"Di tengah Sansāra ini, langkahku terasa berat, seolah setiap pilihan membawa rasa kehilangan yang tak terhindarkan,Ashā yang dulu terang kini memudar, meninggalkan kehampaan yang tak bisa kuisi,saat ini aku hanya ingin mencari secercah cahaya meski jalannya di penuhi duri dan kegelapan.
"Hema Vandermeer"-
Belanda, Zuid-Holland
Desa Lisse, 2005Rintik hujan membasahi jalanan berbatu di desa kecil pinggiran Amsterdam. Aroma tanah basah bercampur dengan semerbak wangi bunga-bunga yang bermekaran di ladang, menciptakan harmoni khas yang hanya ditemukan di desa ini. Di kejauhan, denting lonceng gereja berdentang lima kali, menandakan pagi telah tiba.
Di sebuah rumah mungil berdinding bata merah dengan atap curam berwarna cokelat tua, Hema berdiri di ambang pintu. Tatapan matanya yang berwarna hazel tertuju pada langit kelabu, seolah mencari jawaban di antara awan-awan yang menggantung berat. Gaun katun merah mudanya tampak sedikit basah di bagian bawah, hasil dari usahanya menyelamatkan tanaman bunga yang ia rawat dengan sepenuh hati. Rambut pirang kecokelatannya yang panjang diikat seadanya, beberapa helai terlepas dan membingkai wajah lembutnya yang kemerahan karena dinginnya udara pagi.
Keheningan pagi yang syahdu itu dipecahkan oleh suara ayahnya, lembut namun sarat kekhawatiran.
"Hema, apa kau sudah memikirkannya dengan baik-baik, Nak? Apa kau tidak berpikir mungkin masih ada jalan lain, selain ini?" suara sang ayah terdengar serak, namun hangat. "Ayah baik-baik saja, selama ayah beristirahat dengan cukup. Kau tidak perlu memutuskan hal ini hanya karena aku."
Ucapannya diiringi batuk kecil yang terdengar berusaha disembunyikan, namun cukup jelas menunjukkan kondisinya.
Hema berbalik ke arah ayahnya, menyembunyikan gelombang emosi di balik senyuman hangat yang terpancar dari wajah lembutnya. Senyuman itu penuh kehangatan, namun di baliknya, hatinya terasa seperti retak, ingin menangis tapi ditahan demi orang-orang yang ia cintai.
"Tenanglah, Ayah," katanya dengan suara lembut namun penuh keteguhan. "Aku sudah memikirkannya dengan matang. Lagipula, ini hanya sebuah bisnis, sesuai dengan kesepakatan kami. Aku ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Ayah dan adik-adik."
Hema berjalan mendekat, mengambil tangan ayahnya dengan jari-jemarinya yang halus, menggenggamnya erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan dan ketenangan yang bahkan ia sendiri tak yakin ia miliki.
Ayahnya menatap putrinya dengan penuh rasa bersalah, hatinya bergejolak. Hema, gadis kecil yang pernah ia lindungi dengan segenap jiwa, kini harus menanggung beban yang seharusnya bukan miliknya. Melihat putrinya yang masih muda, lembut, dan penuh kasih, harus menikah dengan pria yang bahkan tidak ia kenal, terasa seperti pisau yang mengiris relung hatinya.
"Hema... maafkan Ayah," ucapnya, suaranya berat dan serak, penuh rasa bersalah. "Kau harus menanggung beban seberat ini di pundakmu... maafkan Ayah, Nak."
Matanya yang telah menua, dihiasi keriput hasil perjalanan hidup yang panjang, mulai dipenuhi air mata. Ia berusaha menahannya, tapi isak yang tertahan itu terasa seperti gumpalan batu yang menyakitkan di tenggorokan. Hema memandang ayahnya dengan penuh kasih sayang, mencoba menenangkan hatinya yang rapuh.
"Ayah, tolong jangan berkata seperti itu," ucap Hema, suaranya lembut namun tegas, seperti berusaha meyakinkan dirinya sendiri juga. "Kalian bukan beban bagiku, sungguh. Kalian adalah alasan aku berjuang. Aku ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk kalian, membahagiakan kalian."
Hema berhenti sejenak, menggenggam tangan ayahnya dengan lebih erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan yang ia miliki. Matanya yang hazel mulai berkaca-kaca, menahan air mata yang nyaris tumpah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Di Cakrawala,Hema Akasha. [END]
Romance(SETIAP BABNYA UDAH DI REVISI) Hema menikah dengan Akasha bukan karena ia mencintainya, tetapi karena rasa tanggung jawab yang mengikatnya pada keluarganya. Perekonomian keluarga yang semakin terpuruk,ayahnya yg jatuh sakit,kedua adiknya sedang bers...