Beberapa hari setelah Juna mulai sadar dan dirawat secara intensif di rumah sakit, suasana di ruangan itu terasa lebih tenang. (y/n) sedang mencatat hasil pemeriksaan terakhir ketika suara ketukan lembut terdengar di pintu.
Tok. Tok.
(y/n) menoleh, dan seorang perempuan berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak cemas, matanya sembab seolah baru menangis. Dia mengenakan hoodie abu-abu yang kebesaran dan jeans lusuh. Begitu tatapannya bersirobok dengan (y/n), ia mencoba tersenyum-gugup, penuh beban.
"Maaf, ini... ruang rawat atas nama Juna?" suaranya lirih.
(y/n) mengangguk. "Iya. Anda siapa, ya?"
"Nama saya Enon," jawabnya pelan.
"Saya... orang terdekat Juna. Boleh saya masuk?"(y/n) menatapnya beberapa detik, lalu mempersilakan Enon masuk. Ia berdiri di samping tempat tidur Juna yang masih berbaring lemah, meski sudah mulai bisa bicara dan duduk pelan-pelan.
Ketika Enon masuk, Juna menoleh-tatapannya bingung. Tidak ada pengenalan di matanya. Wajah yang dulunya begitu akrab, kini tampak asing baginya.
Enon berdiri kaku di sisi ranjang, lalu membuka suara, "Jun..." suaranya bergetar, "aku... aku minta maaf."
Juna menatapnya, bingung. "Kamu... siapa?"
Enon mengatupkan bibirnya, menahan sesak yang mendesak di dada.
"Aku... Enon. Pacarmu. Maksudku... mantan pacarmu." Ia tertawa kecil, namun getir.
"Setidaknya sebelum kamu mengalami kecelakaan itu."Juna menunduk perlahan, matanya kosong. "Maaf... aku nggak ingat."
Perkataan itu membuat hati Enon seolah terbelah dua. Tapi ia tahu ia pantas menerimanya.
"Aku tahu," balasnya lirih.
"Dokter bilang kamu kena amnesia. Tapi aku tetap datang karena... aku merasa ini semua salahku. Setelah aku marah dan bilang 'kita putus', kamu kabur naik motor dan-" suaranya tercekat. "Dan kamu kecelakaan."Juna menatap Enon tanpa ekspresi yang ia kenali. Tak ada marah, tak ada sedih, hanya tatapan kosong yang mencoba memahami.
"Aku benar-benar minta maaf," lanjut Enon.
"Aku egois. Aku pikir aku butuh waktu sendiri. Tapi bukan berarti aku ingin kehilangan kamu begini."Keheningan melanda. Hanya suara detak mesin monitor yang menemani mereka.
Juna akhirnya membuka suara, pelan tapi jujur.
"Aku nggak tahu siapa kamu. Tapi kalau kamu datang dan minta maaf, itu artinya kamu peduli... dan mungkin, aku juga dulu begitu."Enon tersenyum pahit, air matanya mulai jatuh.
"Kita punya banyak kenangan, Jun. Tapi sekarang kamu bahkan nggak tahu siapa aku."Juna mengangguk pelan. "Mungkin... kita bisa kenalan lagi dari awal?'
Enon terisak pelan, senyumnya merekah di tengah air mata. "Kalau kamu mau... aku mau."
Dari sudut ruangan, (y/n) yang menyaksikan diam-diam menggenggam buku catatannya lebih erat. Ada sesuatu di dadanya yang perih, tak bisa dijelaskan. Tapi ia tahu-ini bukan tempatnya untuk merasa seperti itu. Ia membalikkan badan dan meninggalkan ruangan dalam diam, menyisakan dua orang yang mencoba memperbaiki kisah mereka dari nol.
