Setelah penampakan Ugram hari itu, Hara mengalami kesulitan tidur. Ia mencoba melahap sisa-sisa kue beras keras yang ia simpan di rak nakas kecil di samping tempat tidur; berharap rasa mengerikan makanan itu akan mengalihkan pikirannya.
Gagal.
Ia menenggak habis jatah air minumnya yang tinggal setengah gelas belimbing; berharap kepanikan yang timbul akibat kelak harus menahan dahaga sampai tengah hari menyerang akal sehat.
Gagal juga.
Ia beranjak, mula-mula berjalan mondar-mandir, lalu berangsur lari mengitari kamar sempit sebesar dua kali dua meter itu sampai terengah-engah; berharap rasa lelah membuatnya terlalu sibuk untuk bisa mengingat apa pun.
Masih gagal.
Hara sudah nyaris menangis saat kepalanya—didesak oleh rasa frustrasi akan ketakutan yang sangat ia benci—mendadak menengadah, lantas berteriak dengan mata tertutup. Kemuskilan dalam suaranya tersirat bagai debu nan disorot cahaya, tapi tak seorang pun tampak memahaminya; mereka tidak punya waktu untuk ikut campur masalah Hara yang tak jelas. Orang-orang terlalu sibuk dalam usaha mereka mengunjungi pulau kapuk nan apak, sebab besok mesti memeras peluh lagi demi seceret air dan semangkuk sup bayam hambar. Alih-alih bersimpati, mereka justru akan marah.
Hara Blezana agak tersentak saat seseorang menggedor pintu kamarnya, baru sadar bahwa ia telah melakukan sesuatu yang tidak patut ditiru.
“Jahit mulutmu, Sialan!” suara dari balik pintu itu menghardik. Kedengarannya berasal dari Bu Arlo yang tidur tepat di samping kamar Hara.
Bu Arlo menggedor lagi tiga kali. “Jangan karena kau yatim piatu lantas bisa bersikap seenaknya, ya! Bukan urusanku jika kau tak mau tidur, tapi setidaknya jangan mengacau!”
Hara menghela napas dalam-dalam sementara peluh menetes ke pelipis. Belakang leher dan rambutnya agak basah karena keringat. Ruangan tanpa jendela ini sama sekali tidak membantu. Ventilasi sempit di atas pintu kamar seperti tidak ada gunanya kecuali untuk para tikus dan kecoa yang kelaparan.
Gadis itu menyeka dahi dengan sisi lengan dan menghampiri pintu kamar. Sementara ia membuka daun pintu, kata-kata ”maaf, aku tidak sengaja” keluar dari mulutnya.
“Kecuali kau kesurupan, siapa yang akan percaya bahwa kau tidak sengaja berteriak?” Bu Arlo membentak lagi.
Hara menarik kembali perasaannya yang semula agak bersalah. Namun, di mata orang lain, air muka gadis itu berubah membatu, seakan-akan marah setelah mendengar kata-kata Bu Arlo. Wanita kurus berkulit putih pucat di hadapan Hara itu tanpa sadar surut selangkah. Wajah judes Hara terkenal di seantero Dala dan nyaris tak seorang pun mau berurusan karenanya.
Hara melangkah sekali lagi sampai tiba di tengah pintu. “Bu Ar, aku sudah minta maaf bahkan setelah kau menyinggung soal aku yatim piatu. Apa? Kau mau aku bersujud di kakimu untuk memohon ampun?”
Wajah Bu Arlo merah padam, antara malu dan berang. Hidungnya kembang kempis seperti kerbau hampir mati yang secara tidak tahu diri masih ingin menyeruduk seekor bison afiat. Tangan kecil wanita itu mengepal di samping tubuh sementara matanya menatap ke segala arah kecuali mata Hara yang tajam. Dengan bibir mencebik menghina, ia mendengkus keras satu kali, lalu berderap masuk kembali ke kamarnya sendiri.
Hara menghela napas sekali lagi. Diam-diam rasa bersalah tadi muncul lagi, menyadari bahwa dari awal ini memang salahnya. Tidak seharusnya ia bersikap begitu pada Bu Arlo.
Hara beranjak dari tempatnya berdiri ke dinding beton lapis baja di sebelah pintu kamar; menyandarkan punggung dan berjongkok di sana seperti gembel dalam film dokumenter yang pernah ia tonton semasa kecil. Tangan terlipat di atas lutut dan kepala tersanggah miring di atasnya, Hara mulai melamun; belum sadar bahwa ia nyaris berhasil mengusir ingatan akan kata-kata Ugram yang misterius tadi siang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Java Fungard Series: BARUNUSA
Science FictionWabah SIRAI telah menyebar! Beberapa abad lalu, supervulkan Toba meletus, menyelimuti langit dengan kegelapan. Kini, manusia dihadapkan dengan kemelut baru yang mengharuskan mereka tinggal di bawah tanah. Hara Blezana hanyalah seorang pembuat kue di...