Satu tangan Gita terangkat ke atas, menangkup air hujan yang terus mengguyur bumi. Pasalnya Hujan tidak berhenti sejak pagi hingga sore hari.
Gita menghela nafas. "Sepertinya ini akan terus berlanjut," katanya.
Saat ini dia meneduh di halte dekat sekolahnya. Semua murid sudah pulang dari lima belas menit yang lalu, sedangkan dirinya terjebak di sini sendiri. Niat hati ingin naik angkot agar segera sampai rumah, tetapi saat merogoh saku rok tidak ada selembar uang di dalamnya.
Uang bulanan yang dia dapat dari Bara memang sengaja Gita tinggal di rumah. Agar Gita tidak boros meskipun hanya sekedar jajan. Apalagi uang bulanannya dipotong cukup banyak oleh Bara.
Gita bahkan ke sekolah harus jalan kaki untung saja jarak sekolah dari rumah tidak terlalu jauh, biasanya gadis itu menaiki sepeda kayuh tapi terkendala pada bannya yang bocor, dia sendiri belum sempat ke tempat tambal ban. Mau tidak mau Gita harus berjalan kaki.
Angin berhembus kencang, rambut Gita bergerak tak beratur. Menyapu wajah sendu miliknya. Dia mendongak, melihat langit yang nampak bersedih.
"Kenapa suasana seperti ini membuatku merindukan dia?" gumamnya.
Entah sejak kapan hatinya terasa perih. Luka yang tidak akan pernah bisa sembuh, trauma yang terus menghantui Gita setiap saat. Sekilas dia mengingat sesuatu kemudian membuka tas ransel dan mengambil barang yang tidak pernah dia pindah dari tas sekolahnya.
"Kamu pasti sudah bahagia ya?" lirih Gita, mengusap pelan ujung benda itu. "Aku sendirian, tidak ada yang perduli dengan keberadaanku." Sekuat tenaga Gita tidak ingin menangis, dia mengibaskan tangan ke depan wajahnya.
"Huffft..., Mengapa aku begitu lemah sekali." Gita meruntuki dirinya yang akhir - akhir ini selalu mengeluh.
Padahal setiap alur kehidupannya sudah ada yang mengatur, manusia hanya bisa melakukan yang terbaik dan berusaha berubah lebih baik lagi. Sekalipun Gita harus menerima berbagai pukulan, dia harus terus bertahan hidup. Ini semua bentuk dari rasa syukur atas hidup yang diberikan oleh Tuhan.
Mobil sedan berwarna hitam terparkir tak jauh dari halte. Gita mengerutkan kening, sepertinya dia mengenali siapa pemilik mobil tersebut. Ingin menyakinkan, Gita melihat plat mobil itu.
Tidak salah lagi. Gita segera beranjak dan mendekati mobil tersebut.
Tok .. tok ...
Gita mengetuk kaca mobil.
"Azlan, aku boleh bareng ngak ya?" tanya Gita, berharap sang pemilik mobil berbaik hati kepadanya.
Tidak ada respon, Gita mengulang mengetuk kaca mobil sekali lagi.
"Hallo Azlan, " panggil Gita.
Kaca mobil perlahan terbuka, melihat itu senyum Gita mengembang.
"Boleh ngak aku bareng?" Gita mengulang lagi pertanyaannya. "Hujan nih, ngak reda juga dari tadi," ucapnya memelas.
Azlan hanya melirik gadis itu. "Gak bisa." Pria itu menolak dengan tegas. "Jangan nyusahain orang terus!" sambungnya.
Mendengar jawaban dari Azlan, senyum Gita seketika hilang. Dia sebenarnya sudah tau akan respon pria itu, tapi sebelum mencoba 'kan tidak akan pernah tau barangkali keberuntungan datang hari ini.
"Ishh, pelit banget sih," protes Gita. "Ayo dong Azlan, sekali aja kamu berbaik hati. Kata orang, orang pelit kuburannya sempit loh." Gita berusaha membujuk Azlan.
"Boleh ya Azlan." Gita menyatukan kedua telapak tangannya bermaksut memohon. Mata Gita dibuat berkaca - kaca agar Azlan bisa berubah pikiran.
"Ngak bisa!" Azlan tetap pada pendiriannya. Pria itu menutup kaca mobil dan segera menancap gas meninggalkan Gita yang masih pada posisinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ELGITA (TERBIT)
Teen FictionWarning ?Plis, no copy paste/plagiat cerita orang?sebelum membaca Vote dan follow. ?? Sebagian part di hapus untuk kepentingan penerbitan. Jika ingin membaca lebih lengkapnya, bisa membeli novelnya melalui marketplace shopee penerbit: rangkai_media...