Tubuh gadis ini... sungguh lemah dan penuh emosi yang menggelikan. Renata tersenyum kecil saat Maya dengan antusias bercerita tentang drama Korea terbaru yang sedang ditontonnya. Senyum yang dipaksakan, namun cukup untuk membuat gadis-gadis ini merasa diterima.
Mereka begitu mudah percaya. Kehangatan dan persahabatan mereka terasa begitu nyata bagi mereka, namun bagiku, itu hanyalah alat. Sebuah cara untuk mendekati target utama. Anya. Gadis dengan kekuatan yang mengalir dalam darahnya.
Aku bisa merasakan energinya, samar namun kuat, seperti bara api yang tersembunyi di balik abu. Kekuatan 'Sukma Lelana'. Aku harus memilikinya. Itu akan menjadi kunci kebebasanku, kekuatan yang akan membuatku melampaui keterikatanku pada pohon tua itu.
Renata mengangguk-angguk sambil mendengarkan cerita Risa tentang cowok ganteng di sekolah lain. Betapa dangkalnya minat mereka. Cinta, persahabatan, hal-hal remeh yang mengisi benak manusia fana. Namun, aku harus memainkannya. Aku harus menjadi bagian dari dunia mereka agar bisa mendekati Anya tanpa menimbulkan kecurigaan.
Anya. Ia begitu polos dan baik hati. Ia mudah sekali tersentuh oleh kesedihan Renata (kesedihan yang sebenarnya adalah sisa-sisa emosi gadis ini sebelum aku mengambil alih). Ia menawarkan persahabatan tanpa ragu, tanpa curiga sedikit pun. Betapa naifnya.
Saat Anya bercerita tentang mimpinya menjadi seorang penulis, tentang dunia-dunia fantasi yang ia ciptakan dalam benaknya, aku mendengarkan dengan seksama. Kekuatan imajinasinya mungkin bisa berguna. Mungkin ada cara untuk memanipulasinya melalui hal-hal yang ia cintai.
Maya dengan ketenangannya dan Risa dengan kehebohannya, mereka berdua adalah pelindung Anya. Aku harus berhati-hati agar tidak membuat mereka curiga. Aku harus menjadi bagian dari trio ini, menjadi orang yang mereka percaya.
Aku mempelajari kebiasaan mereka, kelemahan mereka. Maya terlalu logis, Risa terlalu impulsif. Anya... Anya memiliki hati yang lembut dan rasa ingin tahu yang besar. Itu akan menjadi titik masukku.
Saat mereka tertawa bersama di kantin, berbagi cerita dan makanan, aku ikut tertawa. Tawa yang tidak terasa, tawa yang hanya kulakukan untuk menyesuaikan diri. Di dalam tubuh ini, aku merasakan sedikit sisa-sisa emosi Renata, kerinduan akan persahabatan yang tulus. Namun, emosi itu dengan cepat kutepis. Aku tidak punya waktu untuk kelemahan seperti itu.
Tujuanku jelas. Mendapatkan kekuatan Anya. Membebaskan diri dari keterikatan ini. Dan kemudian... kemudian aku akan menikmati kebebasan yang telah lama kurindukan.
Aku melihat Anya. Ia tersenyum tulus padaku, menawarkan sepotong kue yang dibawanya dari rumah. Bodoh sekali. Ia tidak tahu siapa yang sebenarnya berdiri di sampingnya, mengenakan topeng persahabatan.
Aku menerima kue itu dan memaksakan senyum. "Terima kasih, Anya."
Permainan baru saja dimulai. Dan aku akan memastikan aku yang akan memenangkannya.
Aku terus berinteraksi dengan mereka, menjadi sahabat yang baik, pendengar yang setia. Aku belajar tentang keluarga Anya, tentang adik-adiknya, tentang ibunya. Informasi yang berharga.
Malam harinya, saat tubuh Renata terbaring di tempat tidur, aku mengarahkan kesadaranku kembali ke pohon beringin tua di taman Anya. Aku bisa merasakan keberadaanku di sana, terikat namun tetap mengawasi. Aku melihat Anya di kamarnya, membaca buku di bawah cahaya lampu tidur.
Bersabarlah, Anya. Sebentar lagi, kita akan bertemu dalam kondisi yang berbeda. Sebentar lagi, kekuatanmu akan menjadi milikku.
Senyuman dingin kembali terbentuk di bibir Renata yang terbaring di tempat tidur. Kegelapan menyelimuti kamar itu, menyembunyikan rencana kelam yang sedang disusun di balik topeng persahabatan.
Bersambung....
