Hae-Sook terkejut membuka kain di depan rumahnya yang berisi ratusan koin emas. Ada surat di dalamnya.
Tolong jaga Putri untukku, Nyonya.
Aku akan terus mengirimkan koin emas untuk Anda, tolong berikan semua yang dibutuhkan atau diinginkan Putri.
Terima kasih.
Apakah ini dari laki-laki yang kemarin? Memang ada hubungan apa antara Jisoo dengan laki-laki itu hingga kemarin dia menangis saat melihat Jisoo.
Dari awal, Hae-Sook sudah tahu bahwa Jisoo merupakan gadis bangsawan. Hal ini dikarenakan sangat tidak mungkin bagi seorang gadis biasa bisa membeli rumah beserta ladang milik Baron yang dijual dengan sangat mahal.
Selain itu, saat Jisoo tiba di sini. Pasar tiba-tiba sangat ramai karena pelelangan beberapa gaun dengan kualitas terbaik. Semua gaun itu akhirnya didapatkan oleh putri Viscount, satu-satunya orang yang mampu membeli pakaian dengan harga ratusan koin emas.
Alasan lainnya adalah, tangan Jisoo benar-benar mulus. Tidak mungkin Jisoo bekerja keras untuk mendapatkan semua kemewahan dan kekayaan itu. Bahkan saat awal menjadi pegawai di toko, Jisoo tidak mengetahui apapun.
Meski begitu, Hae-Sook tidak ingin menanyakannya lebih lanjut karena tampaknya Jisoo tidak bahagia dengan kehidupannya yang dulu.
"Bibi."
Suara Jisoo dari dalam membuat Hae-Sook buru-buru mendatanginya.
"Kau sudah sadar, Jisoo? Bagaimana keaadanmu? Apakah sakit?" serang Hae-Sook dengan berbagai pertanyaan.
"Aku sudah baik-baik saja, Bibi." Jihyo berniat bangun dari ranjang. Akan tetapi, Hae-Sook sudah menahannya lebih dulu.
"Wajahmu masih sangat pucat, beristirahatlah lagi."
Sejujurnya benar ucapan Hae-Sook, Jihyo merasa seluruh tubuhnya masih sangat letih. Akan tetapi, Jihyo tidak ingin membuat Hae-Sook yang sudah sepuh ini merawatnya.
"Aku akan pulang saja, Bibi." Jihyo memaksakan diri bangkit dari ranjang, namun berujung ia segera terduduk lemas diatas lantai.
"Apa kau tidak mengdengar perkataanku, huh? Kau adalah pasien, sudah seharusnya mendengarkan perkataan orang yang sehat! Berdirilah dan kembali ke tempat tidur," omel Hae-Sook sambil berjalan ke dapur untuk mengambil ember berisi air yang akan digunakan untuk membasuh tubuh Jihyo.
"Bibi, aku-"
"Cepat kembali ke tempat tidur, aku akan menyeka tubuhmu dan kau harus makan setelahnya."
Dari sini, Jihyo masih bisa mendengar suara Hae-Sook menggerutu dan mengomelinya dari dapur. Tapi ia tahu, Hae-Sook sangat khawatir dengan kondisinya.
Berada bersama Hae-Sook membuat Jihyo sadar bagaimana pentingnya sosok keluarga yang selama ini tidak pernah Jihyo dapatkan. Sejak dulu, jika Jihyo sakit, Ayahnya tidak pernah mengunjunginya saat sakit tidak peduli seberapa lama ia sakit.
Namun, Hae-Sook mengurusnya dengan telaten meski dengan menggerutu. Tangannya yang agak kasar sebagai bukti kerja kerasnya selama ini menyeka tubuh Jihyo dengan sangat hati-hati.
Ini bukan pertama kalinya Hae-Sook merawatnya saat sakit, beberapa bulan lalu, Jihyo demam tinggi, wanita tua itu juga mengurusnya dengan baik. Bahkan karena ia tidak sembuh selama beberapa hari, ia melihat Hae-Sook menangis saat tengah malam sambil mengusap pucuk kepalanya lembut.
Oleh karena itu, Jihyo ingin pergi tadi. Karena tidak ingin merepotkan serta membuat Hae-Sook sedih.
"Kenapa kau harus memiliki kekuatan Dewa seperti ini, kau hanya menyakiti dirimu sendiri. Oh, Dewa, berani-beraninya memberikan kekuatan pada gadis lemah yang langsung tumbang ini saat menyalurkan kekuatannya."
Jihyo terkekeh pelan, "Kenapa kau memarahi Dewa, Bibi. Kau akan dikutuk jika ucapanmu terus seperti ini."
"Biarkan saja! Kau hampir mati karena menyembuhkan orang!" omel Hae-Sook.
Selama tiga hari penuh, Jihyo diurus oleh Hae-Sook di rumahnya. Bahkan ia disuapi saat jam makan karena Hae-Sook merasa Jihyo hanya makan sedikit jika tidak disuapi.
Meski begitu, banyak sekali yang datang ke rumah Hae-Sook untuk meminta diobati oleh Jihyo. Akan tetapi, semuanya Hae-Sook usir dan marahi.
"APA KALIAN TIDAK TAHU GADIS ITU HAMPIR MATI KARENA MENYEMBUHKAN PENYAKIT SIALAN INI! PERGILAH, TIDAK AKAN ADA PENGOBATAN WABAH SIALAN LAGI."
Hae-Sook memang benar-benar pemarah. Mengingatnya saja sudah cukup membuat Jihyo tertawa karena terbayang ekspresi penduduk desa.
Mungkin setelah ini, Hae-Sook akan menjadi musuh seluruh warga desa karena berbicara seperti itu.
"Kau mau ke mana?" tanya Hae-Sook setelah Jihyo mandi dan selesai mengikat gaunnya.
"Aku sudah sangat sehat, Bibi. Akan tetapi, penduduk desa masih banyak yang sakit. Aku harus menyembuhkannya-"
"Tidak! Kembali ke tempat tidurmu! Sudah aku bilang, kau tidak diizinkan lagi untuk menyembuhkan penyakit hitam itu." Hae-Sook menghalangi jalan Jihyo.
Jihyo malah memeluknya dan tertawa pelan, "Aku tidak apa-apa, Bibi. Agar tidak mengkhawatirkan Bibi, aku juga akan membatasi penggunaan kekuatanku, hanya dua puluh orang setiap harinya. Aku rasa itu tidak akan membuatku tumbang."
"Tiga orang saja!" ucap Hae-Sook.
Meski begitu, Jihyo yang keras kepala tetap saja menang.
•••
"Aku tidak percaya ada Saintess di desa kita. Ini merupakan hal yang tidak dapat dipercaya."
"Benar, Saintess di kerajaan kita hanya ada satu. Bagaimana bisa tiba-tiba ada seseorang yang baru ditunjuk oleh Dewa?"
"Kekuatan sucinya juga bukan main, dia bisa menyembuhkan hanya dengan menyentuhnya."
"Selain kekuatan sucinya, dia juga cantik dibandingkan dengan gadis-gadis di sini. Tampaknya dia berasa dari Ibukota kerajaan." Seorang pria paruh baya itu tampak menyunggingkan senyumnya.
"Kita bisa memanfaatkan kecantikannya dan kekuatannya itu. Aku penasaran bagaimana seorang dengan kekuatan Dewa memuaskanku di ranjang. Apakah kalian setuju?"
Dan malam itu, kelima pria paruh baya yang terkenal sebagai geng bandit paling meresahkan di desa Stradew itu mengepung Jihyo.
"Dia memang anak Dewa, seperti ada sinar di tubuhnya."
"Benar, gadi cantik, bermainlah bersama kami. Kau membuat kami berliur."
Jihyo tertipu.
Mereka bilang di gang ini ada yang butuh pengobatan. Akan tetapi, Jihyo dijebak oleh kelima pria paruh baya ini.
Jihyo berniat kabur, namun satu orang berhasil menarik tangannya.
"Tolong! Tolong aku-"
Bruk! Sreng!
Jihyo terkejut kala tangan pria bertubuh gemuk yang mencekal tangannya kini sudah berada di tanah.
Tangan seorang pria kini menutupi matanya. Jihyo dapat mendengar suara pedang beradu dan erangan para bandit itu.
"Maafkan aku karena tidak datang lebih cepat, Putri."
Mata Jihyo yang masih ditutup itu sudah mengeluarkan bulir bening. Hanya mendengarnya, Jihyo sudah tahu siapa laki-laki ini.
Entah kenapa pertahanannya yang mengusahakan dia baik-baik saja runtuh saat itu juga.
-TBC-

KAMU SEDANG MEMBACA
Regresi [END]
FanfictionSetelah mendapat keajaiban mengulang waktu, Jihyo tidak ingin lagi memaksakan kehendaknya untuk menjadi Permaisuri. Karena dikehidupan sebelumnya, Ia mati setelah dipenggal oleh Taehyung, suaminya sendiri. Kali ini, Jihyo berniat untuk hidup seperti...