Di sekolah, Ahyeon dikenal sebagai gadis paling populer yang juga paling sulit didekati. Cowok-cowok antre untuk jadi pacarnya, tapi sayangnya, mereka semua ditolak mentah-mentah. Alasannya? Standarnya setinggi langit! Dia cuma mau pria yang matang...
Chi menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku. Matanya lalu beralih ke pintu ruang operasi di hadapannya. Ruangan itu tertutup rapat, lampu tanda operasi menyala, menunjukkan bahwa prosedur sedang berlangsung.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Satu jam berlalu. Dua jam. Tidak ada kabar.
Chi mulai mondar-mandir di koridor rumah sakit, mencoba mengusir kegelisahannya. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir tiga jam sejak pembedahan dimulai.
Saat seorang perawat lewat, Chi dengan cepat menghentikannya.
"Maaf, kira-kira berapa lama operasi transplantasi ginjal biasanya berlangsung?" tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar.
Perawat itu menatapnya dengan lembut sebelum menjawab, "Biasanya sekitar tiga sampai lima jam, tergantung kondisi pasien dan proses transplantasi itu sendiri. Tapi jangan khawatir, dokter yang menangani pasti sudah mempersiapkan semuanya dengan baik."
Chi mengangguk pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun, rasa cemasnya semakin meningkat ketika satu jam kemudian, seorang dokter tiba-tiba keluar dari ruang operasi dengan ekspresi tergesa-gesa.
"Apa yang terjadi, Dok?" Chi langsung menghampiri dengan panik.
Dokter itu menghela napas. "Ada krisis. Tabung oksigen di ruang bedah habis. Kami sedang mengatur pergantian, tapi butuh beberapa menit."
Ruang bedah menjadi huru-hara. Beberapa perawat dan teknisi medis bergegas membawa tabung oksigen cadangan, sementara dokter kembali masuk ke ruang operasi dengan ekspresi serius.
Chi berdiri terpaku di tempatnya, dadanya terasa sesak. Airmata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh tanpa bisa dikendalikan.
Kali ini, dia benar-benar sendiri. Tanpa Ahyeon di sampingnya. Tanpa siapa pun yang bisa memeluknya dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tapi dia tahu, tidak ada pilihan lain.
Dia harus menjadi kuat.
Dengan napas yang tidak beraturan, Chi duduk di bangku panjang di luar ruang operasi. Tangannya mengepal di atas pahanya, mencoba menenangkan diri meski tubuhnya sedikit gemetar.
"Tolong bertahan, Ma, Pa..." bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Tidak peduli seberapa hancur perasaannya saat ini, dia harus tetap berdiri. Dia harus tetap menunggu.