Boom berdiri di depan pintu rumah orang tuanya dengan tangan yang sedikit gemetar. Meskipun sudah berusia 33 tahun, menghadapi orang tuanya tetap membuatnya merasa seperti anak kecil yang sedang menunggu hukuman. Di sebelahnya, Smart menggenggam tangan Boom dengan erat, memberikan dukungan tanpa kata.
"Kamu yakin mau masuk?" Bisik Smart, khawatir melihat Boom begitu tegang.
Boom mengangguk pelan. "Mereka harus tau. Aku nggak mungkin menyembunyikan ini lebih lama lagi."
Smart menghela nafas, masih tidak rela melihat Boom harus menghadapi ini sendirian. Tanpa berpikir panjang, ia menekan bel rumah.
Tak lama kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Ayah Boom, pria berwibawa dengan jas rapi. Ibu Boom, yang berdiri di belakangnya, tampak anggun seperti biasa.
"Boom? Kamu datang tanpa memberi tau lebih dulu." Kata Ayahnya dengan nada kaku.
Boom mencoba tersenyum meski gugup. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Mereka dipersilahkan masuk, dan suasana ruang tamu terasa begitu dingin. Boom duduk di sofa berwarna krem, sementara Smart duduk di sebelahnya, tidak melepaskan genggaman tangannya dari tangan Boom.
"Ada apa? Kamu tampak gugup." Ujar Ibu Boom, sedikit heran melihat ekspresi putranya yang biasanya tenang.
Boom menggigit bibir, mencari kata-kata yang tepat. Namun, sebelum ia sempat berbicara, Ayahnya sudah menambahkan, "Kamu tidak biasanya datang dengan—orang lain."
Smart langsung berdiri dan membungkuk sopan. "Perkenalkan, saya Smart."
Ayah Boom menatapnya tajam, sementara Ibu Boom tampak menilai Smart dari ujung kepala sampai kaki. "Kamu siapa?"
Boom mengambil nafas dalam-dalam. "Smart ini—kekasihku. Dan aku hamil."
Ruangan mendadak sunyi. Keheningan yang tak nyaman menyelimuti mereka. Ibu Boom tampak terkejut, mulutnya terbuka sejenak sebelum kata-kata sempat keluar dari mulutnya. Ayah Boom menatap lurus, tanpa ekspresi—seolah mencoba menyangkal apa yang baru saja ia dengar.
"Kamu bilang apa?" Suara Ayahnya terdengar pelan tapi penuh ancaman.
Boom menelan ludah. "Aku hamil. Dan anak ini—anak kami."
Tiba-tiba, tanpa peringatan, tangan Ayah Boom melayang dan mendarat keras di pipi Boom. Tamparan itu menggema di ruangan, membuat Boom sedikit terhuyung.
"Boom!" Seru Smart, cepat-cepat meraih bahu Boom agar tetap seimbang. Wajahnya langsung memanas melihat pipi Boom yang memerah.
Smart langsung berdiri, menatap Ayah Boom dengan mata tajam. "Seharusnya yang ditampar itu aku, bukan dia!"
Ayah Boom menatap Smart penuh kemarahan. "Kamu berani bicara begitu padaku?"
Smart menahan emosinya, mencoba tetap sopan. "Boom tidak melakukan ini sendirian. Kalau ada yang harus disalahkan, itu aku. Aku ayah dari anaknya."
Ibu Boom yang dari tadi diam akhirnya bersuara dengan nada tinggi, "Boom, apa yang kamu pikirkan? Kamu seorang dokter yang terhormat! Bagaimana bisa kamu melakukan hal seperti ini?"
Boom menunduk, merasa hatinya teriris. "Aku tidak bermaksud mengecewakan kalian."
Ayah Boom mendengus sinis. "Kamu itu calon penerusku. Dokter hebat. Bagaimana mungkin kau menghancurkan masa depanmu dengan—kehamilan seperti ini?!"
Smart berdiri tegap, menahan keinginan untuk membalas dengan nada tinggi. "Boom tidak menghancurkan masa depannya. Kami akan bertanggung jawab bersama. Aku akan mendampinginya dan membesarkan anak kami bersama-sama."

KAMU SEDANG MEMBACA
After the Shift: Love in the Emergency Room (SmartBoom)
RomanceBoom, seorang dokter spesialis penyakit dalam yang pendiam dan disegani, menjalani hidupnya dengan penuh pengendalian. Namun, segalanya berubah saat ia pergi liburan bersama Smart, seorang resident muda yang cerdas dan penuh semangat. Di tengah libu...