Tapi langkah (y/n) terasa lebih berat dari biasanya. Seolah, ada satu bagian dari dirinya yang baru saja mulai retak.
<<>>
Malam itu, hujan turun deras di luar jendela rumah sakit. Langit tampak muram, seakan ikut merasakan kegundahan hati yang tersembunyi di balik dinding ruang perawatan.
(y/n) duduk sendiri di ruang ganti dokter. Lampu redup menyinari wajahnya yang pucat dan lelah. Kedua tangannya menggenggam erat jas dokternya yang dilipat rapi di pangkuan. Pandangannya kosong, menembus dinding di hadapannya. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang tak bisa ia sebut, namun juga tak bisa ia abaikan. Rasa sesak, hampa, dan patah... bercampur jadi satu.
Tadi sore, ia menyaksikan Enon dan Juna-dua orang yang dulu asing baginya-mulai terhubung kembali. Seharusnya ia merasa lega sebagai seorang dokter. Pasiennya membaik, dan orang terdekat pasien kembali mendampingi. Tapi kenyataannya... yang ia rasakan justru sebaliknya.
Perih.
Tak ada alasan logis. Ia dan Juna tak pernah punya hubungan pribadi. Mereka hanya pasien dan dokter. Tapi sejak hari pertama Juna membuka matanya dan memanggil namanya, sejak percakapan-percakapan aneh tentang perasaan yang "terasa dekat" meski tak saling kenal-sejak itu, (y/n) merasa ada sesuatu yang tumbuh. Diam-diam. Perlahan. Tapi nyata.
Dan sekarang, semua itu sirna begitu saja.
Enon datang, dan seketika segalanya berubah. Juna tak lagi mencari-cari (y/n) dengan pandangan kebingungan. Tak lagi menanyakan apakah mereka pernah saling kenal. Ia kini memiliki seseorang yang mengaku telah mengenalnya lebih dulu, lebih dalam. Dan (y/n)... hanya menjadi bayangan.
Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang nyaris jatuh. Tapi akhirnya, ia tak mampu lagi.
Tangis itu pecah.
Sunyi, pelan, dan menyesakkan. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. Bahunya berguncang, membiarkan semuanya runtuh dalam diam.
"Aku bodoh..." gumamnya parau.
"Kenapa harus berharap pada seseorang yang bahkan tidak mengingat siapa dirinya?"Ia mencoba tertawa di sela tangisnya, tapi suara itu terdengar lebih seperti luka.
Malam itu, (y/n) menangis seorang diri, di ruangan yang dingin dan kosong. Tak ada yang tahu, tak ada yang melihat. Tapi di sanalah seorang perempuan yang selama ini kuat dan profesional... akhirnya runtuh, dihantam oleh rasa kehilangan yang bahkan tak punya nama.
Karena bagaimana mungkin ia merasa kehilangan...
...seseorang yang sebenarnya tak pernah menjadi miliknya?Itu yang (y/n) pikirkan malam itu, saat ia kembali duduk sendiri di ruang istirahat rumah sakit. Di luar, hujan kembali turun, seperti ingin ikut menangis bersamanya. Namun di balik keputusasaan yang menggantung, takdir ternyata masih menyimpan satu kejutan terakhir.
Sementara itu, Juna duduk di taman belakang rumah sakit. Udara dingin menyentuh kulitnya, tapi yang membuat tubuhnya menggigil justru bukan angin-melainkan sebuah mimpi yang kembali datang tadi malam.
Dalam mimpi itu, ia melihat dirinya yang masih kecil... berlarian di ladang rumput bersama seorang gadis kecil bermata cerah. Mereka duduk di bawah pohon mangga, tertawa, lalu saling mengaitkan kelingking.

O9 - Juna Sedunia - II
Mulai dari awal