Pagi itu, Arga terbangun di tempat tidur yang terasa terlalu besar dan kosong. Ia menatap langit-langit yang seakan tak pernah berubah. Hatinya tak lagi bersemangat, tak ada senyum yang mengembang seperti dulu. Sylvia, yang sudah siap untuk berangkat, memandangnya dengan cemas."Arga..." Sylvia berkata lembut, "Kamu baik-baik saja?"
Arga hanya mengangguk pelan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia tahu, ia tak lagi sama. "Aku... aku tak tahu apa yang harus kulakukan," ujarnya akhirnya dengan suara lemah.
"Ayo, kita harus terus maju," kata Sylvia, menyentuh bahunya. "Aku tahu ini sulit, tapi kita harus melanjutkan pencarian ini. Semua yang kita lakukan semuanya berbuah hasil, itu pasti."
"Iya, terimakasih. Kita pasti bisa menyelamatkannya." Arga menjawab dengan nada yang tak sama sekali menunjukkan semangat.
"Ayolah Arga, senyumlah sedikit. Aku masih disini, aku akan menemanimu sampai kita mencapai tujuan. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, Arga. Walaupun aku harus sakit dan terluka, aku tetap akan di sampingmu. Bagilah rasa sakit yang kau simpan itu, kau akan lebih ringan jika membaginya." Arga hanya mengangguk pelan.
Arga menatapnya sekilas dan kemudian berdiri. "Kita akan berpencar. Aku perlu mencari jawaban sendiri." Sylvia menghela napas, tapi hanya mengangguk dan berjalan ke arah yang berlawanan.
Arga melangkah pelan menuju jalan yang lebih sunyi. Dunia seakan berjalan di sekelilingnya, namun ia merasa terputus dari segalanya. Tidak ada lagi yang membuatnya merasa hidup. Takdir terasa begitu berat. Hina... hilang. Semua yang ia perjuangkan terasa sia-sia.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang anak perempuan berlari ke arah jalan yang sibuk. Wajahnya penuh air mata, dan tubuhnya tampak gemetar. Seperti ada yang mendorongnya, Arga berlari ke arahnya, berteriak, "Hei, hati-hati!"
Anak itu tidak mendengar, terus berlari dengan terburu-buru. Arga mengumpulkan seluruh kekuatan untuk mengejarnya, menarik tubuhnya ke samping jalan tepat saat sebuah kendaraan melaju kencang melewati mereka. "Kamu baik-baik saja?" Arga bertanya, nafasnya terengah-engah.
Anak itu terisak, "Ibuku... ibuku baru saja meninggal..." jawabnya dengan suara terputus-putus, tubuhnya gemetar hebat.
Arga merasa hatinya semakin berat, tapi ia hanya bisa menepuk bahu anak itu dengan lembut. "Kita akan pergi ke rumahmu," katanya, meski hatinya sendiri terperangkap dalam kesedihan yang dalam.
Mereka berjalan bersama menuju rumah anak itu. Di depan pintu, seorang pria tua muncul. Wajahnya penuh keriput, rambutnya putih seperti salju. Ia menatap Arga dengan mata yang penuh pengertian.
"Terima kasih telah menyelamatkan cucuku," katanya, suaranya tenang dan berat. "Dia... dia sangat terburu-buru. Ibunya baru saja meninggal."
Arga menundukkan kepala, perasaan kosong semakin mendalam. "Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan," jawabnya pelan.
Pria itu mengangguk dan mempersilakan Arga masuk. "Ayo, masuk. Anak ini butuh ketenangan," kata pria itu, lalu ia duduk di dekat meja kayu yang sudah tua. Arga duduk di seberangnya.
"Anak muda," kata pria itu tiba-tiba. "Kehidupan ini penuh dengan kehilangan. Tapi kita harus belajar menerima kenyataan itu, meskipun sulit."
Arga menatap pria tua itu dengan tatapan kosong. "Tapi bagaimana jika kita tidak bisa menerima kenyataan itu?" tanyanya, suara Arga terdengar hampa. "Bagaimana jika kita tak bisa berhenti merasakan sakit? Seperti aku... kehilangan segalanya... kehilangan Hina..."
Pria itu menghela napas pelan, menatap Arga dengan tatapan yang begitu dalam. "Kehilangan adalah bagian dari hidup. Takdir memang tak bisa diubah, tapi kita bisa memilih bagaimana kita menghadapinya. Kita bisa memilih untuk berhenti atau untuk terus berjalan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Forms Of Time And Promises (HIATUS)
Mystery / ThrillerForms Of Time And Promises Genre: Misteri, Fantasi, Drama, Psikologi, Fiksi sejarah, Romansa. Arga heaven, seorang mahasiswa pendidikan sejarah, tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis setelah menemukan seorang gadis misterius di bawah...