, seolah ingin menghindari sesuatu yang menyeramkan. “Kenapa kau takut padaku? Aku tidak akan pernah menyakitimu," suaminya itu menyunggingkan senyuman, penuh misteri dan penuh makna. "Saat orang-orang menyalahkanku karena mengharapkanmu, aku tidak mencoba berhenti. Aku menginginkanmu. Aku ingin semua orang melihat bahwa aku berhasil menguasaimu.”

Tangan Hinata tiba-tiba saja ditarik, sampai akhirnya tubuhnya mendarat di atas kasur. Naruto merangkak mendekatinya, sedangkan bayang-bayang Toneri membuat Hinata bergidik. Ia menolak tiap-tiap sentuhan sang suami, padahal Hinata tidak sekalipun pernah ketakutan seperti ini.

Naruto mencoba memaksa istrinya dengan mengikat kedua tangan mungil tersebut ke sisi ranjang. Hinata masih setia dalam pemberontakan yang berhak dilakukannya jika dia merasa tidak nyaman maupun ketakutan. Kakinya pun mencoba untuk menendang tubuh suaminya, tetapi pria itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

Gaun tidur Hinata dirusak begitu saja. Ia tidak mengira bahwa Naruto bisa sekasar ini kepadanya. Pria itu mungkin saja kadang kelewatan, tetapi tidak pernah memaksakan kehendaknya. “Hentikan! Aku mohon hentikan!” bayang-bayang pria itu tersenyum kepadanya, bayang-bayang pria itu perhatian kepadanya, menggandeng tangannya dengan lembut, hancur dalam semalam, mengoyak tubuhnya diselingi oleh mimpi buruk tak terduga.

Belum lagi ketika Naruto membungkam mulut Hinata dengan tangannya yang besar, begitu pria tersebut melakukan penetrasi yang menyakitkan tanpa pemanasan. Pandangan Hinata berkunang-kunang, hanya air mata yang terlihat mengalir menuruni pipinya.

Di tengah bayangan senyuman Naruto yang manis, memudar di tengah perilaku yang tidak wajar. Naruto marah kepadanya. Naruto tidak memercayainya. Pria itu menaruh kebencian sejak lama. Sekarang puncak untuk membalas dendam. Meski begitu, tidak ada setitik kebencian yang membuat Hinata harus menolak suaminya meski sudah terlampau kasar kepadanya. Ia yakin, Naruto punya alasan tersendiri mengapa dia melakukan hal sekasar ini kepada istri yang dicintainya.

.


.


.


.

Tbc

Deadly Nightshade ??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang