Sudah dua minggu sejak mereka meninggalkan hutan itu.
Dua minggu sejak mereka kehilangan A-na.
Dua minggu sejak Jiwoo dan Juun ditelan danau, tanpa sempat berpamitan.
Kota tampak biasa saja—lalu lintas berjalan normal, orang-orang tertawa di kafe, dan sinar matahari jatuh ke jendela kamar mereka seperti tak terjadi apa-apa. Tapi bagi mereka, dunia sudah berubah. Sesuatu telah mati… dan tak akan pernah kembali.
Ye-on duduk di pojok kamar, menatap kosong ke arah jendela. Cahaya senja memantul di matanya, tapi yang dilihatnya bukan kota. Yang dia lihat adalah permukaan danau itu, yang memantulkan wajah Jiwoo… atau sesuatu yang menyerupainya.
“Ye-on?” panggil Yuha dari balik pintu. “Kita makan, yuk. Kamu belum keluar kamar seharian…”
Tak ada jawaban.
Yuha menggigit bibir, lalu pelan-pelan membuka pintu. Di dalam, Ye-on masih diam. Tapi matanya… penuh air.
“Aku denger dia lagi tadi malam,” bisiknya.
Yuha berhenti di ambang pintu. “Siapa?”
“Jiwoo,” Ye-on menoleh perlahan. “Suara dia. Dia bilang… 'Kamu janji nggak ninggalin aku, kan, Ye-on?'”
Carmen duduk sendirian di balkon apartemen, mengamati cahaya kota malam. Di tangannya, secarik kertas lusuh—halaman terakhir dari buku harian tua yang mereka bawa pulang dari kabin.
Tulisan tangan terakhir:
> "Kutukan tidak sepenuhnya berakhir. Ia hanya tertidur. Dan saat mimpi buruk cukup kuat… ia akan bangun kembali."
Carmen meremas kertas itu. Di benaknya, ia bisa membayangkan A-na menyelam ke dalam kegelapan, menahan makhluk itu dengan seluruh keberaniannya. Tapi… apakah itu cukup?
Malam itu, mereka berlima duduk bersama untuk pertama kalinya sejak kembali ke kota.
Stella memeluk bantal dan memandangi Ian yang duduk bersandar di tembok, tatapannya kosong. Yuha mencoba menghidupkan suasana dengan teh hangat dan camilan, tapi tak seorang pun menyentuhnya.
“Apa kalian juga… masih dengar suara-suara itu?” tanya Ian pelan.
Semua menoleh padanya.
Yuha menunduk. “Kadang... di antara suara angin. Atau bisikan air keran di kamar mandi.”
“Mereka bilang… kutukannya udah berhenti,” gumam Stella. “Tapi kenapa aku mimpi A-na tiap malam? Dan di mimpiku… dia menangis.”
Carmen menghela napas panjang. “Mungkin… danau itu bukan sekadar tempat. Mungkin itu semacam entitas. Energi. Trauma. Dan waktu kita ke sana, kita udah masuk terlalu dalam…”
“Dan sekarang…” Ye-on melanjutkan, “...kita nggak pernah benar-benar keluar.”
Beberapa hari kemudian…
Ye-on duduk di halte bus sepulang dari terapi. Matanya sembab. Terapi tak banyak membantu. Psikolog bilang dia mengalami PTSD. Tapi dia tak bisa bilang satu hal pada siapa pun:
Jiwoo sering duduk di sampingnya.
Malam-malam, di kursi belajarnya. Di kamar mandi. Bahkan… kadang di kaca cermin.
“Kenapa kamu ninggalin aku, Ye-on?” bisik bayangan itu.
Ye-on memejamkan mata dan menggigit bibir. Dia tahu itu bukan Jiwoo. Jiwoo sudah… hilang. Tapi danau, entah bagaimana, masih menyimpan sesuatu dari mereka. Dan dia merasa… sepotong jiwanya tertinggal di sana.
Hari itu hujan. Langit menggulung gelap. Kilat menyambar jauh di atas gedung pencakar langit.
Carmen memandangi layar ponselnya. Pesan dari Stella masuk:
> [Stella]: Aku mimpi Juun semalam. Dia bilang 'Aku belum pulang'. Apa maksudnya?
Tiba-tiba, bunyi notifikasi masuk dari Ye-on.
> [Ye-on]: Aku denger suara Jiwoo lagi. Dia bilang danau belum selesai sama kita.
Carmen merasakan dingin menjalar ke punggung. Hujan makin deras, dan suara air menabrak jendela seperti… suara tawa kecil.
Dia menoleh.
Di sudut kaca, sesosok gadis berdiri. Basah kuyup. Rambutnya menutupi sebagian wajah.
Jiwoo?
Ia berkedip. Dan sosok itu menghilang.
Malam itu, lima dari mereka berkumpul di kamar Carmen. Lilin menyala karena listrik mati akibat hujan. Angin mendesing lewat ventilasi, dan suasana mendadak seperti di kabin dulu.
“Aku gak kuat kalau ini terus terjadi,” bisik Ye-on. “Aku takut suatu malam aku nurut suara Jiwoo dan… kembali ke danau.”
“Kita harus ngelawan,” ujar Yuha dengan suara parau. “Kita yang masih hidup. Kita yang harus terus bertahan.”
Ian memandang kosong ke api lilin. “Tapi kenapa rasanya… kita gak pernah benar-benar pulang?”
Mereka semua diam.
Dan saat itu, suara terdengar dari jendela.
Ketukan pelan.
Tok. Tok. Tok.
Mereka saling menatap.
Stella berdiri dengan tubuh gemetar, lalu membuka tirai.
Kosong.
Tapi di kaca, tulisan kabur muncul karena embun:
“Bantu aku.”
Hari-hari berikutnya menjadi kabur. Carmen menulis semuanya—setiap penglihatan, suara, mimpi. Stella mencatat frekuensi kemunculan bayangan. Ian mulai merekam suara-suara aneh di malam hari. Yuha menggali catatan sejarah dan legenda tentang danau itu.
Mereka tak bisa melupakan.
Karena danau itu... tak pernah tidur.
Dan mereka sadar…
Kutukan belum selesai.
Batu purba memang dihancurkan.
Tapi sesuatu entah roh, ingatan, atau kesadaran purba telah menyusup ke dalam diri mereka. Mereka membawa danau itu ke kota, ke kehidupan mereka. Danau itu kini hidup dalam mimpi, dalam suara, dalam pantulan cermin.
Ye-on menulis di buku hariannya malam itu:
> “Aku takut. Tapi aku juga tahu… suatu hari nanti, kami harus kembali ke sana. Karena danau itu... belum selesai dengan kami. Dan mungkin... tak akan pernah.”

KAMU SEDANG MEMBACA
The Forgotten Lake
HorrorDelapan wanita dari klub renang pergi ke danau legendaris untuk liburan, tetapi air danau itu dihuni oleh makhluk yang menyeret siapa pun ke dalamnya. Mereka harus bertahan hidup dan mengungkap misteri di balik danau yang telah memakan banyak korban.