抖阴社区

Jaemren

437 26 0
                                        

🍓macaron🍓

> Kata orang, waktu akan menyembuhkan segalanya.
Tapi bagaimana jika waktu justru membuatmu jatuh lebih dalam?

Renjun bukan orang yang suka perubahan.

Dia tipe yang kalau sudah cocok sama satu merek sabun, bakal beli itu terus sampai produk itu disuntik mati. Sama halnya dengan rutinitas paginya yang nggak pernah berubah sejak awal semester tiga: bangun jam tujuh, nyeduh teh chamomile, buka jendela kamar kos, lalu menggambar sesuatu di memo board miliknya.

Yang berubah hanya satu hal.
Atau satu orang, tepatnya.

Na Jaemin.

Anak jurusan DKV, satu kelas di mata kuliah pilihan, dan satu-satunya orang yang berani duduk di sebelah Renjun tanpa minta izin dulu.

“Gue nggak suka tempat duduk yang kena matahari langsung,” kata Jaemin waktu itu sambil menaruh tasnya di kursi sebelah Renjun. “Kebetulan lo duduk di tempat adem. Gitu aja, ya?”

Renjun hanya mengangguk. Tapi sejak hari itu, tempat duduk di sebelahnya selalu terisi. Dan entah bagaimana, Jaemin juga mulai muncul di banyak sisi hidupnya.

Satu minggu. Dua minggu. Sebulan...
Mereka mulai sering jalan bareng. Makan bareng. Nugas bareng. Sampai akhirnya orang-orang mengira mereka pacaran.

Lucunya, Renjun nggak keberatan.
Padahal biasanya, dia paling anti sama orang yang terlalu dekat dengannya.

Tapi Jaemin beda.
Jaemin nggak ribut, tapi juga nggak dingin. Jaemin tahu kapan harus diam, dan kapan harus jadi berisik. Jaemin bisa bikin Renjun marah, tapi juga jadi orang pertama yang bisa bikin Renjun ketawa.

Jaemin itu kayak..  macaron.
Lembut, hangat, manis. Tapi juga nggak bikin eneg.

Sayangnya, hal-hal manis seringkali berumur pendek.

“Lo akhir-akhir ini sibuk, ya?”
Renjun bertanya malam itu, saat mereka nggak sengaja ketemu di minimarket.

Jaemin tampak terkejut. Tapi langsung senyum. “Iya. Maaf, Jun. Ada proyek tambahan dari dosen pembimbing. Gue harus sering ke luar kota juga.”

“Gue kira lo ngilang karena gue.”
Renjun menunduk, merasa bodoh setelah ngomong itu.

Tapi Jaemin malah mendekat. Mengacak pelan rambut Renjun.

“Gue nggak akan pernah ngilang dari hidup lo,” kata Jaemin pelan. “Kecuali lo yang minta gue pergi.”

Beberapa hari kemudian, Jaemin datang ke kos Renjun. Membawa susu cokelat dingin dan roti panggang.

“Gue tahu lo belum makan,” katanya sambil menyodorkan bungkusan itu.

Renjun hanya tersenyum kecil. Diam-diam senang karena Jaemin masih ingat.

“Lo tahu kan minggu ini minggu terakhir bulan April?” tanya Jaemin sambil duduk di karpet kamar Renjun, bersandar ke kasur.

Renjun mengangguk pelan. “Tahu. Kenapa?”

Jaemin menatap langit-langit, seolah mencari kata.

“Aku harus magang ke luar negeri, Jun. Mulai bulan depan.”

Renjun menegang.
“Selama...?”

“Enam bulan.”

Dan kali ini, Renjun tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dia menarik napas panjang, lalu menatap Jaemin dengan mata yang mulai berkaca.

“Gue kira... kita bisa lebih lama begini.”

Jaemin berdiri. Mendekati Renjun. Menunduk sedikit untuk menyamai tinggi tubuh Renjun yang duduk di kasur.

“Gue juga kira begitu,” bisiknya. “Tapi kesempatan ini besar. Dan... lo tahu, gue pengen banyak hal. Pengen lo juga ada di sana suatu hari nanti.”

Renjun hanya menatap Jaemin lama. Tidak bicara. Tidak tersenyum. Tapi saat Jaemin menariknya ke pelukan hangat, Renjun membalas pelukan itu dengan erat. Seolah tidak ingin dilepaskan.

Hari terakhir bulan April.
Renjun berdiri di bandara. Menatap Jaemin yang sudah siap berangkat. Matanya sembap, tapi wajahnya tetap datar.

Jaemin meraih tangan Renjun. Menggenggamnya dengan erat.

“Gue pergi bukan untuk ninggalin lo,” kata Jaemin.

Renjun diam.

“Gue pergi untuk kembali—dan kali ini, gue bakal bawa masa depan yang bisa kita jalanin bareng.”

Renjun akhirnya bicara.
“Kapanpun lo kembali... gue masih suka teh chamomile dan sabun aroma lemon.”

Jaemin tertawa kecil. “Dan gue masih suka lo yang nggak bisa nyembunyiin perasaan walau wajah lo kelihatan dingin.”

Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya sebelum keberangkatan itu. Tapi entah kenapa, Renjun tidak merasa seperti ditinggalkan.

Enam bulan kemudian.

Renjun duduk di café kecil dekat kampus. Tempat yang dulu sering mereka datangi berdua. Tangannya sibuk mencoret-coret sketsa. Tapi pikirannya entah kemana.

Tiba-tiba, ada tangan yang menyodorkan susu cokelat dingin ke hadapannya.

“Masih suka ini?”
Suara itu membuat Renjun menoleh dengan cepat.

“Na Jaemin?”

Jaemin tersenyum. Rambutnya agak lebih panjang sekarang. Wajahnya sedikit lebih tirus. Tapi senyum itu masih sama—senyum yang bikin Renjun merasa aman.

“Miss me?”

Renjun berdiri. Tanpa banyak kata, tanpa banyak basa-basi, dia langsung memeluk Jaemin. Kencang. Hangat. Lama.

“Lo nggak kasih kabar kalau pulang...” gumam Renjun, suaranya nyaris tak terdengar.

“Gue mau bikin kejutan. Dan... gue rindu lo banget.”

Renjun diam. Tapi senyum kecil yang muncul di wajahnya cukup menjawab semuanya.

“Lo masih suka teh chamomile dan sabun lemon?”

“Masih.”

“Bagus. Karena gue udah bawa satu koper penuh sabun lemon buat lo.”

Renjun tertawa. Jaemin ikut tertawa.
Dan di tengah café yang mulai penuh, mereka berdiri saling menatap—seperti dua orang yang akhirnya pulang ke rumahnya masing-masing.

Karena ternyata, rumah bisa juga berbentuk seseorang.

End.

ini lebih gajelas karna ini ide tengah malem begini, ngantuk juga, capek awokawokawok, mls klo g ditulis nnti ilang, klo mau revisi yg ada ntar makin aneh. yaudah terima aja apa adanya ye🩷

lop yu sekebonnnn🩷🩷🩷🩷🩷

Salam hangat
—Ayi🍓

Renjun With DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang